Mati Hidup

Dahlan iskan
Dahlan iskan

OLEH: DAHLAN ISKAN

DI SANA orang hidup dimatikan.

Bacaan Lainnya

Di sini tanah mati akan dihidupkan.

Maka daerah setandus Sikka pun kini berpikir value.

Kabupaten paling timur Flores itu tidak mau lagi memproduksi kopra tradisional. Mereka, kini, hanya mau memproduksi kopra putih.

“Barang yang sama dengan biaya yang sama bisa memperoleh hasil 2 kali lipat,” ujar Bupati Sikka, Fransiskus Roberto Diogo.

Ia biasa dipanggil Roby.

Di Sikka kini sudah terbangun 300 rumah UV. Yang disebut ”rumah UV” itu begitu sederhananya: dari bambu lokal. Tiang maupun kerangka atasnya. Ukurannya 3 x 8 meter. Bisa dibangun di mana saja: terutama di pekarangan.

”Rumah UV” itu diberi dinding plastik bening. Rapat. Atapnya pun plastik bening. Rapat.

Di dalam ”rumah UV” itu diletakkan rak bambu. Susun tiga. Kelapa yang sudah dikupas serabutnya dibelah dua. Lalu ditaruh di rak bambu tersebut.

Dalam 4 hari kelapa itu terkelupas dari tempurungnya. Jadilah kopra putih. Yang kadar airnya tinggal 7 persen.

Roby tidak mau lagi rakyatnya menjemur kelapa dengan cara lama. Yang dijemur di udara terbuka begitu saja. Yang kelapanya berubah warna menjadi cokelat. Dan berjamur.

Usaha Roby itu sementara ini masih terganggu keadaan pasar yang berubah cepat. Sekarang ini harga kopra cokelat pun meningkat drastis –mengikuti naiknya harga minyak goreng. Kemarin-kemarin harga kopra cokelat hanya Rp 6000/kg. Sekarang sudah Rp 15.000/kg.

Kopra putih seperti kehilangan momentum. Ia baru akan berkibar kalau harga minyak goreng sudah normal. Masalahnya: bisakah kembali normal.

Roby berumur 50 tahun. Ia bupati dari jalur independen. Kala itu ia mengalahkan dua pasang lainnya yang diusung partai.

Ia sendiri pernah jadi calon bupati lewat partai. Ketika umurnya masih 30 tahun. Kalah.

Lima tahun kemudian nyalon lagi. Pindah partai. Kalah lagi.

Agak tragis.

Di putaran pertama ia menang jauh. Ayahnya, yang lagi berobat di Bali, senang bukan main. Sang ayah undang banyak teman datang ke Bali –merayakan kemenangan itu.

Ternyata Roby kalah di putaran kedua. Sang ayah –yang lagi menderita kanker prostat– terpukul. Lalu berpesan kepada sang anak: jangan urus politik lagi. Politik itu kejam. Jahat. Sang ayah lantas meninggal dunia.

Sang ibu berbeda prinsip. Roby tidak boleh patah semangat. Harus bisa balas dendam atas dua kekalahan sebelumnya.

“Kenapa yang kali ketiga tidak lewat partai lagi?”

“Mahal sekali. Tidak kuat. Juga takut kecewa lagi,” ujar Roby Sabtu (4/3) kemarin.

Roby ke Surabaya untuk lebih menghidupkan Sikka.

Di Pilkada lalu Roby memang punya modal nama. Ayahnya itu adalah bupati Sikka tahun 1998. Sebelum itu pun sang ayah sudah menjadi ketua DPRD.

Sang ayah memang pernah menjadi ketua Golkar Sikka. Yang di Pemilu terakhir Orde Baru bisa membuat Golkar menang 97 persen –hanya karena tidak pantas kalau menang 100 persen.

Tidak lama setelah menyemangati Roby, sang ibu juga meninggal dunia. “Istri saya yang bekerja keras berkampanye. Keliling dari desa ke desa,” ujarnya.

Dari tingginya dukungan untuk calon independen saja ia yakin kali itu akan menang. “Saya hanya ingin membangun Sikka,” ujarnya.

Tekad itulah yang membuat Roby, begitu lulus STPDN di Jatinangor, balik ke Sikka.

Biar pun dengan hati yang penuh luka.

“Pacar tidak mau saya ajak pulang ke Sikka. Padahal saya ingin sekali kawin dengan dia dan pulang ke Sikka,” ujar Roby.

Pacarnya itu gadis Sukabumi. Ia jatuh hati berat dengan gadis itu.

Sepulang di Sikka Roby jadi pegawai negeri rendahan di sana. Latar belakang keluarganya yang tokoh Golkar tidak lagi menguntungkannya.

Ia pun ingin menutup luka itu secara permanen. Ia minta siapa saja –terutama keluarga besarnya– untuk mencarikan ia istri. Siapa saja. Yang penting baik hati dan mau tinggal di Sikka.

Salah satu keluarganya kenal dengan gadis asal salah satu desa di Kediri. Dari keluarga amat miskin. Tidak lagi punya ayah dan ibu. Ia lagi bekerja di Bali.

“Kami diperkenalkan. Lewat telepon. Lalu kami saling menelepon. Tiga bulan kemudian dia mau dibawa ke Sikka,” ujar Roby. Di Sikka-lah mereka menikah –secara Katolik. Pasangan itu kini sudah punya 4 anak –salah satunya sudah jadi dokter.

Tidak hanya kopra putih. Roby juga mengubah cara menanam vanili. Perubahannya sangat radikal. “Di Sikka kami sudah menggunakan drip irrigation,” ujar Roby. Berarti inilah pertanian vanili dengan sistem irigasi air menetes yang pertama di Indonesia.

Kebetulan, saat Roby terpilih sebagai bupati, 60 alumni Israel sudah pulang. Mereka tiga tahun di Israel: belajar pertanian lahan kering. Salah satunya adalah mendalami sistem irigasi air menetes.

“Saya sendiri sekarang sudah bisa membuat sistem irigasi air menetes,” ujar Roby. “Saya belajar dari anak-anak lulusan Israel itu,” katanya.

Sikka beruntung punya banyak tokoh nasional. Sejak dulu –sejak zaman Frans Seda menjadi menteri keuangan Orde Baru. Gories Mere, jenderal polisi itu, juga dari Sikka. Gories-lah yang menyekolahkan anak-anak Sikka ke Israel.

Roby sendiri ikut berkebun vanili. Ia sudah berhasil menanam 30.000 pohon vanili. Tersebar di beberapa kecamatan. Sebagai contoh bagi rakyatnya.

Dengan sistem irigasi seperti itu tidak banyak air diperlukan. Semua tanaman dilewati pipa yang diberi lubang. Air menetes hanya di pokok setiap tanaman.

Teknologi melubangi pipa inilah yang ditemukan Israel. Yang sulit ditiru begitu saja. Salah membuat lubang airnya mengucur –bukan menetes. Cobalah kalau bisa.

Semua tanaman unggulan dari Sikka akan dikerjakan pakai teknologi baru seperti itu. Termasuk pala dan lada. Dengan itulah Roby ingin mengubah Sikka –kabupaten paling kering di antara seluruh kabupaten di Flores yang kering.

Justru ketika sudah menemukan cara baru itu, Roby dikejutkan dengan kreativitas rakyatnya. Ada satu petani di Sikka yang bisa menanam vanili tanpa irigasi apa pun. Vanili itu tetap subur di musim paling kering sekali pun.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *