Refleksi Hari Tani : 6 (enam) Dekade UUPA No. 5/1960, Reforma Agraria Urusan yang Belum Selesai

oleh:
Yana Fajar FY. Basori 1)
Amalia Nur Milla 2)

1) Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Publik  FIAH
2) Dosen Program Studi Agribisnis Faperta Universitas Muhammadiyah Sukabumi

Bacaan Lainnya

[email protected]
[email protected]

Warisan pemerintahan sebelumnya bagi Presiden Joko Widodo, diantaranya adalah hutang. Jika diperhitungkan sejak reformasi 1998, total pinjaman pemerintah ke Bank Dunia (yang sudah dicairkan atau disbursed), baik yang bersumber dari International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) maupun International Develoment Association (IDA) adalah sekitar 25,4 Milar Dolar.

Secara keseluruhan, hingga berakhirnya pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Oktober 2019 nilai pinjaman Bank Dunia yang telah dicairkan dan berada dalam posisi harus dilunasi oleh pemerintah Indonesia adalah sekitar 23 Miliar Dolar AS. Sejak 1998 (postha reformasi) rata-rata pemerintah Indonesia perlu menyisihkan anggaran sekitar 1,7 Miliar Dolar AS setiap tahunnya untuk pembayaran hutang yang berasal dari kelompok Bank Dunia.

Pinjaman baru untuk program reforma agraria yang disetujui Bank Dunia tanggal 18 Juli 2018 sebesar 200 Juta Dolar AS (USD). Pinjaman yang keempat kalinya dan jumlahnya sekitar 53,5% dibanding dengan keseluruhan pinjaman pemerintah Indonesia untuk menyokong penguatan dan perbaikan administrasi pertanahan, pendaftaran tanah dan percepatan reforma agraria di Indonesia, diluar program-program transmigrasi dan perkebunan plasma (inti-plasma).

Pinjaman ini, terbesar dari keseluruhan pinjaman untuk program/proyek yang terkait dengan pertanahan dan percepatan reforma agraria (Land Administration Project/LAP, Land Management and Policy Development Project/LMPD, Registration of Aceh Land Administration System/RALAS).

Sejak awal keterlibatan Bank Dunia dengan persoalan tanah/agraria di Indonesia bukan untuk mendorong dilakukannya reforma agraria atau land reform seperti yang dipahami dari UUPA 1960, tetapi mempercepat pembentukan pasar tanah yang disebutnya lebih ‘efisien dan wajar’ melalui pendaftaran dan sertifikasi tanah. Pasar tanah di Indonesia tidak kondusif untuk pengembangan sektor swasta (investasi swasta) (Bachriadi, 2019: 10). Sejak awal, keterlibatan Bank Dunia hanya menegaskan pelaksanaan reforma agraria sejati adalah utopis.

Program reforma agraria dan perhutanan sosial yang memberi penekanan besar pada sertifikasi tanah dan legalisasi aset sejalan dengan strategi Bank Dunia untuk mendorong penciptaan pasar tanah yang efektif memberi jalan untuk kemudahan investasi swasta sebesar-besarnya, dan menjadikan (hak atas) tanah lebih mudah untuk dialihkan dan dijadikan jaminan kredit di bank (transferable).

Reforma agraria harus dibaca tidak lagi sebuah program yang sekedar menyasar konsentrasi penguasaan tanah atau menegakkan keadilan agraria, tetapi memperbesar dan memudahkan jalan bagi investasi swasta, menghindarkan investasi berhadapan dengan masyarakat yang mempertahankan tanahnya, serta menjadikan tanah sebagai komoditas yang dapat menggerakkan perekonomian perbankan.

Rencana membagikan 9 juta hektar kepada kaum tani miskin, 4,5 juta hektar merupakan bagian dari program legalisasi asset (0,6 juta hektar merupakan sertifikasi tanah-tanah transmigran dan 3,9 juta hektar merupakan legalisasi asset), dan 4,5 juta hektar lagi menjadi bagian dari program redistribusi lahan (1 juta hektar berasal dari tanah-tanah HGU yang telah habis masa berlakunya dan 3,5 juta hektar berasal dari pelepasan kawasan hutan).

Kementerian ATR/BPN hingga Agustus 2019 melaporkan realisasi redistribusi tanah yang mencapai 110% dari target, yaitu seluas 440 ribu hektar.

Menurut KPA (2019: 59), angka capaian tersebut bukan berasal dari hasil penertiban HGU/HGB terlantar, HGU/HGB expired, atau yang overlapped dengan desa-desa, karena tidak ada proses yang terbuka, termasuk laporan kepada publik tentang daftar konsensus perusahaan yang telah diredistribusikan kementerian hingga capaian lebih dari 100%.

Yang terjadi adalah angka pencapaian yang diklaim tersebut masih berasal dari atau dicampuradukkan dengan kegiatan sertifikasi tanah biasa.

Peraturan Presiden Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria, memang menyebutkan redistribusi tanah atau legalisasi yang dipahami sebagai sesuatu yang sama dari penataan aset. Selain itu, angka capaian yang tinggi dalam skema legalisasi aset, menunjukkan bahwa itikad pemerintah untuk merombak ketimpangan struktur agraria dan menyelesaikan konflik agraria adalah belum sungguh-sungguh. Reforma Agraria, urusan yang belum selesai!

Penggunaan panduan teoritis the Advocacy Coalition Framework (ACF) yang digagas Paul A. Sabatier dan Hank Jenkins-Smith (Sabatier 1987, 1988, 1998, 2007; Jenkins-Smith 1990; Sabatier, Jenkins-Smith 1993, 1999; Sabatier, Weible, 2007; Weible et al., 2009, 2011), dapat memandu analisis, yang harus dilakukan untuk percepatan reforma agraria :

– Memastikan keterlibatan organisasi tani dan masyarakat sipil dalam Gugus Tugas Reforma Agraria
– Mendesak agar usulan-usulan objek dan subjek dari masyarakat diprioritaskan untuk ditindaklanjuti
– Memberi porsi lebih pada skema redistribusi daripada legalisasi atau sertifikasi
– Sinergi pemerintah dan masyarakat sipil untuk memperkuat organisasi tani penerima manfaat dan kelembagaan ekonominya
– Bersama masyarakat sipil memperkuat fungsi pengawasan dan anggaran dari legislatif bagi reforma agraria.

Tanah untuk rakyat, tanah untuk petani, tanah adalah hak asasi petani. Hari Tani tahun  2021 diharapkan menjadi momentum untuk mensejahterakan petani melalui reforma agraria. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *