Pemilu Pilu dari Lima Srikandi Amerika

Detroit memang kota mobil. Yang ditinggalkan pabrik-pabriknya. Satu per satu. Banyak pengungsi dari Irak, Iran dan Palestina di sini. Tapi pemilih suku Arabnya hanya 2 persen. Waktu ke Detroit dulu saya bisa merasakan proses pemiskinan di sini. Suasana kotanya tidak ingar-bingar lagi.

Bagian menariknya tinggal pinggir danau. Yang menghadap ke kota di seberang danau: Kanada. Setiap kali naik taksi, sopirnya pasti ketunan Arab: Palestina atau Iraq. Terpilihnya Ilhan Omar lebih menarik lagi. Juga wanita. Juga Islam. Berjilbab. Dari suku Somalia. Dan masih lahir di Somalia.

Bacaan Lainnya

Tiba di Arlington, Amerika, Ilhan belum bisa berbahasa Inggris. Lalu pindah ke Minneapolis. Di negara bagian Minnesota. Di sini memang banyak warga asal Somalia. Saya bisa melihat dengan cepat. Begitu banyak keturunan Somalia. Sekitar 200.000 orang.

Saat ingin salat Jumat saya bertanya ke Google: di mana ada masjid near me. Saya pun ke situ. Ternyata masjid Somalia. Dengan mayoritas jamaah asal Somalia. Saya ingin wawancara yang bukan Somalia. Tidak ketemu. Apalagi waktu ke mall. Yang terbesar di Amerika itu. Begitu banyak ketemu orang berjilbab di dalamnya.

Di Minneapolis itulah Ilhan belajar bahasa Inggris. Anak cerdas. Tiga bulan sudah jago. Lalu masuk universitas: jurusan ilmu politik. Ilhan punya pesaing sesama aktivis asal Somalia. Ahli komputer. Tapi Ilhan selalu unggul. Perkawinan pertamanya gagal. Cerai. Saat sudah punya dua anak. Lalu kawin lagi. Cerai lagi. Dan kini Ilhan berumur 37 tahun. Sudah kawin lagi. Dengan suami pertamanya dulu: Ahmed Hirsi.

Saya bisa merasakan apa yang dirasakan Trump saat ini: kok justru para imigran ini terpilih jadi anggota DPR. Kim yang Korea. Rashida yang Palestina. Ilhan yang Somalia. Belum lagi yang John Liu di New York. Padahal di minggu terakhir masa kampanye Trump turun sendiri ke lapangan: meningkatkan nada kebenciannya pada imigran.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *