Meramu Obat

Dahlan Iskan jalani isolasi di rumah sakit

Oleh: Dahlan Iskan

KEMARIN adalah hari kelima saya di rumah sakit. Saya bingung: tidak ada pekerjaan. Nganggur. Lalu saya mikir: lebih baik tetap sibuk. Secara fisik. Kan makan saya banyak sekali. Tapi badan tidak bergerak. Bahaya.

Maka saya putuskan: mandi pagi agak lama. Agar tidak menghabiskan air, sabunannya yang lama. Termasuk shampoannya. Apalagi hanya bisa mandi dengan satu tangan. Kanan. Yang ada gelang rumah sakitnya itu. Sedang tangan kiri dipasangi ‘terminal’ infus. ‘Terminal’ itu tidak boleh terkena air.

Maka, selama mandi, tangan kiri harus selalu di atas kepala. Agar tidak terkena air.

universitas nusa bangsa unb
Pegang gagang shower, ya dengan tangan kanan. Pegang sabun dengan tangan kanan. Gosok badan dengan tangan kanan. Hanya saja ada kesulitan kecil: bagaimana bisa menggosok sabun di ketiak kanan. Ya sudah.

Setelah selesai sabunan saya mikir lagi: apa lagi yang bisa dilakukan. Oh, ada. Cuci baju!

Baju kotor sudah menumpuk. Yang bersih hampir habis. Maka kaus dalam, celana dalam, kaus tipis, celana tidur tipis, saya cuci di kamar mandi. Saya sempat takut dimarahi: menghabiskan air.

Saya sendiri sudah terbiasa hemat air. Maka saat bilas badan, semua kain kotor saya taruh di bawah kaki. Air bilasan bisa sekaligus membasahi baju. Lalu, sambil bilas-bilas-badan saya injak-injak itu pakaian. Setelah itu barulah saya teteskan sabun cair ke baju kotor. Saya berusaha sehemat mungkin air. Ngucek-nya tanpa air. Ngucek-nya lebih lama dari mbilas-nya.

Saya sempat ngirim pulang baju kotor satu plastik. Saya minta tolong petugas. Agar plastik itu ditaruh di tempat kirim makanan. Agar Kang Sahidin mengambilnya di situ. Untuk dibawa pulang. Kang Sahidin tidak bisa menemukan kantong plastik itu. “Bagaimana?” tanyanya di WA.

“Gak usah dicari. Pulang saja. Hilang juga tidak apa-apa. Sekalian mengurangi pakaian yang terlalu banyak menumpuk di rumah,” jawab saya.

Itulah sebabnya saya cuci sendiri celana dalam. Agar tidak perlu dikirim yang bersih dari rumah. Dan lagi seisi rumah kan lagi karantina. Tapi kamar saya jadi boros air. Bagaimana kalau dimarahi manajemen RS? Saya sih berharap manajemen tidak membaca Disway. Jadi tidak tahu.

Tapi itu mustahil.

CEO rumah sakit ini juga pembaca Disway: dr Hartono Tanto. Yang berhasil membawa rumah sakit ini maju. Yang terkenal “datang paling pagi, pulang paling malam”. Sebagai CEO yang rajin, jangan-jangan ia juga mengontrol pemakaian air tiap kamar. Jangan-jangan dari pusat meteran, pemakaian air bisa dimonitor: kamar berapa yang paling boros.

Jangan-jangan pegawai bagian meteran air juga membaca Disway. Ampuuuuun.

Yang jelas banyak staf di RS ini yang membaca Disway. Termasuk seorang apoteker di bagian farmasinya. Itu saya ketahui dari copy Facebook-nya. Yang sampai membuat saya berlinang air mata. Rupanya ia tahu saya terkena Covid. Ia tahu saya lagi dirawat di RS ini. Rupanya ia yang meracik obat untuk saya. Saya bersyukur copy Facebook itu dikirim ke saya. Oleh orang lain yang kebetulan membacanya.

Bunyinya: “Setiap kali saya meracik obat yang akan dikirim ke kamar beliau, selalu saya sertakan doa di obat itu.” Saya berlinang membacanya. Saya baca lagi. Baca lagi. Orang baik ternyata ada di mana-mana. “Apakah saya pernah bertemu apoteker itu?” tanya saya ke teman yang kirim copy Facebook itu. “Ia bilang belum pernah,” jawabnya.

Maka, kini saya yang ingin ketemu dengannya nanti. Apalagi ini ada di satu rumah sakit. Semoga ia juga menyertakan doa untuk semua yang sakit. Banyak kiai dan sahabat yang juga mengirimi saya doa. Bhante (Bhikhhu) Dharma Vicayo membimbing saya berdoa secara Buddha.

Teman-teman Kristen kirim doa Novena. Termasuk ada yang sengaja pergi ke Gua Maria St Yacobus bersama istri dan anaknya. Untuk doa Novena. Saya sangat berterima kasih untuk semua itu. Saya ingin terus sibuk.

Maka saya minta kepada petugas RS, biarlah saya sendiri yang membersihkan dan menata tempat tidur. Saya juga memanasi makanan sendiri. Ada alat masak air di kamar. Ada alat kecil untuk memanasi makanan. Maka saya rebus air sendiri. Saya juga memanasi sop kaki kiriman istri. Saya rebus telur, brokoli, bihun, dan makanan-makanan yang sudah dingin. Saya cuci piring, sendok, mangkok dengan cucian yang lebih bersih.

Lalu Christianto Wibisono bertanya soal zikir ‘Hu’ di Disway tiga hari lalu itu. Yang diamalkan oleh pengikut tarekat Satariyah seperti keluarga saya. Saya bingung mencari cara menjawab. Kepada orang Islam saja saya sulit menjelaskannya. Apalagi ini kepada orang Kristen.

Tarekat itu artinya ”jalan”. Yakni jalan menuju Tuhan. Bukan hanya untuk bertemu Tuhan melainkan bagaimana bisa menyatu dengan Tuhan.

Saya tahu, pasti banyak jalan menuju Tuhan. Masing-masing bisa menemukan jalannya sendiri-sendiri. Asal mau mencari. Atau ada yang menunjukkannya dengan benar. Lalu soal lain lagi. Kemarin adalah hari ke-7 saya terkena Covid-19. Ada yang bilang, hari ketujuh itu masih merupakan puncak inkubasi virusnya. Kemarin bisa jadi hari yang bahaya. “Bagaimana keadaan hari ini?” tanya Dhimam Abror, teman berjuang saya di Jawa Pos dulu. “Semoga sempurna, seperti Kitab Kejadian,” jawab saya.

Saya tahu Abror seorang humoris dan pembaca buku filsafat yang tekun. Maka saya mengasosiasikan jawaban saya dengan Hari Ketujuh penciptaan alam raya. Seperti disebut dalam Genesis. Jawab Abror ternyata lebih serius: “Saya pecinta Karen Amstrong. Interpretasinya tentang Kitab Kejadian asyik dan cocok dengan iman Islam.” Lalu Abror menyertakan foto sampul buku In the Beginning, a New Interpretation of Genesis karya Amstrong. “Praktisi dan penghayat tarekat/tasawuf seperti bos (Abror selalu panggil saya bos –DI) lebih mudah menerima tradisi-tradisi itu. Kalimatun sawaa’. Tapi orang-orang syariat seperti saya berat sekali. Butuh perjuangan ekstra,” tulisnya.

Diskusi pun berlanjut. Agak berat. Saya yakin Covid-19 yang ada di tubuh saya tidak bisa mengikutinya. “Dalam tradisi Kristen, membahas Injil lebih enak,” kata Abror. “Semua mengakui Injil ada author-nya/pengarangnya. Tapi kalau bicara Al Quran susah. Karena antara makhluk atau kalam saja bisa bunuh-bunuhan,” tulis Abror.

Baiknya tidak semua diskusi dengan Abror itu dimuat di sini. Terlalu sensitif. Juga berat sekali. Covid perlu yang humor-humor. Yang ”Hati Gembira” seperti dikatakan Tung Dasem saat terkena Covid dulu. Saya juga tidak terlalu memikirkan Covid. Tapi saya tidak bisa berhenti memikirkan yang meramu obat saya itu. (dahlan iskan)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *