Jenny Mei

Dahlan Iskan
Dahlan Iskan

“Quran digital,” jawabnyi.

Bacaan Lainnya

Dari hasil berbagai usaha itulah Jenny kini punya enam ruko di Kelapa Gading, Jakarta. Enam ruko itu dia jadikan satu. Jadilah Sagolisious. Yakni restoran mie sagu pertama di Indonesia. Di situ juga konter penjualan mie sagu kering. Kerupuk sagu kering. Dan makaroni kering.

Di bagian belakang resto itu dia buka music lounge: tiap malam ada live band. Banyak yang makan sambil menyanyi di situ.

Waktu Pekan Olahraga Nasional (PON) diselenggarakan di Papua, Jenny ke sana. Bersama anak bungsunyi. Waktu itu uji coba pembuatan mie dari sagu sedang dia lakukan. Dia kampanye mie sagu di Jayapura.

Jenny juga ke pusat tanaman sagu di pedalaman Sorong. Berhari-hari Jenny di sana. Sampai tahu kebiasaan masyarakat di situ makan ulat sagu. Mirip orang Blora makan ulat jati.

Ulat itu gemuk-gemuk. Menor-menor. Digoreng. Dimakan. Jenny ikut menikmati makan ulat sagu. Bahkan dia berani ditantang penduduk asli Papua makan ulat hidup.

“Tidak menggigit lidah?”

“Bagian kepalanya jangan dimakan,” jawabnyi.

Untuk mencapai pusat tanaman sagu itu dia harus naik perahu 6 jam. Juga harus naik sepeda motor. Tapi Jenny merasa sangat menikmati perjalanan itu. Bahkan dia kangen ingin ke Papua lagi.

“Apakah kelak harga tepung sagu bisa lebih murah dari tepung terigu?” tanya saya.

“Harusnya bisa. Sagu tidak perlu ditanam. Hutan sagu luas sekali. Tumbuh sendiri,” ujar Jenny. “Mungkin juga tidak bisa. Untuk mengambil batang sagu harus membayar ke penduduk setempat. Tidak ada harga patokannya,” tambah Jenny.

Kini harga tepung sagu memang masih 50 persen lebih mahal dari terigu. Tapi kalau seluruh perusuh Disway bersatu, rasanya bisa mencari jalan keluar. Tidak logis kalau terigu lebih murah. Tapi memang banyak kan, realitas kehidupan yang tidak semuanya logis. (Dahlan Iskan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *