Para Perempuan Ketakutan dengan Praktik Kawin Tangkap

RADARSUKABUMI.com – Praktik kawin tangkap di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali menjadi sorotan publik setelah viral video seorang perempuan ditangkap di rumah tetangganya. Dalam video terlihat perempuan tersebut berteriak dan meronta.

Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (BPN PERUATI) menyoroti praktik ini sebagai tindakan kekerasan terhadap perempuan. Melalui halaman petisi daring di Change.org, PERUATI meminta Gubernur NTT Viktor Laiskodat menerbitkan peraturan daerah larangan praktik kawin tangkap di empat kabupaten di Pulau Sumba. Petisinya bisa diakses di www.change.org/ StopKawinTangkap.

Menurut salah seorang penggagas petisi dari BPN PERUATI Darwita Purba, praktik kawin tangkap belakangan ini telah menyebabkan penderitaan, ketakutan, rasa tidak aman dan trauma yang mendalam bagi perempuan. Darwita juga menilai praktik kawin tangkap melanggar hak asasi perempuan sebagaimana tercantum dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) yang telah diratifikasi melalui UU RI No.7 tahun 1984.

Menurut Darwita, ketiadaan payung hukum yang mendasari praktik kawin sebagai tindakan ilegal, membuat perempuan korban kawin tangkap tidak berdaya dan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya pasrah dan memilih berdamai dengan pelaku.

“Walaupun pada akhirnya terdengar kabar keluarga korban melanjutkan percakapan adat dengan pelaku kawin tangkap, tetap saja praktik pemaksaan pernikahan seperti ini membuat perempuan dalam posisi yang tidak berdaya dan tidak berhak atas keputusannya sendiri,” ujar Darwita, menyebut alasan pihaknya menggagas petisi.
Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur Emilia Nomleni sebelumnya juga meminta praktik ‘kawin tangkap’ di Pulau Sumba untuk dihentikan. Dia menganggap, praktik ‘kawin tangkap’ sangat merendahkan kaum perempuan.

Emilia mengatakan praktik kawin tangkap di Sumba bisa saja tidak hanya terjadi pada perempuan, tetapi juga pada anak. Karena tidak pernah tahu perempuan-perempuan itu usianya berapa saat ditangkap. Di halaman petisi juga terlihat sejumlah komentar dari pendukung petisi.

“Seorang teman pernah bercerita bahwa ini memang merupakan kasus yang serius dan harus ditindaklanjuti demi kebaikan bersama. Saya harap ini dapat menjadi pertimbangan pemerintah daerah bukan saja di NTT tapi di seluruh Indonesia,” tulis Salsabila Iftinan.

“Petisi ini menjadi langkah kecil menolak budaya kawin tangkap. Menyadari sepenuhnya manusia memiliki hak dasar memilih dan tidak dipaksa untuk melakukan apapun dengan tanggung jawab dan kesadaran. Semoga pemerintah daerah bisa serius melihat hal ini dan memberi perhatian yang besar,” tulis Sanita Retmi.

“Perlu kajian kritis secara mendalam terkait konteks historis (budaya) dan ditinjau kembali secara kajian teoritis. Agar tidak ada yang merasa didiskriminasi. Saya berharap, secepat mungkin PERDA diluncurkan agar tidak ada lagi korban diskriminasi,” tulis Ardiyansah Talundima. Petisi ‘Terbitkan Perda Larangan Kawin Tangkap di Sumba’ dimulai Minggu (28/6) lalu.

Hingga Kamis (2/7) petisi itu telah ditadatangani 4.691 orang.(gir/jpnn/izo/rs)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *