Biar Kekinian, Ajarkan Kosakata Jawa lewat Lagu

GURU TEMBANG: Poedianto memanfaatkan waktu senggang untuk mengarang lagu Jawa. Cara itu sekaligus digunakan untuk mengajarkan bahasa Jawa.

Pembelajaran secara daring membuat guru harus kreatif. Cara mengajar harus dilakukan dengan efektif dan mudah dipahami siswa. Misalnya, yang dilakukan Poedianto. Guru bahasa Jawa itu mengarang lagu sebagai media ajar untuk muridnya.

GALIH ADI PRASETYO, Jawa Pos

POEDIANTO menunjukkan buku catatan yang berisi sederet judul lagu yang sudah dia karang. Berlembar-lembar jumlahnya. Bahkan, dia hampir lupa berapa banyak lagu yang sudah diciptakan.

”Sekarang sudah 121 judul yang saya buat,” terangnya sambil menunjukkan catatan kecil di pojok bawah bukunya.

Pandemi Covid-19 memang membuat semuanya berubah. Guru yang biasanya berinteraksi langsung dengan siswa kini hanya menatap layar monitor. Durasinya pun lebih singkat. Terkadang, apa yang diajarkan Poedianto tidak serta-merta dipahami siswa. Apalagi mata pelajaran bahasa Jawa. Meski menjadi bahasa sehari-hari, tidak sedikit siswa yang hanya paham kosakata umum.

”Padahal, di bahasa Jawa ada tingkatannya. Hal ini yang tidak boleh hilang,” ujar guru di SMK Pariwisata Satya Widya Surabaya itu.

Berawal dari sana, kemudian dia mulai mengutak-atik bahasa Jawa menjadi sebuah syair lagu. Tujuannya lebih gampang dipahami. Dia mengatakan bahwa pembelajaran tanpa tatap muka juga memberikan waktu lebih banyak.

Saat sedang santai, kemudian ide itu muncul. Gagasan tersebut dikembangkan hingga menjadi sebuah rangkaian yang enak didengar. Tentu membuat sebuah lirik

lagu itu tidak gampang. Ada pakem yang dipegang. Misalnya, soal pesan yang ingin disampaikan. Poedianto lebih banyak menggunakan pakem geguritan untuk menyusun lirik yang pas.

”Tantangannya bagaimana kita menyusun lirik dengan akhiran yang jatuhnya sama. Sehingga didengarkan bisa pas,” ujar bapak empat anak itu.

Kemudian, diksi yang ingin dimunculkan harus sesuai dengan tema yang diangkat. Menggunakan bahasa Jawa yang belum banyak dikenal. Memang dalam setiap lagu yang dia buat, Poedianto berusaha memperkaya kosakata yang dipakai. Misalnya, menggunakan istilah-istilah baru.

”Yang mendengar pun bisa belajar bahasa baru. Kamus bahasa Jawa-nya makin nambah,” ujar pria 62 tahun itu.

Menurut dia, sekarang memang banyak lagu Jawa yang bermunculan. Namun, bahasa yang digunakan hanya yang ada di masyarakat. Belum semua kata dipakai. Padahal, bahasa Jawa itu sangat kaya. ”Siapa yang tahu kalau ada kata cidro. Orang-orang baru paham setelah Didi Kempot menyanyikannya dalam lagunya,” ujar Poedianto.

Baru orang paham bahwa cidro itu bermakna sakit atau terluka. Contohnya, salah satu lagu Poedianto yang berjudul Kelingan Rino Wengi. Lirik lagu tersebut seperti ini. Ra biso tak lalekke. Sak bendinane tansah kelingan. Rino wengi nggudo ati. Aku ketaman asmoro. Nah, ketaman asmoro bukan berarti jalan-jalan ke taman. Melainkan bermakna jatuh cinta.

”Hal-hal seperti ini yang saya maksud sebagai sebuah media untuk edukasi,” katanya.

Memang lagu yang dibuat Poedianto lebih banyak mengandung makna edukasi. Meski beberapa di antaranya juga soal cinta. Menurut dia, lagu-lagu itu bukan soal tema apa yang diangkat, tetapi maksud diciptakannya lagu itu seperti apa.

”Lha wong saya ini nggak bisa nyanyi. Suara saya juga jelek. Namun, saya ingin bahasa Jawa tetap lestari. Nguri-uri budaya kita sendiri,” ujar alumnus Universitas Adi Buana itu.

Darah seni memang mengalir pada diri Poedianto sejak kecil. Mainan semasa kecil juga tidak jauh dari seni, wayang dari kardus. Tontonan seperti wayang, ludruk, dan ketoprak masih dia gemari hingga sekarang. ”Kalau soal idola, ya Manthous dan Ki Narto Sabdo. Mereka ini kalau bikin langgam sangatsangat halus. Diksinya juga sangat menarik,” ujar pria yang sudah menulis lima buku itu.

Kini melalui lagu yang dia ciptakan, harapannya bisa ikut merawat keutuhan bahasa Jawa. ”Saya tidak berharap bisa terkenal. Kalau ada yang ingin menyanyikan, ya silakan. Yang jelas, saya ingin mengedukasi dan membuat generasi muda mencintai bahasa Jawa,” terangnya. (*/c6/git)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *