Sempat Diisukan Meninggal, Dokter Ragil Widodo Berjuang Melawan Covid-19

PERNAH TERPAPAR: Dokter Ragil Widodo Budi Nugroho yang pernah terpapar Covid-19 dan kini telah sembuh. (Foto: Mukhamad Rosyidi/Jawa Pos Radar Bromo)

Dokter Ragil Widodo Budi Nugroho adalah salah satu tenaga kesehatan yang terpapar Covid-19 di awal-awal penyebarannya. Kepala Puskesmas Tosari itu tertular dari klaster pelatihan haji Sukolilo, Surabaya.

————————

PAGI pukul 08.00, pria yang akrab disapa dr Ragil itu sudah standby di Puskesmas Tosari, Kabupaten Pasuruan. Dengan memakai masker plus pelindung mata, ia setia menunggu pasien yang hendak berobat. Sesekali, ia melihat catatan yang ada. Kemudian, kembali lagi ke ruangannya.

Itulah kegiatan dr Ragil, kepala Puskesmas Tosari. Saat ini, protokol kesehatan ketat dilakukan dalam kegiatan sehari-harinya. Apalagi setelah dia ia menjadi orang yang termasuk klaster pertama penyebaran Covid-19 di Kabupaten Pasuruan.

“Ragil Widodo Budi Nugroho, saya kepala puskesmas di sini,” katanya kepada Jawa Pos Radar Bromo (jaringan radar Sukabumi) memperkenalkan diri.

Pria berusia 40 tahun itu menyambut tersenyum ramah. Kemarin, ia memakai pakaian dengan warna serba hijau.

“Saya salah satu orang yang terkonfirmasi positif Covid-19 awal-awal dulu. Saya tertular dari klaster pelatihan haji Sukolilo,” katanya memulai pembicaraan.

Saat itu menurutnya, penerapan protokol kesehatan belum begitu ketat. Bahkan, saat pelatihan waktu itu tidak diterapkan protokol kesehatan. Peserta yang ikut tidak ada yang memakai masker dan menjaga jarak. Semuanya berbaur layaknya tidak ada virus Covid-19.

Maklum, waktu itu memang di Indonesia belum ditemukan kasus positif. Sehingga, pengetatan protokol kesehatan tidak ditekankan. Baru setelah pelatihan yang dijalankan selama 10 hari itu selesai, ada kasus positif di Indonesia.

“Karena ada berita itu, maka Pemprov Jatim meminta skrining semua yang ikut pelatihan termasuk dirinya,” ceritanya.

Ia pulang dari pelatihan sekitar 18 Maret. Sehari setelahnya, dirinya sempat kerja dan berinteraksi dengan karyawan dan staf di puskesmas. Termasuk tentu saja interaksi dengan keluarga.

Hari itu, protokol kesehatan mulai diterapkan. Ragil pun mulai memproteksi diri, karena ada klaster pelatihan haji sukolilo. Walaupun, hari itu dia tidak merasakan gejala apapun.

Gejala baru muncul malam harinya. Ia merasakan demam, mual serta merasa sekujur tubuhnya sakit. “Semenjak itu saya kemudian melakukan isolasi mandiri di rumah. Saya selama empat sampai lima hari di rumah,” tuturnya.

Setelah merasa mendingan, ayah dua anak itu kembali masuk kerja. Tujuannya, memeriksakan diri di Puskesmas dengan pemeriksaan darah lengkap. Hasilnya, diketahui ada semacam virus. Itu terlihat dari trombosit dan lekosit yang menurun.

“Saya tambah yakin bahwa ada infeksi virus. Kemudian saya konsultasi ke rumah sakit dan sarannya saya harus istirahat,” katanya.

Di Jawa Timur waktu itu belum ada kasus. Keesokan harinya, tersiar berita bahwa ada peserta pelatihan dari Kementerian Agama (Kemenag) yang meninggal dan positif Covid-19.

Berita itu tersiar pada 25 Maret. Karena itu, pada 26 Maret semua peserta pelatihan dari Kabupaten Pasuruan dikumpulkan untuk di-swab. Tanggal 27 Maret, tes swab kembali dilakukan. Lokasinya di RSUD Bangil.

“Yang ada keluhan di-swab, termasuk saya. Waktu itu hasil tes swab keluarnya lama, sekitar semingguan. Karena itu, kemudian kami disuruh isolasi mandiri,” tuturnya.

Selang beberapa waktu, ada bocoran bahwa hasil swab-nya positif. Ragil pun diminta isolasi di RSUD Bangil. Kondisinya saat itu sudah membaik. Demam sudah tidak ada, batuk, dan mual juga hilang. Yang ada hanya capek.

“Kemudian tanggal belasan April dilakukan tes swab lagi. Ini merupakan swab ketiga dan hasilnya negatif,” katanya.

Di masa awal persebaran Covid-19, untuk dinyatakan sembuh memang harus dua kali swab dan hasilnya negatif. Karena masih satu kali negatif, ia dipindahkan ke tempat isolasi di Pandaan.

Kemudian pada 20 April, Ragil kembali menjalani tes swab dan hasilnya positif. Karena itu, ia harus menjalani isolasi. Meskipun positif, ia tidak merasakan gejala apapun.

Setelah itu, tes swab dilakukan terus secara rutin. Namun, hingga tes swab ketujuh ia masih saja positif. Baru kemudian swab kedelapan dan sembilan ia dinyatakan negatif.

“Saat itu dia baru boleh pulang. Tapi, kembali harus melakukan isolasi mandiri selama empat belas hari,” tuturnya.

Selama masa isolasi, ia diperkenankan membawa alat komunikasi yakni android. Di sanalah, ia mendapatkan kabar mengenai keluarganya. Karena dirinya positif Covid-19, keluarganya dikucilkan. Bahkan istrinya yang bekerja di katering diberhentikan.

“Saya memaklumi. Karena waktu itu stigma sangat erat. Bahkan sekarang kan masih walau tidak seperti dulu,” jelasnya.

Semenjak ia diisolasi, keluarganya juga melajukan isolasi mandiri. Meskipun, hasil tracking keluarga maupun orang lain yang kontak erat dengannya negatif.

“Alhamdulillah ada yang kirim makanan pada keluarga saya. Saya masih bersyukur ada yang peduli,” jelasnya.

Saat itu, ia juga mendapatkan pertanyaan dari rekan-rekannya. Karena hingga sembilan kali swab dan lama tidak terlihat. Banyak yang menghubunginya dan menanyakan perihal kondisinya. Sebab, dia dikabarkan meninggal karena terpapar Covid-19.

“Saya isolasi sekitar dua bulan setengah. Jadi mungkin karena lama itu saya dikiran meninggal,” katanya.

Ia pun mengaku miris melihat masyarakat saat ini. Tidak jarang, banyak yang mengentengkan covid dengan tetap berkerumun. Padahal, penyakit ini memang benar ada dan dirinya telah merasakan sendiri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *