Hidup Berlogika

Oleh: Kang Warsa

Sebagian besar manusia mengira, logika merupakan salah satu cabang ilmu yang hanya dipelajari dalam matematika dan filsafat saja. Watak dasar dari logika memang matematis, penarikan satu kesimpulan dari beberapa proposisi secara ilmiah.

Bacaan Lainnya

Sementara itu, sebagian besar dari manusia -sebut saja orang Indonesia- selalu berusaha menghindari matematika dan filsafat. Kadang kita berpikir (padahal berpikir itu merupakan cara kita menggunakan logika) menarik sebuah kesimpulan -apalagi dalam kehidupan- tidak terlalu penting menggunakan logika, sebab hidup merupakan rangkaian acak.

Padahal tidak demikian, kita memandang hidup ini acak dan tidak linear merupakan buah dari logika hidup. Keacakan dalam kehidupan pun merupakan salah satu bidang dalam logika. Acak merupakan negasi kata teratur.

Negasi (~) merupakan salah satu dasar logika matematika yang selalu kita temukan dalam kehidupan. Pada tahap selanjutnya, sebagian besar umat beragama tampak sering membenturkan antara apa yang dipandang sebagai dogma dengan akal pikiran.

Hal tersebut terjadi karena sejak kecil sudah sering dibenturkan pada kesimpulan-kesimpulan yang saling silang dan bersifat dikotomis. Seseorang menulis di media sosial, “ Jangan menggunakan akal pikiran saat menafsirkan wahyu atau hal-hal dogmatis”.

Pandangan ini lahir disebabkan oleh cara penarikan kesimpulan yang keliru. Kita sering berpikir agama dan entitasnya seperti; kitab suci, literatur keagamaan, hadits, bertolak belakang dengan akal. Kesimpulannya, agama tidak dapat dilogis-logiskan, eksistensi Tuhan yang tidak dapat diraba, disentuh, dan dilihat jangan sampai terjamah oleh akal pikiran kita. Terima saja, sudah begitu adanya.

Tidak demikian dengan Rene Descartes (1596-1650), baginya, kehadiran dan eksistensi Tuhan merupakan hal logis dan dapat dibuktikan oleh pikiran. Pernyataan cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada merupakan rumus kata-kata yang dapat menjawab kehadiran segala sesuatu -termasuk Tuhan- dengan logis.

Melalui akalnya, manusia berpikir: ada akal dan kecerdasan lain di atas akal yang sedang kita gunakan. Di saat ada kecerdasan di atas kecerdasan itulah logika manusia akan menyimpulkan ada lagi kecerdasan tidak terhingga. Jadi , menurut Descartes, eksistensi Tuhan itu dapat diterima meskipun hanya berpikir demikian.

Bagi Descartes, keberadaan Tuhan tidak harus dibuktikan dengan alasan keberadaan ciptaan-Nya karena pernyataan tersebut akan sangat tidak logis jika premis-premisnya dinegasikan.

Sebagai contoh, saya jabarkan dalam penarikan kesimpulan seperti ini: Tuhan itu ada, Tuhan menciptakan segala sesuatu, maka adanya segala sesuatu telah menjadi bukti eksistensi Tuhan. Sampai tahap ini pernyataan memang sangat logis.

Lantas bagaimana jika premis minornya dinegasikan, jika di dunia ini hampa tanpa ciptaannya? Sudah jelas implikasinya adalah salah. Jadi eksistensi Tuhan tidak harus dibuktikan oleh ada atau tidak ada ciptaan-Nya. Dalam logika matematika dapat dirumuskan: implikasi p terhadap q menghasilkan kesimpulan yang salah jika premis kedua bernilai salah (p ? q, salah jika p=benar dan q=salah ).

Menurut penulis, entah itu segala sesuatu yang abstrak atau konkret tetap disebut “ada”. Logika manusia tidak akan dapat memikirkan sesuatu yang benar-benar tidak ada.

Manusia tidak akan dapat melahirkan kata-kata jika unsurnya sama sekali tidak pernah ada. Ketidak-adaan itu berasal dari ada. Logika kita akan menyangkal bahkan membantah pernyataan “yang ada itu berasal dari ketiadaan”.

Banyak alasan kenapa manusia harus berpikir dan bertindak logis. Pertama, fitrah manusia terlahir sebagai mahluk yang diberkahi akal pikiran dan piranti-piranti lainnya yang dapat digunakan untuk tetap bertahan hidup.

Orang-orang Latin menyebut manusia sebagai homo rationale, para sarjana Islam abad pertengahan menyebut manusia sebagai al-insaan al-hayaawan an-naatiq, manusia merupakan hewan berakal. Inilah landasan transenden/teologis bagi manusia agar selalu dapat menggunakan akal pikirannya dalam kehidupan.

Kedua, sejarah kehidupan manusia merupakan rangkaian cerita perkembangan akal pikiran. Fakta ini tidak dapat disangkal. Bahkan, kehadiran agama-agama dari masa formatif atau berdirinya hingga sekarang tidak pernah lepas dari penggunaan akal pikiran.

Dalam terma keislaman kita mengenal ilmu fiqh, pengetahuan ini merupakan konsepsi ritus-ritus, hukum-hukum dalam kehidupan, dan kaifiyat atau tata cara pengabdian. Lahirnya fiqh dan kitab-kitab yang ditulis oleh para sarjana Islam tidak muncul begitu saja, ia melalui rangkaian sejarah panjang, buah dari penggunakan akal pikiran.

Wahyu di dalam kitab suci tidak akan berkembang menjadi ribuan kitab atau buku jika para sarjana Islam Klasik membuang jauh penggunaan akal pikiran.

Perkembangan si Hewan yang Berakal

Kehidupan manusia terus mengalami perkembangan. Alfin Toffler menyebutkan tiga gelombang peradaban manusia. Yuval Noal Harari lebih rinci memaparkan gelombang peradaban ini dalam buku Sapiens: A Brief History of Humankind.

Manusia disebut sebagai manusia mulai terjadi saat ledakan pemikiran pada gelombang pertama. Revolusi kognitif telah melahirkan cara pandang baru manusia terhadap alam. Di era pra revolusi kognitif, keberadaan manusia di muka bumi memang masih dapat dikatakan sejajar dengan mahluk lain. 70.000 tahun lalu, sapiens berperan sebagai pemburu dan peramu menempati piramida makanan paling bawah.

Binatang-binatang buas dan liar lebih mendominasi kehidupan, sapiens harus berhati-hati saat mereka memasuki ruang terbuka atau hutan. Jika tidak demikian, mereka akan menjadi sasaran empuk binatang.

Perkembangan selanjutnya, manusia memasuki era revolusi kognitif. Berbagai perkakas dari batu obsidian dibuat untuk membantu manusia dalam memotong hasil perburuan. Api mulai diperkenalkan oleh sapiens baru dan para neanderthal.

Pemukiman mulai dibangun, manusia membangun rumah-rumah sederhana di atas pohon dan menempati gua-gua agar lebih aman dari serangan binatang buas. Dalam kurun waktu 60.000 tahun gelombang revolusi pemikiran ini berlangsung hingga manusia memasuki babak baru, revolusi agrikultur.

Pengaruh gelombang revolusi pemikiran dalam kurun waktu 600 abad tersebut -dalam perspektif biologi- telah merangsang pertumbuhan ukuran dan jumlah sel-sel otak manusia. Pada 12.000 tahun lalu manusia mulai berpikir ke arah teknis dan mekanis. Revolusi agrikultur tidak sekadar menempatkan manusia sebagai pemburu dan peramu sumber-sumber makanan saja.

Mereka mulai melakukan domestikasi berbagai tumbuhan dan binatang. Proses domestikasi binatang melalui peternakan sederhana dilakukan untuk memudahkan manusia mengonsumsi daging. Dampak lain yang tidak terpikirkan oleh manusia, domestikasi binatang dan tumbuhan telah menghindarkan binatang dan tumbuhan domestikasi dari kepunahan.

Sebagai contoh: pada masa awal revolusi agrikultur manusia melakukan domestikasi babi bukan rusa, hal ini disebabkan pemeliharaan babi lebih sederhana daripada rusa. Dampaknya, pupolasi babi di dunia hingga saat ini tetap ada jika dibandingkan dengan rusa yang semakin berkurang. Artinya, penggunaan akal pikiran oleh manusia juga telah membantu eksistensi binatang lainnya.

Contoh kedua, populasi babi di Indonesia lebih sedikit daripada negara-negara yang sampai saat ini masih mengonsumsi daging babi. Aturan di dalam agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) mengharamkan babi bukan tanpa alasan.

Jumlah populasi babi di kawasan Timur Tengah pada abad ke-20 SM mengalami penurunan drastis disebabkan oleh semakin popularnya domestikasi ayam dan unggas. Alasan manusia saat itu sangat masuk akal, ukuran unggas lebih kecil, dapat dimobilisasi dengan mudah, dibawa ke mana pun lebih mudah.

Lambat laun, babi menjadi binatang langka di kawasan tersebut. Untuk menghindari kepunahan total maka lahirlah regulasi atau aturan baku dalam agama, pelarangan membunuh dan mengonsumsi daging babi.

Domestikasi tumbuhan juga telah membantu eksistensi berbagai macam tumbuhan -yang pengelolaannya dilakukan oleh manusia- tetap bertahan. Gandum dan padi pada masa berburu dan meramu hanya dipandang rumput, sama sekali tidak dilirik oleh manusia.

Mereka lebih memilih mengonsumsi berbagai buah-buahan dan dedaunan yang mereka ambil dari dalam hutan.

Tetapi saat gandum dan padi dapat dikonsumsi dan menghasilkan sumber makanan lebih cepat, berbuah lebih banyak, pikiran manusia bekerja dan menyimpulkannya: gandum dan padi harus dipindahkan habitatnya dari hutan ke daerah yang dekat dengan pemukiman.

Sampai saat ini gandum dan padi masih menjadi makanan pokok manusia, hasil panen gandum dan padi musim sekarang diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan manusia selama empat bulan ke depan.

Penggunaan akal pikiran oleh manusia itu telah membawa manusia dan menempatkannya pada piramida puncak peradaban. Manusia telah dapat menaklukkan dan menjinakkan pesaing utama mereka, binatang-binatang buas.

Struggle for life, perjuangan hidup manusia di era Revolusi Industri 4.0 tidak lagi berpikir bagaimana manusia menaklukkan binatang dan tumbuhan. Perjuangan ini kini telah beralih kepada upaya bagaimana manusia dapat bertahan hidup, berumur panjang, terhindar dari berbagai penyakit.

Bahkan memiliki keinginan besar: bagaimana agar manusia mewujud menjadi mahluk immortal. Hal yang sangat sulit dicapai jika dipikirkan saat ini, sama halnya dengan manusia yang hidup pada 12.000 tahun lalu sama sekali sulit mencerna pikiran apakah manusia akan bertahan dan dapat mempertahankan kehidupannya di planet ini?

Pencapaian manusia agar -survival of the fittest- seperti harapan Charles Darwin sampai saat ini telah terpenuhi, jumlah populasi umat manusia telah mencapai angka 7 milyar. Jumlah sebanyak itu, jika hidup manusia menjauhi akal pikiran, tidak logis dalam menjalani hidup, saya pikir lambat laun manusia akan jatuh pada titik nadir kehidupan, entah mengalami kepunahan karena perang nuklir (dengan alasan apa saja perang dan pembunuhan merupakan hal yang tidak logis) atau turun kualitasnya secara drastis dan kembali sejajar dengan mahluk lain.

Di dalam Al-Quran disebutkan, “Sungguh kami telah menciptakan manusia dengan strutuktur piranti (tubuh-akal-nyawa) yang paling bagus. Kemudian kami merendahkannya ke titik nadir terdalam”.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *