Dari Gunung Brintik Terbang ke Singapura

Dua Srikandi Memutus Mata Rantai Anak Jalanan Dua wanita berbeda generasi ini cukup ulet dan konsisten dalam upaya memutus mata rantai anak jalanan di Kota Semarang. Mereka berusaha mengentaskan anak jalanan dengan berbagai cara, mulai mengajak berwirausaha mandiri hingga menjadi dosen. Seperti apa?

SEBUAH gang kecil yang membelah makam Bergota di Kelurahan Randusari Semarang Selatan, tampak ramai pengendara melintas.

Rimbun berbagai pohon besar seperti beringin dan jati menambah adem. Tampak kanan-kiri berjejal batu nisan. Meski di siang hari, terasa seram ketika mencium aroma khas bunga kamboja yang tumbuh di sela patok kuburan.

Menyusuri gang-gang di tengah makam terbesar di Kota Atlas itu, warga pendatang akan tercengang mendapati berbagai rumah hunian dikepung makam.

Anak-anak tampak ceria bermain di atas batu nisan tak dikenal. Sementara di sudut lain, remaja bertato asyik berbincang bersama temannya sembari main gitar.

Permukiman itu adalah Kampung Gunung Brintik. Sebuah perkampungan yang dikenal sebagai daerah basis anak jalanan, pengamen, penjual koran dan pengemis.

Di tanah berbukit itu, rumah warga sebagian berdiri di areal Makam Bergota, sebagian menjadi bagian Kampung Wonosari, Kelurahan Randusari Semarang Selatan, atau sekarang dikenal dengan sebutan Kampung Pelangi Semarang.

Rata-rata, warga di Kampung Gunung Brintik ini terbilang miskin dan berpendidikan rendah. Banyak orang tua, remaja, bahkan anak-anak terpaksa berjibaku di jalanan untuk sekadar mendapat uang jajan.

Mereka kerap meminta belas kasihan kepada pengendara yang berbaik hati melempar duit recehan di traffic light. Sungguh ironis, anak-anak di bawah umur kerap disuruh orang tuanya untuk meminta-minta. Tak mengherankan bila di kampung tersebut lebih dekat dengan pergaulan bebas dan kriminalitas.

Jika tidak di traffic light, mereka mengais rezeki dengan meminta-minta sedekah kepada para peziarah di Makam Bergota. Sebab, di dekat tempat tinggal mereka terdapat makam Kiai Sholeh Darat atau Muhammad Saleh bin Umar As-Samarani, seorang ulama besar di tanah Jawa yang merupakan guru dari KH Hasyim Ashari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Kondisi tersebut sangat memprihatinkan.

Memasuki permukiman padat penduduk di Kampung Wonosari RT 6 RW 3 Kelurahan Randusari, Semarang Selatan, berdekatan dengan Kampung Gunung Brintik, ada sebuah rumah sederhana. Rumah itu adalah tempat tinggal seorang wanita bernama Sri Hartatik atau akrab disapa Bu Prapto, 63.

Dia adalah tukang sayur keliling yang dikenal sangat akrab dengan dunia anak jalanan. Sebab, puluhan tahun rumahnya kerap menjadi jujukan atau rumah singgah anak jalanan di Kota Semarang.

“Awalnya, saya mendampingi anak-anak saya sendiri yang terpaksa turun ke jalan menjadi pengamen. Kira-kira 1995-1996, kehidupan ekonomi saya hancur. Apalagi saat terjadi krismon (krisis moneter). Anak-anak saya mengamen buat tambahan uang saku.

Tapi anak saya itu seringkali ngusungi anak-anak pengamen yang sedang sakit ini ke rumah. Buk, tolong dikerokin dan seterusnya,” kata Hartatik ditemui di rumahnya, Jumat (27/10/2017).

Lama kelamaan, anak jalanan yang sering berkumpul di rumahnya semakin banyak. Saat itu bertemu seorang aktivis sosial bernama Winarso, kemudian dibentuklah Paguyuban Anak Jalanan. Sosoknya yang memberi kasih sayang terhadap anak jalanan tanpa memandang asal usul ini, membuat Bu Prapto kerap disebut sebagai ibunya para pengamen.

Ia menjadi sosok yang sering merawat para pengamen di kala sakit maupun memberi makan saat tidak memiliki uang.“Di rumah saya menjadi tempat penampungan, tidur, mandi, atau sakit, ya dirawat di sini.

Banyak anak jalanan yang krasan. Awalnya hanya mendampingi anak saya sendiri, tapi kemudian malah mendampingi banyak anak jalanan. Kemudian muncul Komunitas Trotoari, yang dulu istilahnya sebagai tempat pencarian diri,” katanya.

Dia berpikir agar bagaimana caranya para anak jalanan jangan sampai putus sekolah. Sehingga anak jalanan tetap mampu bertahan hidup sembari tetap memikirkan pendidikan. “Saat itu para anak jalanan ada yang sembari meneruskan sekolah hingga kuliah.

Hingga sekarang, para anak jalanan itu sudah banyak yang mentas dan bekerja layak. Bahkan, salah satunya adalah Darwanto, sekarang menjadi dosen di Bekasi. Dulu kuliah di AIS (Akademi Ilmu Statistik Semarang). Lainnya, sekarang juga banyak yang sudah bekerja,” katanya.

Hartatik mengaku bagaimana agar bisa memutus mata rantai anak jalanan. Tak bosan-bosannya ia menerima dan mendampingi anak jalanan. Ternyata upayanya tak cukup berhasil mampu memutus mata rantai permasalahan tersebut.

Sebab, anak jalanan selalu datang silih berganti dari generasi ke generasi. Baik anak jalanan yang ada di Gunung Brintik maupun yang datang dari luar Kota Semarang. “Saat ini, saya sudah tua. Anak-anak saya yang meneruskan pendampingan anak jalanan untuk belajar berwirausaha,” katanya.

Dikatakanya, hingga sekarang, jumlah warga di Gunung Brintik yang menjadi anak jalanan masih sangat banyak. Baik pengamen, penjual koran, maupun mengemis atau peminta-minta. Ia memerkirakan jumlahnya ratusan, kebanyakan tinggal di RT 5, RT 9, RT 10.

“Mereka masih sulit diajak bicara berkaitan dengan wirausaha seperti itu. Misalnya kegiatan belajar rutin setiap hari Sabtu dan Selasa saja, yang mau ikut hanya 10-15 an orang,” katanya didampingi anaknya, Anis Wahyu Nurhayati atau Ayu.

Sejak 2011, perubahan pola terlihat atas kehadiran sosok wanita muda bernama Dewi Nurcahyaningsih. Dia saat itu masih duduk di bangku di kelas 1 SMA Negeri 3 Semarang, yang prihatin melihat fenomena anak jalanan di Kampung Gunung Brintik tersebut.

Dewi nekat melakukan riset dan terjun langsung untuk bergabung dengan para anak jalanan. Salah satu program yang ia dirikan adalah Koperasi Anak Jalanan (Kopaja) dan mendampingi para anak jalanan.

Bahkan hingga sekarang terus berkembang dan terbentuk komunitas Dynamic Learning Social Entrepreneurship Project, sebuah program kreativitas dengan memberdayakan anak-anak jalanan di Gunung Brintik.

“Saya berpikir bagaimana caranya agar para anak jalanan itu bisa dapat uang, tapi tidak dengan cara mengamen. Saya sedih, anak-anak di bawah umur berjibaku di jalanan.

Mereka mengamen, jual koran dan meminta-minta. Ternyata mereka disuruh oleh orang tuanya,” kata gadis kelahiran Semarang, 24 Juli 1995 yang saat ini sedang menyelesaikan kuliah jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang ini.

Dikisahkan, awal mula ia bergelut dengan dunia anak jalan pada 2011 silam. Saat itu, Dewi masih duduk di bangku kelas 1 SMAN 3 Semarang. Inspirasi muncul ketika setiap hari saat berangkat dan pulang sekolah, dia melihat banyak anak jalanan di Tugu Muda Semarang. Dewi terus dihantui pertanyaan-pertanyaan, mengapa ada warga yang secara fisik sehat, tetapi hanya mencari nafkah dengan cara meminta-minta.

Mengapa remaja tidak sekolah dan mengamen, bahkan mengapa anak di bawah umur diminta berjualan koran.
“Saya mengajak teman untuk menelusuri, di mana tempat tinggal mereka. Beberapa waktu kemudian, saya memeroleh informasi kalau mereka kebanyakan tinggal di wilayah Gunung Brintik.

Saya kaget, ternyata mereka beranak pinak di kampung itu,” kata mahasiswi yang tinggal di Jalan Pandansari Semarang Tengah itu. “Saya diperkenalkan dengan para anak jalanan, kemudian ikut terjun ke jalanan untuk menemani mengamen.

Sepulang sekolah, saya ganti baju kemudian langsung ikut mengamen,” katanya.
Setelah mengenal akrab, Dewi sedikit demi sedikit memerkenalkan bagaimana berbisnis secara sederhana.

Dengan modal awal Rp 15 ribu yang merupakan uang saku sekolah, Dewi mengajak berbisnis jualan gorengan. “Sangat sulit mengajak mereka.

Saat itu ada 10 orang, hanya dua orang yang mau ikut berjualan gorengan di Tugu Muda. Setiap hari, uang hasil berjualan sebagian dibagikan dan sebagian ditabung. Baru dua minggu berjalan, ternyata tabungan berkembang menjadi Rp 300 ribu,” katanya.

Dia lantas berpikir agar bagaimana modal tersebut bisa terus berkembang. Muncul ide membentuk Koperasi Anak Jalanan (Kopaja). Lama kelamaan, uang modal terus bertambah sehingga hal itu mampu membuat para anak jalanan yang lain tertarik.

“Anggota koperasi bertambah menjadi 12 orang anak jalanan. Saya perkenalkan konsep koperasi sederhana, mulai ada simpanan pokok, simpanan wajib, sukarela, dan seterusnya. Saya juga ikut iuran. Aktivitas berjualan itu sedikit berhasil mampu mengurangi intensitas mereka mengamen. Sekaligus belajar kemandirian bisnis,” katanya.

2011, Dewi berinisiatif untuk mengikuti Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia bidang IPS Humaniora yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI. Koperasi anak jalanan yang ia dirikan sekaligus dijadikan sebagai sample eksperimen untuk materi olimpiade penelitian siswa tersebut.

“Karya kami tentang Koperasi Anak Jalanan Sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan, Studi Kasus di Kawasan Tugu Muda Semarang, ternyata mendapat Medali Perak dari Kemdikbud RI,” katanya.

Tidak berhenti di situ, 2013, Dewi menilai anak jalanan meski sudah ada koperasi, ternyata belum efektif untuk mengurangi jumlah anak jalanan, bahkan jumlahnya bertambah banyak. Ia terus berpikir bagaimana cara memutus mata rantai anak jalanan tersebut.

“Saya kembali meneliti, kenapa masih ada anak jalanan lain yang terus bertambah? Ternyata faktor utamanya adalah mereka disuruh oleh orang tuanya untuk turun ke jalan meminta-minta.

Maka saya mendirikan program kreativitas mahasiswa dengan nama Dynamic Learning bersama teman-teman. Ini pengembangan pendampingan anak jalanan. Selain mendidik dan mengenalkan konsep bisnis kepada anak jalanan, kami sekaligus memberdayakan orang tuanya juga,” katanya.

Maka komunitas Dynamic Learning ini berusaha memberdayakan orang tua para pengamen untuk diajak mendirikan usaha. Salah satunya dilatih keterampilan membuat kue, usaha kuliner, kerajinan tangan, termasuk mengenalkan teknologi agar mereka bisa memasarkan secara online.

“Kami libatkan orang tua pengamen, agar mereka berpenghasilan dan tidak menyuruh anaknya turun ke jalan. Maka kami bantu untuk berjualan online,” katanya.

Komunitas yang bergerak dalam bidang sosiopreneur ini berkembang pesat. Dia juga melibatkan para mahasiswa dari berbagai kampus, di antaranya Undip, Unnes, Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gajah Mada (UGM), Polines, dan Unissula.

“Tujuannya bagaimana mengentaskan kemiskinan. Tindakan kriminal selalu didahului kemiskinan. Sehingga para anak jalanan dan orang tuanya, bisa berpenghasilan dengan menekuni wirausaha mandiri. Kami melakukan edukasi sedikit demi sedikit,” katanya.

Bahkan kegiatan sosial itu kian berkembang, saat ini telah didirikan Koperasi Anak Jalanan di daerah Caturharjo, Sleman, Jogjakarta. Meski jumlahnya belum banyak, Dewi bersama teman-temannya tetap gigih mendampingi anak-anak jalanan tanpa pamrih.

“Saat ini ada 57 anak jalanan, 12 ibu orang tua anak jalanan, 10 anak putus sekolah, dan 20 orang pasca rehabilitasi narkoba,” beber dia.

Bahkan, Dewi dengan kegiatan komunitas Dynamic Learning ini mampu menyabet juara 1 kompetisi ASEAN Start Up Accelerator 2017 di Kaplan University Singapura dan Edge Hackathon 2017 di Platform E Singapura pada 9-10 September 2017 lalu.

Melalui Dinamic Learning ini ia berhasil menggaet investor dari Singapura untuk mengembangkan program pengentasan para anak jalanan di Kota Semarang.

“Saat ini Memorandum of Undertanding (MoU) sedang dibuat, support kerjasamanya tentang market place dan networking. Saat satu program rutinnya adalah pelatihan ibu-ibu dari anak jalanan dalam berwirausaha.

Mereka membuat berbagai produk, baik kerajinan tas rajut, kerajinan kayu, maupun produk makanan. Kami fasilitasi pengembangan produk supaya bisa go internasional,” Market Place yang dibentuk berupa situs online http://dynamiclearningid.org, semacam toko online yang jangkauan pemasarannya lebih luas.

Selama dua tahun ini, sudah menjual sebanyak 2.000 produk. Ini pengembangan dari Koperasi Anak Jalanan. “Kalau koperasi anak jalanan mendampingi anak jalanan untuk berlatih wirausaha mandiri kemudian sembari menabung. Sedangkan Dinamic Learning merupakan pengembangannya, dengan melibatkan orang tua anak jalanan untuk berwirausaha,” katanya.(sm/amu/ida/JPR)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *