Najib Sulhan Mendirikan Rumah Menulis untuk Guru

Najib Sulhan (kiri) saat mengadakan pelatihan menulis di Rumah Menulis.

RADARSUKABUMI.com – Awal Februari 2020 menandai terbitnya buku ke-50 Najib Sulhan. Momen itu juga dia jadikan sebagai tanggal berdirinya Rumah Menulis. Aktivitas yang digagas di ruang tamu kediamannya. Dia ingin para guru memiliki tinggalan ilmu saat pensiun kelak.

GALIH ADI PRASETYO, Jawa Pos

RUANG tamu berukuran 3×4 meter itu terasa sesak Sabtu (1/2). Sebanyak 12 orang sibuk memperhatikan layar laptop masing-masing. Mereka berkonsentrasi. Matanya berfokus menatap monitor. Namun, jari-jarinya bergerak tanpa henti. Beberapa dari mereka tampak fasih.

Mengetik dengan lancar. Ada juga yang sesekali berhenti dan berpikir tentang kata apa yang akan diketikkan selanjutnya. ”Dibuat santai saja, bebas menulis apa pun,” kata Najib Sulhan di tengah keheningan itu.

Ya, rumah di Jalan Labansari 209 itu kini berubah wujud. Ruang tamu hilang. Berganti dengan meja, kursi, dan ratusan buku yang tertata rapi di rak yang tertempel di dinding. Kini tempat itu dijuluki sebagai Rumah Menulis. Najib adalah seorang peraih penghargaan guru berprestasi tingkat nasional 2015.

Kepedulian dan ketekunannya di dunia literasi tidak pernah padam. Bahkan, dari hari ke hari semakin meningkat. ”Sampai sekarang saya sudah menulis 50 buku,” ujar Kepala SMP Al Azhar Kelapa Gading Surabaya itu.

Rumah Menulis yang didirikan Najib juga menjadi sarana baginya untuk menularkan kegemaran terhadap menulis. Salah satu yang menjadi incarannya adalah para guru. Menurut dia, guru harus bisa menulis. Sebab, hal itu menjadi tinggalan mereka saat tidak lagi mengajar.

Laki-laki 52 tahun tersebut menganggap menulis bisa menjadi jejak yang tidak pernah hilang. Itu pula yang dicontohkan ulama-ulama terdahulu. ”Jejak kebaikan tersebut akan bermanfaat. Jadi, apa yang ditinggalkan diikuti orang lain,” ujarnya.

Selain itu, pendirian Rumah Menulis muncul setelah ada kunjungan peneliti dari Australia. Saat itu ada kerja sama di bidang literasi oleh Kementerian Pendidikan kedua negara.

Najib menjadi salah satu orang yang dipandang banyak berjasa di bidang literasi. Melalui tulisan dan berbagai karyanya, akhirnya dia dikirim ke Australia. Untuk menjalani kuliah singkat selama sebulan. Sepulang dari sana, dia mencoba merealisasikan yang dipelajari di Melbourne University.

Sekarang Rumah Menulis kebanjiran peserta. Mulai Surabaya hingga luar kota. ”Sekali buka, ada 2–3 kali pertemuan,” paparnya. Namun, pesertanya juga dibatasi. Hanya 25 orang. Itu pun sudah penuh sesak.

Bahkan, untuk menampung para peserta tersebut, Najib menjebol salah satu kamar di rumahnya. ”Kami sediakan berbagai macam buku. Jadi, guru-guru kalau butuh referensi ada di sini,” ujar alumnus Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS) itu.

Kelas menulis dilakukan pada Minggu pagi. Tema yang diambil tentang anak. Najib tidak pernah memaksa apa yang menjadi bahan penulisan para peserta.

Bebas. Disesuaikan dengan yang disenangi para guru. Lantas, hasil tulisan itu akan dikumpulkan. Setelah semua rampung, hasil tulisan akan di terbitkan dalam bentuk sebuah buku.

”Selain dengan guru, mahasiswa sekarang saya minta membuat tulisan, kemudian dijadikan sebuah antologi,” jelas dosen bahasa Indonesia UMS tersebut.

Saat mengajar mahasiswa, dia lebih banyak mengajak para anak didiknya untuk menulis. Bukan mengajarkan teori. Sebab, sebagus-bagusnya teori kalau tidak ada penerapan juga akan percuma saja. ”Kalau saya mengajarkan teori sama saja mengembalikan mereka ke SD atau SMP,” katanya.

Selama menulis, Najib lebih banyak berkonsentrasi pada tema karakter. Memang bagi sebagian orang tema itu tampak kuno. Namun, bapak lima anak tersebut berpikiran lain. Suami dari Ruchmana itu mengatakan, banyak orang yang pintar.

Namun, banyak juga yang lupa akan karakter. Padahal, sikap itu menjadi bekal bagi seseorang untuk menjadi manusia unggul. Terbukti, saat ini pemerintah gencar melakukan pendidikan karakter. ”Buku saya dulu juga pernah menjadi pembahasan dari Mendikbud M. Nuh,” ujarnya.

Selain mengurus Rumah Menulis, kesibukan Najib diselingi membimbing guru yang hendak mewakili Surabaya di ajang guru berprestasi. Utamanya soal kepenulisan.

Diakui pria pencinta futsal itu, kebiasaan menulis yang dia lakukan memang terbilang telat. Tidak seperti yang lain sudah dimulai saat remaja atau kuliah. ”Buku saya yang pertama terbit pada 2004, saat itu nulis tentang tertib beribadah,” ujarnya.

Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Najib tetap percaya diri dengan hal itu. Dimulai dari membiasakan menulis sedikit demi sedikit. Hingga sekarang, saban pagi dia menulis minimal dua halaman.

Hasilnya bisa dilihat seperti sekarang. Beratus-ratus halaman buku tercipta. Rangkaian itu berhasil membuahkan karya yang bermanfaat bagi orang lain.

”Setiap buku yang saya tulis saya kirim ke orang-orang. Ternyata sampai juga ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud),” jelasnya.

Kebiasaaan itu diterapkan juga ke para peserta pelatihan menulis yang dia selenggarakan. Sebelum menulis, modal utama yang dibutuhkan adalah keyakinan dulu. Jangan sampai membuat seseorang yang hendak menulis menjadi ragu akan ketakutan-ketakutan yang ditimbulkan.

”Karena itu, setiap menulis saya selalu minta mereka menulis apa pun. Kalau belum selesai, di lanjut di rumah. Namun, ada kewajiban hasilnya harus dikirim ke saya,” paparnya.

Menurut dia, yang dilakukan di Rumah Menulis lebih banyak praktik. Jangan sampai orang pulang dari kelas malah pusing karena banyak aturan yang kudu dipahami dan dilakukan.

Dia mengatakan, hal itu juga sering ditularkan kepada guru-guru lain. Najib melanjutkan, hambatan pertama dalam menulis adalah mengoreksinya sebelum selesai. Menulis itu dibiarkan mengalir dulu. ”Terus saja jangan dikoreksi dulu,” jelasnya.

Kedua, kita selalu melihat dan terbelenggu oleh aturan bahasa. Karena Najib tidak suka jika melihat guru selalu menata bahasa saat anak-anak mulai menulis.

Biarkan ide mereka ke luar dulu, baru menuju ke bahasaan. ”Karena mengoreksi bahasa itu lebih mudah, berbeda dengan ide yang keluar butuh waktu lama.

Karena itu, saat menulis jangan terbelenggu oleh bahasa,” terangnya. (gal/c25/git)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *