Kisah Warga Mojoroto yang Jadi Peneliti di Belanda

Salah Jadwal Buang Sampah Kena Denda 300 Euro

Banyak peneliti yang telanjur “merasa enak” tinggal dan berkarir di luar negeri. Namun tidak bagi Desti Alkano. Perempuan asli Kelurahan/Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri ini justru ingin balik kampung. Seperti apa rencananya?

DINA ROSYIDHA

Menjadi seorang perempuan tidak membatasi gerak Desti Alkano. Sudah Sembilan tahun ini, Desti (begitu panggilan akrabnya) merantau di Groningen dan kemudian pindah ke Maastricht, Belanda bersama suaminya Syarif Riyadi dan satu anaknya.

Di sana, perempuan berambut pendek tersebut menjalani perannya sebagai peneliti.

“Sebelum ini saya di lembaga penelitian pemerintah Belgia. Tetapi melihat ada ruang untuk ikut berkontribusi langsung di tengah masyarakat, saya memutuskan untuk keluar dari lembaga tersebut dan berencana untuk kembali ke tanah air dalam waktu dekat,” terangnya saat dihubungi melalui whatsapp, Jumat kemarin (6/10).

Meski sudah lama tinggal di luar negeri, nyatanya hati Desti masih tertambat di tanah kelahirannya. Hal ini terlihat dari kunjungannya Juli lalu ke Indonesia, khususnya Kota Kediri. Setelah berkeliling kota, Desti merasa ada banyak hal yang ingin dilakukannya di Kota Tahu.

“Juli kemarin pulang, ada banyak sekali hal mengejutkan yang saya dapatkan di Kota Kediri,” tambah perempuan 32 tahun tersebut kepada wartawan koran ini.

Memang Kota Kediri tidak bisa serta-merta dibandingkan dengan kota-kota di Eropa, tempatnya tinggal. Meski demikian, bagi Desti ada banyak progres pembangunan yang ditemukannya ketika pulang ke rumah orang tuanya di Kelurahan/Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.

“Fasilitas umumnya hebaat bangeet.. sudah banyak, rapi, dan banyak ruang terbuka hijaunya,” urainya antusias.

Desti yang juga pemerhati lingkungan mengapresiasi upaya pemkot dalam menangani sampah. Sudah ada banyak tong-tong sampah terpisah antara organik dan anorganik yang disediakan di titik-titik keramaian.

Sehingga sampah bisa terpilah sejak dari sumbernya. Bagi Desti, penanganan sampah anorganik di Kota Kediri juga sudah cukup baik.

Warga pun paham bahwa sampah tersebut bernilai ekonomis. Sehingga warga tidak segan mengumpulkannya untuk kemudian dijual kembali ke pengepul. Atau ada pula warga yang melakukan daur ulang secara mandiri.

Namun hal yang berbeda terjadi pada sampah organik. Desti melihat warga masih minim minatnya terhadap sampah hijauan atau sisa makanan. Padahal sampah jenis ini juga bisa dimanfaatkan dan bernilai ekonomis.

Karena kurang dimanfaatkan, sampah organik seringkali menjadi sumber penyakit bagi lingkungan.

“Sudah ada sih kelompok masyarakat yang melakukan pengelolaan sampah organik tetapi jumlahnya masih sangat terbatas jadi masih harus dimaksimalkan lagi,” tandas lulusan magister dan doktoral University of Groningen, Belanda tersebut.

Termasuk penanganan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Kota Kediri. Sanitary landfill-nya, menurut Desti, masih harus di-upgrade. Dengan cara yang tepat, nantinya tidak perlu ada penumpukan sampah organik seperti yang saat ini terjadi.

“Jika bisa dimaksimalkan pemanfaatannya, nantinya Kota Kediri bisa menjadi kota dengan zero waste tanpa perlu TPA untuk sampah rumah tangga,” tandasnya gamblang.

Setelah kembali ke Tanah Air, Desti ingin membentuk daerah percontohan untuk pengelolaan sampah terpadu tersebut. Di proyek itu nantinya akan diberlakukan aturan yang memang mengikat dan teknik pengelolaan sampah yang tepat. Seperti yang pernah dialami Desti sendiri ketika tinggal di Maastricht.

“Saya pernah kena denda sekitar 300 Euro karena salah jadwal mengeluarkan sampah,” terangnya sambil tertawa.

Memang sistem pembuangan sampah nantinya di wilayah percontohan tidak akan seketat itu.

Namun setidaknya aturan dan pengelolaan sampah di luar negeri bisa sedikit banyak mengilhami regulasi yang akan diterapkan meski sedikit demi sedikit.

“Pastinya tidak serta-merta dapat diterapkan di sini. Harus perlahan tetapi pasti sehingga tidak menjadi pelumrahan juga,” tegas putri sulung dari pasangan Suko Susilo dan Binti Rachmawati tersebut.

Desti sendiri sampai saat ini masih terus menimbang dan memperhitungkan. Dari respons yang didapatkannya, Kota Kediri dirasa paling ideal untuk dijadikan wilayah percontohan pengelolaan sampah terpadu tersebut.

“Saya sudah komunikasi dengan Bapak Wali Kota dan responsnya sangat bagus,” bebernya.

Hanya saja, perempuan yang juga pendiri dari Energy Academy Indonesia tersebut masih belum menetapkan waktu pastinya.

Pasalnya, Desti masih harus berkoordinasi dengan seluruh jajaran Pemerintahan Kota Kediri dalam berkomitmen tinggi menjadikan Kota Kediri sebagai kota bebas sampah.

“Harapannya bisa segera direalisasikan,” pungkasnya.(rk/dna/die/JPR)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *