Setengah Lebaran

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

Oleh: Dahlan Iskan

DI HARI setengah Lebaran ini saya ingin mengungkapkan gejolak perasaan saya: sebenarnya saya sering ingin menanggapi langsung komentar di disway.id. Terutama yang menyangkut diri saya.

Bacaan Lainnya

Saya pernah coba ingin masuk ke panggung komentar itu. Gagal. Tidak semudah yang saya bayangkan. Dari situ saya ingin memuji pembaca yang sering posting komentar: kok tabah ya menghadapi kesulitan meng-upload komentar seperti itu.

Tapi saya syukuri kegagalan itu. Lalu saya putuskan untuk tidak usah menanggapi komentar. Nanti justru terasa nyinyir. Suka bela diri. Juga terasa menjadi dominan: seolah sayalah pemilik Disway. Biarlah disway.id ini didominasi komentator. Terutama perusuh. Bahkan perusuh yang nakal.

Saya juga rela –ada lagu dangdut ”aku rela”–ketika ada komentar yang mengatakan Disway ini menariknya justru di komentar. Bukan di artikel saya. Kian banyak saja yang membaca Disway dimulai dari membaca komentar. Maka nama-nama komentator tertentu lebih populer dari nama saya.

Salah satu yang ingin saya komentari adalah: komentar soal batuk yang tidak berhenti-berhenti itu. Apalagi disertai pengalaman pribadinya: batuknya tidak kunjung berhenti pun setelah diberi obat dokter. Lalu ia –hayo mengaku siapa nama Anda sebenarnya– menemukan sendiri cara menghentikan batuknya. Yakni tidak usah makan obat. Cukup mengubah cara makan.

Menurut komentar tersebut, sejak itu ia selalu makan dengan tidak terburu-buru. Ia sabar mengunyah makanan sampai 50 kali. Baru ditelan. Batuk pun berhenti. Intinya: penyebab sakit adalah pencernaan yang kurang baik. Makanan perlu dikunyah 50 kali agar tercampur sempurna dengan air liur.

Saya memang pernah membaca: gigi adalah alat pencernaan. Salah satunya. Dulu saya kira gigi itu hanya alat kunyah saja. Saya lupa: tanpa dikunyah dengan baik maka beban pencernaan kita yang di dalam perut sangat berat. Kadang melebihi kemampuannya.

Apalagi di hari setengah Lebaran seperti hari ini.

Setelah membaca komentar itu saya mencoba melakukan apa yang disarankan. Ada yang lucu: kalau kita mengunyah makanan sampai 50 kali, ternyata kita tidak perlu menelan makanan itu. Dalam kunyahan ke 45 sudah banyak makanan yang mengalir sendiri ke tenggorokan.

Tentu itu tergantung pada apa yang dikunyah. Saat itu saya lagi di Wuhan. Setelah dari Tianjin dan Beijing. Saya makan malam dengan temannya teman di Wuhan. Makan tahu. Kebetulan teman-teman saya pada asyik ngobrol. Saya bisa mengunyah lama tanpa diperhatikan. Di kunyahan ke-35 sudah separo potongan tahu masuk ke kerongkongan. Mengalir sendiri begitu saja. Mungkin saking lembutnya.

Lalu saya makan daging lada hitam. Potongan dagingnya saya pilih yang paling besar. Sampai kunyahan ke-40 masih terasa. Di kunyahan ke 45 sebagian sudah tertelan sendiri. Maka sampai di kunyahan ke-50 tinggal sisa-sisanya.

Tapi itu juga berarti dagingnya memang empuk. Maknyus. Bayangkan kalau itu kikil yang masih banyak terikut tulang mudanya. Pasti beda.

Rasanya, doktrin komentator ”harus 50 kali” itu tidak harus. Tergantung apa yang dimakan. Juga seberapa banyak volume makanan yang masuk mulut. Mungkin doktrin 50 kali itu khusus untuk makanan yang sulit dicerna.

Saya mencoba lagi ketika buka puasa di Changsha, ibu kota provinsi Hunan. Tempat kelahiran Mao Zedong, pendiri partai komunis Tiongkok. Saya makan nasi. Pakai sumpit. Dalam kunyahan ke-30 semua nasi sudah hilang dari mulut. Secara otomatis.

Itu karena nasinya tidak banyak. Saya belum ahli makan nasi pakai sumpit. Beda dengan makan nasi pakai tangan sendiri. Apalagi waktu muda dulu. Satu pulukan saja bisa sampai membuat pipi tembem. Waktu itu semangat memuluknya disertai rasa takut: nasinya keburu dihabiskan kakak-adik.

Pos terkait