Kisah di Balik Rusuh 22 Mei, Dagangan Ludes Dijarah, Dibakar

Bagi Usma (baju merah), tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dari pedihnya gas air mata yang dilemparkan petugas kepolisian. (gunawan/Jawapos.com)

Bentrok dan kerusuhan selalu menyisakan luka mendalam bagi masyarakat. Tujuh nyawa melayang sia-sia. Ratusan luka-luka. Bahkan pedagang kelontong yang tak terlibat apa pun jadi korban. Daganganya dijarah perusuh hingga habis.

Usma hanya tertunduk lesu dengan tangis air mata yang membahasi pipinya. Warung kelontong miliknya ludes dijarah perusuh yang sempat membuat Ibu Kota mencekam pada 22 – 23 Mei. Dia meratapi dan terus melihat warung kelontong miliknya dengan memegang beberapa buah roti yang masih tersisa.

Bacaan Lainnya

Warung kelontong Usma ada di kawasan Wahid Hasyim tak jauh dari tempat pos polisi yang dibakar perusuh pada (22/5) malam.

Pria ‎64 tahun yang mengenakan kaus berwarna merah kombinasi hitam dan abu-abu ini menceritakan kisahnya. Kejadian berawal pada Rabu (22/5) malam sekitar 23.30 WIB, massa berbondong-bondong mulai mendatangi kawasan Wahid Hasyim. Mereka kabur setelah dipukul mundur petugas kepolisian di depan kantor Bawaslu.

Saat itu Usma memohon kepada para perusuh supaya tidak membakar warung kelontong miliknya. Ini mengingat massa sudah mulai membakar pos polisi yang berada di jalan Wahid Hasyim.

“Mas, tolong jangan dibakar toko saya ini,” cerita Usma seperti menceritakan kisahnya, Kamis (23/5).

Sembari sesekali membasuh air matanya, Usma melanjutkan kisah ceritanya. Karena tak tahan dengan gas air mata, dirinya meninggalkan warung kelontong miliknya, sekira tengah malam.

Bagi Usma, tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dari pedihnya gas air mata yang dilemparkan petugas kepolisian. Namun sayang, nasib buruk menimpanya. Pagi sekira pukul 05.30 WIB saat mengecek warung miliknya, badan Usma langsung lemas, hatinya sangat sedih.

Barang dagangannya ludes dijarah oleh perusuh. Mulai dari rokok, mananan ringan dan minum-minuman semuanya raib. Padahal posisi warungnya dikunci.

“Si penjarah sengaja membuka paksa. Rokok, kopi, minuman habis, yang sisa roti sama Djarum coklat dua bungkus,” katanya lirih.

Pria asal Kuningan, Jawa Barat ini menaksir kerungian dari penjarahannya yang dilakukan massa sekira Rp 20 juta. ‎Sambil menunduk dan memandangi warung kelontong miliknya, dia mengeluhkan penjarahan tersebut.

“Kenapa mereka mesti menjarah warung saya,” ungkapnya.

Kemalangan Usma semakin bertambah, bahkan tangis air matinya juga makin menjadi karena tak ada pakaian yang tersisa. Hanya yang menempel di dirinya saja yang tersisa. Pria paruh baya ini mengungkapkan, pakaiannya semuanya habis dibakar oleh massa.

Maklum Usma tidak punya tempat tinggal di Jakarta, dia tidur dan tinggal kesehariannya menumpang di dalam pos polisi.‎ “Saya biasanya menginap di pospol yang dibakar itu. Pakaian disimpan di pospol habis (dibakar),” ucapnya.

Terpisah, anak Usma, Dadi juga terus membujuk sang ayah untuk kembali ke kampung halamannya Kuningan, Jawa Barat. Itu dilakukan untuk menenangan diri sekaligus kembali mengumpulkan modal untung kemvbali berdagang warung kelontong.

“Saya minta bapak pulang aja ke Kuningan, sore mau pulang,” kata Dadi sambil merayu sang ayah.

Sikap yang sama juga dirasakan oleh Rajab 62 tahun. Seperti Usma, toko kelontong miliknya juga ludes dijarah massa perusuh.

Sambil mencoba tegar, pria asal Depok ini sudah mengiklasan dagangan milinya yang sudah tak tersisa lagi.‎‎
“Sudah ikhlas. Kita udah tau tahun 1998 kayak apa. Jadi gak kaget,” pungkasnya.

Editor : Dimas Ryandi

Reporter : Gunawan Wibisono

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *