Menggali Budaya Kasukabumian dalam Membangun Kota Berperadaban (Bag 5)

Oleh: Kang Warsa

Jika hendak membanding-bandingkan, budaya kasukabumian sebagai salah satu varian dari budaya Sunda memang masih perlu dicari dan terus digali. Namun secara umum, budaya yang dikembangkan oleh masyarakat Sukabumi ini merupakan kebudayaan Sunda yang telah berlangsung dalam kurun waktu yang sudah sangat tua.

Bacaan Lainnya

Tidak heran, Harry T Simanjuntak, tujuh belas tahun lalu menyebutkan manusia berperadaban pertama berasal dari Tatar Sunda. Pernyataan tersebut disempurnakan oleh munculnya beragam opini, wacana, dan pendapat tentang keberadaan manusia Sunda dan kebudayaannya yang telah melewati setiap tahap dan fase perjalanan sejarah kehidupan manusia, khususnya di Nusantara.

Sayang sekali, terhadap pernyataan, wacana, opini, dan pendapat tersebut tampaknya hanya disikapi dengan pandangan romantisme oleh mayoritas orang Sunda sendiri. Akhirnya, penggalian terhadap kebenaran secara autentik dan ilmiah untuk membuktikan pernyataan kegemilangan manusia Sunda di masa lalu luput dilakukan oleh orang Sunda. Rata-rata, dan hampir di setiap masyarakat, romantisme sering menjebak generasi sekarang sekadar mengagungkan kejayaan masa lalu tanpa diimbangi oleh upaya menghadirkannya di masa sekarang.

Unsur kebudayaan yang harus digali untuk menghadirkan bentuk utuh budaya kasukabumian yaitu sistem mata pencaharian.

Secara umum, sejak revolusi pertanian pada 9500 tahun lalu telah terjadi sebuah ledakan pemikiran yang dikembangkan oleh manusia, tidak hanya bersifat lokal, namun mengglobal.

Peralihan dari cara hidup nomaden, berpindah-pindah tempat sambil meramu dan ketergantungan terhadap alam tanpa ada campur tangan manusia, ke cara hidup dengan menetap dan mengembangkan domestikasi baik pada tumbuhan atau binatang telah melahirkan profesi baru di dalam kehidupan.

Mengubah manusia peramu dan pemburu menjadi petani dan peternak.

Padi sebagai sumber makanan pokok didomestikasi oleh masyarakat Sunda. Tumbuhan ini mula-mula diabaikan karena hanya dipandang sebagai ilalang yang tumbuh secara sporadis di ladang-ladang. Tahap berikutnya, padi mulai didomestikasi, ditanam di hutan dengan cara dan teknik baru.

Tumbuhan yang ditanam ini sangat rentan dari serangan hama dan gulma, harus dirawat dengan baik. Pada tahap perkembangan selanjutnya meskipun pengairannya masih tergantung kepada curah hujan, masyarakat Sunda buhun (tradisional) setelah membuka lahan baru yang akan ditanami oleh padi juga membangun pemukiman sementara di tempat yang tidak jauh dari lahan pertanian.

Masa bercocok tanam padi memerlukan waktu setengah sampai satu tahun sebelum ditemukan varietas unggul pada tanaman ini. Sambil menunggu musim panen, masyarakat Sunda buhun melakukan aktivitas pendudukung keberhasilan dalam tatanén atau pertanian.

Revolusi kognitif atau pemikiran yang telah mengembangkan struktur sel dan ukuran otak manusia benar-benar membantu peran manusia dalam menemukan hal-hal paling baru. Perkakas-perkakas pendukung sistem pertanian dibuat oleh masyarakat.

Karena kedekatan masyarakat Sunda buhun dengan alam sangat kuat, alat-alat yang diciptakan juga memiliki corak alamiah. Muncullah profesi baru, di samping sebagai petani di masyarakat Sunda yaitu pertukangan.

Keahlian membuat alat-alat pendukung pertanian yang dimiliki dan dilakukan oleh orang-orang tertentu ini semakin berkembang. Beragam jenis alat dan perkakas diciptakan oleh masyarakat.

Untuk memangkas gulma perusak tanaman padi di huma, para tukang membuat kujang. Beberapa tahun kemudian, kujang dijadikan simbol pemerintahan Jawa Barat dan diberi makna sebagai pakakas yang telah membawa masyarakat Sunda pada kondisi gemah ripah loh jinawi.

Sangat logis, dengan kehadiran kujang ini lah para petani (perawat huma) dapat membasmi gulma perusak tanaman padi. Saat musim panen tiba, padi berlimpah tentu saja membawa masyarakat pada konfisi gemah ripah atau kesejahteraan.

Meskipun demikian, ada juga yang menganggap bahwa kujang merupakan sebuah senjata, meskipun secara struktur dan bentuknya, kujang sangat tidak mendukung untuk dijadikan senjata apalagi di bawa ke medan perang.

Catatan penting lainnya, masyarakat Sunda buhun atau tradisional tidak akan pernah menciptakan perkakas atau senjata untuk berperang, karena dalam masyarakat Sunda telah tertanam sikap silih asah asih dan asuh.

Kehadiran kujang sebagai perkakas pertanian, keberhasilan pertanian di setiap musim, padi yang melimpah dan mampu mencukupi sampai dua hingga empat musim berikutnya, bagi masyarakat Sunda buhun merupakan anugerah tidak terkira dari Dia Yang Maha Tunggal.

Bentuk rasa syukur kepada Tuhan, dimanifestasikan oleh masyarakat melalui kenduri pascapanen. Untuk mengantisipasi gagal panen terutama dari gangguan hama dan hal-hal tidak kasat mata, masyarakat Sunda buhun menyelenggarakan mitembeyan atau praktik pencegahan sekaligus upaya merekatkan manusia sebagai jagat kecil dengan alam sebagai jagat besar. Praktik ini dikatakan cukup ampuh dalam menghindari serangan hama kepada lahan pertanian.

Sejak revolusi pertanian hingga era modern (tahun 1980-an), petani merupakan profesi yang dipegang oleh mayoritas masyarakat Sunda. Dari sistem mata pencaharian tersebut telah melahirkan jenis-jenis barang, perkakas, dan peralatan yang terkoneksi secara langsung dengan budaya agraris.

Sistem ketahanan pangan telah dipraktikkan oleh masyarakat Sunda buhun dengan membangun lumbung padi yang letaknya berdekatan dengan lahan pertanian. Leuit atau lumbung padi ini merupakan banguan sederhana tempat penyimpanan padi.

Padi dengan varietas unggul disimpan di sebuah leuit besar. Bagi masyrakat Sunda kebiasaan ini merupakan realisasi dari peribahasa: saeutik mahi loba nyésa, artinya antara ketersediaan pemuas kebutuhan dengan kebutuhan dan keinginan harus seimbang.

Ketidakseimbangan antara jumlah pemuas kebutuhan dengan tingkat kebutuhan justru akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Melalui tindakan preventif, hampir tidak ditemukan kasus-kasus seperti kelaparan, kekurangan pangan, paceklik, dan pageblug di dalam kehidupan.

Alih Fungsi Lahan dan Sistem Mata Pencaharian

Partikularisasi dalam kehidupan di era modern tidak hanya telah menggerus profesi azali masyarakat Sunda, juga telah mengurangi luas lahan garapan. Peningkatan jumlah penduduk dan alih fungsi lahan dari pertanian ke pemukiman merupakan dua hal yang saling berkelit-kelindan, tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Pergeseran arus budaya dari daerah urban ke rural perdesaan pun telah mengubah pemikiran manusia Sunda. Saat ini, kebutuhan pangan bukan lagi berbicara musiman, pemenuhannya sudah harus bergeser ke harian dan mingguan.

Patikulrasiasi pada bidang yang lebih spesifik ini telah melahirkan gagasan baru dalam cara menghadapi kehidupan. Beras dapat dibeli bukan hanya diproduksi. Produksi pangan (pertanian) mengalami degradasi, hal ini mengharuskan negara mengimpor beras ke negara yang memiliki padi dengan stok sangat melimpah.

Meskipun pemerintah telah mengeluarkan regulasi tentang reforma agraria, pertanian berkelanjutan, tata cara alih fungsi lahan, namun pandangan masyarakat Sunda modern berbeda secara diametral dengan para pendahulunya.

Saat ini tidak lagi memegang prinsip saeutik mahi loba nyésa atau upaya menghemat sumber pangan, melainkan telah berubah bagaimana ketersediaan pangan di dapat dengan mengembangkan produktivitas pada bidang lain, bukan hanya pada pertanian.

Faktanya memang demikian, saat ini masyarakat Sunda sendiri dapat dikatakan lebih leluasa mengonsumsi sumber pangan yang lebih bervariasi dari pada beberapa ratus tahun sebelumnya.

Sistem yang berlaku di era modern dan dipegang oleh mayoritas manusia, disadari atau tidak, yaitu: jika produktivitas pada bidang tertentu dianggap masih serba kekurangan, maka kita harus meningkatkan produktivitas pada bidang lainnya. Begitulah neraca kehidupan manusia modern.

Semakin meluasnya lahan pemukiman dan pengurangan lahan pertanian pada satu wilayah telah melahirkan profesi baru yang lebih rasional dan dapat dipilih oleh orang Sunda modern. Perdagangan, karyawan, pegawai, guru, dan profesi-profesi selain menjadi petani.

Berdasarkan data BPS tahun 2018, mayoritas penduduk Kota Sukabumi (46.588 orang) bergerak di bidang perdagangan baik dalam skala besar maupun kecil. Penduduk yang begerak di bidang pertanian sebanyak 6.044 orang.

Pengurangan lahan pertanian berdampak pada menurunnya hasil panen. Luas panen bersih padi sawah di Kota Sukabumi pada tahun 2017 mengalami penurunan sebanyak 6,69 % dibanding tahun 2016, yaitu dari 3.841Ha pada tahun 2016 naik menjadi 3.584 Ha pada tahun 2017, sejalan dengan hasil produksi padi mengalami penurunan sebesar 16,65 % dibanding tahun 2016, yaitu dari 26.384 ton pada tahun 2016 menjadi 22.617 ton pada tahun 2017.

Artinya, pertanian di Kota Sukabumi menghasilkan padi 7.500 ton/musim, setelah digiling, rata-rata produksi pertanian menghasilkan 500 ton beras perhari. Ketersediaan pangan di Kota Sukabumi sebetulnya masih dapat dikatakan dapat memenuhi konsumsi seluruh penduduk kota jika hasil pertanian tersebut diperjualbelikan di dalam wilayah perkotaan.

Tetapi tetap saja, bidang jasa dan perdagangan justru lebih menjanjikan, hasil pertanian diperjulabelikan, pedagang meraih keuntungan dari hasil pertanian yang dihasilkan oleh para petani.

Areal persawahan modern sudah tidak memerlukan lagi lumbung padi atau leuit karena padi yang dipanen langsung dijual. Bulir-bulir padi terkumpul di penggilingan-penggilingan atau lumbung yang lebih besar dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan seluruh warga.

Apa manfaat keberadaan data-data di atas dalam penggalian budaya kasukabumian?

Paling tidak melalui data-data tersebut telah dapat disimpulkan harus dibawa ke arah mana pemajuan budaya kasukabumian, kembali ke masa lalu atau tetap bergerak maju selaras dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi?

Tetap menggerus lahan pertanian yang ada mengubahnya menjadi lahan pemukiman atau secara telaten membuka lahan pertanian baru setiap terjadi alih fungsi lahan?

Pada akhirnya, budaya urban atau rural atau konvergensi keduanya yang akan ditampilkan oleh orang Sukabumi di masa kini dan masa depan?.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *