Ajari 100 Santri, 95 Mengundurkan Diri

Muhammad Hamzah Naufal, Pelopori Tari Sufi di Kota WaliBelajar, lebih-lebih menekuni, tari sufi butuh spirit berlebih.

Tarian itu diyakini lebih merupakan ekspresi religi. Termasuk mengingat mati.

CHUSNUL CAHYADI

MUHAMMAD Hamzah Naufal siap-siap berlatih di Studio Musik Wahidah di Jalan Kartini.

Lelaki 30 tahun itu berdiri di ruang seluas hanya 4 meter persegi.

Lantainya kayu. Kamis siang (5/10) itu Naufal sudah memakai kostum lengkap.

Topi menjulang ke atas atau sikke. Bentuknya mirip batu nisan ala Turki. Kemudian, jubah gamis tennur putih.
Lajang yang tinggal di Jalan Panglima Sudirman itu menyebut jubah gamis tennur-tenur putih merupakan simbol kain kafan. Lalu, dia menumpukinya

dengan jubah hitam alias hirqoh (alam kubur). ”Saya ini ya ibarat mayatnya. Harus dalam kondisi suci saat perform,” ujar Naufal yang disaksikan Trisno, pemilik
studio musik.

Lamat-lamat kemudian suara musik religi mengalun. Tangan Naufal bersedekap memberi hormat. Tubuhnya membungkuk. Kemudian melepas hirqoh.

Badan lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan pabrik baja di Jalan Mayjen Sungkono, Kebomas, itu berputar mengikuti alunan lagu berjudul Nawarti.

Tubuh Naufal berputar berlawanan dengan arah jarum jam.

Terus berputar semakin kencang bagai angin. Kedua tangan mengarah ke atas. Bagian bawah jubah gamis tennur putih mengembang.

Bulat. Suhu udara yang semula 31 derajat Celsius seakan berubah menjadi sejuk.
”Tari sufi, uniknya di putaran, kostum, dan gerakan,” sela Trisno.

Selama 15 menit putaran tanpa henti. Namun, hingga musik berakhir, Naufal tetap berdiri tegak. Tidak sempoyongan seperti kebanyakan orang yang kehilangan
ke seimbangan.

”Saya pernah empat kali lagu nonstop. Masing-masing lagu 15 menit,” terangnya.

Sudah empat tahun Naufal berlatih tari sufi. Dia belajar kepada Kiai Budi Harjono di komunitas tari sufi Indonesia di Semarang. Pada 2014 Naufal mulai aktif

tampil menari sufi, seni asal Turki itu. Kemudian, dia pulang ke Gresik.

Mengembangkan tari ciptaan penyair Jalaluddin Rumi itu di Kota Pudak. Blusukan ke pondok pesantren. Naufal sempat melatih seratus santri dari berbagai ponpes.

Namun, jumlah santri berangsur-angsur merotol. Bahkan, 95 orang keluar di tengah jalan. Hampir semua santri yang mundur itu memiliki dalih sama. ”Alasan pusing.

Ada yang sampai muntah-muntah,” ujarnya.

Hanya lima santri yang bertahan. Kebanyakan tidak kuat dan berhenti.

Tari sufi, kata Naufal, merupakan lelaku spiritual muslim. Aslinya malah lebih cenderung sebagai meditasi. Mendekatkan diri kepada Tuhan.

Tari Sufi juga bisa menjadi terapi kesehatan. Kecanduan rokok misalnya.

”Belajarlah tari sufi, pasti akan berhenti merokok. Tari sufi juga terapi antirokok,” tegasnya.

Selain menyembuhkan kecanduan rokok, tari sufi bisa menjaga berat badan agar tetap ideal. Tari sufi mampu meningkatkan iman, mengekang ego, dan menahan nafsu.

”Karena menari sufi, gairah makan bisa berkurang. Tanpa harus diet,” katanya. (*/c10/roz)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *