Muhammad Andre Irawan (18) Berjuang Melawan Leukemia Selama 12 Tahun

Berumur Tiga Tahun Sering Demam, Kejang-kejang Setiap kali Badannya Panas

Leukemia menjadi teman hidup Muhammad Andre Irawan sejak 12 tahun lalu. Setiap minggu dia harus bolak-balik ke RSUD dr Soetomo, Surabaya untuk melakukan kontrol dan transfusi darah. Namun, kendalanya berjibun.

DWI WAHYUNINGSIH, Surabaya

KEINGINAN Muhammad Andre Irawan cukup sederhana. Dia ingin bisa menghabiskan lebih banyak waktunya di rumah. Bukan di rumah sakit seperti sebulan terakhir. Senyum getir tidak bisa ditutupi ketika dia menyampaikan keinginan tersebut.

’’Sampai kapan ya sering nginep di rumah sakit gini? Bosan. Lebih enak di rumah,’’ ujarnya saat ditemui pada Sabtu (4/11). Ada nada sendu dalam suaranya.

Keluhan itu pun tidak datang sekali dua kali sejak dia kembali ngamar di Karang Menjangan pada Kamis lalu. Bahkan, sang ibu, Ulidah, sempat mengungkapkan bahwa Andre, sapaan akrab Muhammad Andre Irawan, menangis ingin pulang.

Memang, jika dibandingkan sewaktu masih dirawat di ruang rawat inap anak, waktu berobat Andre lebih panjang. Bahkan, saat kali pertama pindah ke ruang dewasa tiga minggu lalu, Andre harus dirawat selama 10 hari sebelum diperbolehkan pulang.

Remaja 18 tahun tersebut memang tidak bisa lepas dari rumah sakit. Sebab, dia mengidap chronic myeloid leukemia (CML) atau leukemia granulositik kronis. Salah satu jenis kanker darah itu ketahuan ngendon di tubuh Andre saat masih berumur 6 tahun.

Awalnya, saat berusia 3 tahun, Andre sering demam. Setiap kali badannya panas, dia kejang. Setahun pun bisa lima kali dia rawat inap di rumah sakit. Selain demam, siswa kelas XII tersebut mengalami batuk yang tidak kunjung sembuh.

Dokter di puskesmas mendiagnosisnya kena tuberkulosis. Namun, setelah pengobatan selama tiga bulan, penyakit itu tidak kunjung hilang.

’’Baru periksa ulang saat Andre umur 6 tahun. Kata dokter, leukemia,’’ kenang Ulidah dengan suaranya yang lirih.

Sebab, diagnosis tersebut mengubah hidup keluarganya. Sebagaimana orang tua lain, hatinya hancur.

Dari puskesmas, Andre akhirnya dirujuk ke RSUD dr Iskak, Tulungagung. Kala itu mereka belum memiliki jaminan kesehatan. Seminggu dirawat, akhirnya Andre dirujuk ke RSUD dr Soetomo, Surabaya. Tetapi, karena ada kendala biaya, keluarga Andre memilih pengobatan tradisional. Setahun setelahnya, kondisi Andre justru menurun. Tubuhnya kian kurus. Wajahnya makin pucat. Perutnya menggelembung akibat limpa yang bengkak. Persis seperti gejala-gejala pengidap CML.

Pada Januari 2006, Andre akhirnya langsung dibawa ke RSUD dr Soetomo setelah keluarga mengurus kartu jaminan kesehatan. Dia dirawat selama 28 hari. Setelah pulang, Andre tidak lantas sembuh. Justru itulah tahap awal jadwal rutin yang harus dilakoninya setiap pekan.

’’Kata dokter, pengobatannya seumur hidup. Seminggu sekali harus ke sini (RSUD dr Soetomo, Red) untuk kontrol dan transfusi. Dua–tiga hari bisa langsung pulang pas masih di rawat inap anak,’’ jelas ibu dua anak tersebut.

Setiap kontrol, rata-rata Andre menghabiskan dua kantong darah untuk menaikkan kadar hemoglobin di tubuhnya yang sering drop. Sebenarnya transfusi itu bisa dilakukan di Tulungagung. Namun, obat yang harus masuk hanya tersedia di RSUD dr Soetomo.

Tentu dibutuhkan banyak biaya untuk bolak-balik ke Surabaya setiap pekan. Terlebih, Agus Salim, ayah Andre, adalah pekerja serabutan. Mereka pun kerap mengalami kesulitan biaya. Akhirnya, jadwal kontrol Andre sering mundur. Menunggu ongkos.

Setiap berangkat, Ulidah dan Andre diantar Agus. Begitu memastikan kedua anggota keluarganya tiba di RSUD dr Soetomo, ayah dua anak itu langsung pulang.

’’Beberapa tahun terakhir, ngantarnya sama adiknya Andre. Pas di ruang rawat anak, kalau kontrol, ikut nginap. Tapi, sejak pindah ke ruang dewasa, ya terpaksa dititipkan ke rumah saudara. Takut ketularan penyakit,’’ tutur Ulidah.

Ada perasaan tidak tega setiap kali Ulidah meninggalkan anak keduanya. Namun, hal itu harus dilakukan demi mengobati putra sulungnya. Apalagi jika mengingat betapa Andre sangat tersiksa kala limpa di perutnya membengkak.

Dia sulit berjalan. Agar tidak kesakitan, Andre harus berjalan membungkuk. Napas juga selalu sesak. Yang bikin lebih parah, makanan tidak bisa masuk karena Andre selalu merasa mual. Tidak heran, tubuhnya begitu kurus.
Kekhawatiran selalu melanda Ulidah dan Agus Salim. Sebab, dulu bengkak di perut Andre bisa hilang setelah obat masuk.

Tetapi, sejak 2014, bengkak di perutnya seolah menetap. Kecemasan mereka sempat meningkat kala Andre mengalami pendarahan saat disunat. Dia menghabiskan 48 kantong darah untuk mempertahankan hidupnya. Kala itu dia dirawat di RSUD dr Iskak, Tulungagung.

Setiap hari orang tuanya pun bolak-balik ke unit transfusi darah (UTD) di Jalan Embong Ploso, Surabaya, demi mengambil darah. Karena mengalami kesulitan biaya, mereka pun meminta dirujuk ke RSUD dr Soetomo agar perawatannya lebih mudah.

’’Pernah juga gusinya pendarahan setelah kontrol. Sore sampai rumah, pagi sudah kembali ke RSUD dr Soetomo,’’ kenang Andre.

Kondisi kembali melemah tiga minggu lalu. Jika diingat, asal muasalnya sepele. Andre jajan sembarangan setelah kontrol di RSUD dr Soetomo. Menunggu bus yang sedang ngetem, perut Andre keroncongan.

Entah kenapa, hari itu Ulidah tidak membawakannya bekal seperti biasanya. Akhirnya, mereka jajan agar perut terganjal. Siapa sangka, setelah jajan, Andre harus masuk rumah sakit lagi hingga butuh bantuan oksigen.

Selama ini Ulidah memang selalu menjaga pola makan Andre. Semua masakan dibuat sendiri. Tidak memakai pengawet, penyedap masakan, dan pewarna, serta tidak membakar. Satu keluarga pun selalu menyesuaikan diri dengan apa yang dikonsumsi remaja kelahiran September 1999 tersebut.

Meski begitu, sebagai remaja yang masih memiliki banyak rasa penasaran, sesekali Andre mencuri-curi kesempatan makan makanan berpengawet. Tubuhnya pun langsung merespons dengan batuk.

’’Ya, gimana lagi. Kan dari kecil saya nggak pernah ngerasain. Ngelihat teman-teman makan jadi ya kepingin,’’ tuturnya, lantas tersenyum kikuk.

Sebenarnya nafsu makan Andre sedang bagus-bagusnya. Sehari bahkan sampai lima kali. Tentu jatah rumah sakit yang hanya tiga kali sehari tidak mencukupi. Sang ibu pun tidak keberatan berjalan ke luar membelikannya makanan.

Sebab, tidak setiap hari putranya itu memiliki nafsu makan tinggi. Apalagi saat perutnya bengkak seperti itu. Dia pun sangat berharap nafsu makan sang anak menjadi pertanda bagus.

’’Ini kontrol tidak lagi dipasang infus. Hanya transfusi darah. Semoga saja nanti jadwal kontrolnya bisa lebih panjang. Tidak lagi harus seminggu sekali,’’ harap Ulidah. (*/c14/dos)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *