Aktivis KAMI Diborgol Polisi, Bukti Jokowi Khianati Reformasi

Konferensi pers penangkapan aktivis KAMI. Foto Humas Polri

RADARSUKABUMI.com – Pemakaian borgol pada sejumlah aktivis dan petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menuai kecaman dari banyak pihak.

Polisi berdalih, itu lantaran mereka melakukan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Akan tetapi, itu menunjukkan bahwa Korps Bhayangkara itu telah bertindak arogan.

Bacaan Lainnya

Demikian disampaikan Koordinator Forum Aktivis Bandung, Budiana Irmawan kepada RMOL, Jumat (16/10/2020).

“Aparat kepolisian bertindak arogan, menangkap aktivis KAMI yang menolak UU omnibus law seperti pelaku kriminal,” ujarnya.

Dalih polisi dengan menggunakan UU ITE, disebut Budiana sangat tidak tepat.

“Padahal kebebasan berpendapat dan berserikat dijamin konstitusi,” sambungnya.

Saat ini, kata dia, UU ITE sendiri diibaratkan sebagai pasal karet Haatzaai Artikelen warisan kolonial yang kerap dipakai oleh rezim orde baru untuk membelenggu oposisi.

Jika menelaah lebih jauh, sambungnya, original intent pembentukan UU ITE mengatasi pidana bisnis seiring perkembangan dunia informatika.

Jadi, polisi seharusnya mengejar penggelap pajak, koruptor kakap, dan pelaku bisnis ilegal yang berbasis internet.

“Para pelaku kriminal ini jelas sangat merugikan keuangan negara. Apalagi kita sedang menghadapi situasi krisis ekonomi,” jelas Budiana.

Namun kata Budiana, polisi justru menggunakan UU ITE untuk membungkam kritik.

Polisi juga disebut Budiana telah melanggar agenda reformasi institusi kepolisian sendiri.

“Polisi terpisah dari TNI agar polisi profesional menjalankan fungsi penegakkan hukum, dan bukan menjadi benteng kekuasaan,” tegas Budiana.

Dengan demikian, Budiana menilai bahwa arogansi aparatur kepolisian menangkap para aktivis merupakan senja kali demokrasi.

“Sekaligus indikasi rezim Jokowi khianati agenda reformasi 1998,” pungkas Budiana.

Hal senada juga diungkap Rocky Gerung yang menilai pemborgolan itu sarat muatan politis.

Demikian disampaikan Rocky Gerung dalam video wawancara Forum News Network yang dipandu Wartawan Senior Hersubeno Arief, yang disiarkan di Youtube Rocky Gerung Official, Jumat (16/10/2020).

“Ini adalah persaingan politik. Peristiwa pemborgolan itu politis,” ujar Rocky.

Kesan politik dalam fenomena pemborgolan tersebut, menurut Rocky, nampak dari pernyataan pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD.

Sebab mahfug sebelumnya mengaku telah mengetahui penyandang dana aksi rusuh tolak omnibus law UU Cipta Kerja.

“Mahfud bilang dari awal mereka sudah tau pelakunya, karena itu dilaporkan ke polisi,” katanya.

“Kan polisi melapor kepada Mahfud. Kan, Mahfud sendiri mau itu dipamerkan,” ungkap Rocky.

Dalam posisi ini, Rocky justru melihat Polisi hanya menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.

“Polisi itu adalah yang bekerja semata-mata secara positifistik,” ujar dia.

“Artinya dia hanya melihat konstruksi perkara itu lalu ditempelkan kepada delik. Oleh itu dipasanglah borgol itu,” sambungnya.

Semestinya, lanjut Rocky, Presiden Joko Widodo dan Mahfud MD mengerti bahwa para inisiator KAMI tersebut tidak pantas diperlakukan seperti itu oleh polisi.

“Mestinya, presiden atau paling minimal Pak Mahfud harus menegur dengan cara yang tersamar,”

“Atau fasilitas intelejen kepada polisi. Karena Mahfud ngerti soal-soal beginian ini,” ucapnya.

Oleh karena itu, Rocky menganggap pemborgolan inisiator KAMI cendrung politis, dan telah menghina demokrasi dan merendahkan orang.

“Artinya borgol itu kan merendahkan orang. ‘Wah anda kriminal, makanya anda diborgol’. Memang itu prosedur,” tutur dia.

“Tapi tadi saya terangkan, proses itu harus dikaitkan dengan peristiwa,” tandasnya.

(rmol/ruh/pojoksatu)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *