Psikolog DP3A Kabupaten Sukabumi Analis Prilaku Bullying Siswa SD Tewas di Sukaraja

DP3A-Kabupaten-Sukabumi
Kabid Perlindungan Perempuan dan Khusus Anak pada DP3A Kabupaten Sukabumi bersama Muspika Kecamatan Sukaraja, saat melakukan rakor

SUKABUMI – Tenaga Psikolog Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Sukabumi, Dikdik Hardy, angkat bicara soal kasus meninggalnya siswa kelas II SD di salah satu sekolah yang ada di wilayah Kecamatan Sukaraja. Korban yang diketahui merupakan siswa pindahan dari salah satu sekolah SD sekitar 4 atau 4 bulan itu, diduga dianiaya oleh kakak kelasnya saat berada di sekolah.

“Kasus dugaan penganiayaan ini disinyalir terjadi di lingkungan sekolah. Untuk itu, kami menilai, guru harus lebih peka terhadap peserta didiknya karena sejatinya guru adalah orang tua kedua anak di sekolah,” kata Dikdik kepada Radar Sukabumi pada Senin (29/05).

Bacaan Lainnya

Lingkungan sekolah memiliki jam pembelajaran terbatas. Sehingga terduga pelaku seringkali mencari tempat sepi untuk menghindari otoritas. Untuk itu, dalam hal ini seorang guru ataupun kepala sekolah harus lebih peka terhadap anak didiknya.

“Mereka ini menjadi guru itu, guru sebagai profesi atau guru sebagai pekerjaan. Jika orang dulu melihat guru sebagai profesi. Maka, mereka harus memiliki tanggungjawab moral. Iya, bukan hanya akademik tapi juga perilaku anak. Nah, di zaman sekarang melihatnya guru sebagai pekerjaan, jadi setelah menyampaikan materi pembelajaran kepda siswa, sudah selesai,” tandasnya.

Ia juga menilai kasus dugaan penganiayaan dapat dikatakan sebagai perundungan (bullying, red). Mayoritas, perilaku perundung yang dilakukan pelaku disebabkan oleh kurangnya pola asuh orang tua dan lingkungan sosial.

“Jadi, perilaku bullying yang disertai dengan kekerasan pada anak itu, dimungkinkan karena lingkungan yang padat, lingkungan yang mentolerir kata-kata atau sikap yang kasar dan lemahnya fungsi kontrol dari pola asuh orang tua,” tandasnya.

Mayoritas, bullying ini dilakukan tidak secara random, korban harus inferior dan pelaku biasanya merasa superior. Sehingga, tidak ayal jika terdapat korban yang tidak bercerita tentang perundungan yang dialaminya. Karena, korban merasa takut dan dihantui kecemasan. Karena, dalam fikirannya efeknya akan lebih besar yang korban terima dari pelaku.

“Ini kan dugaan sementaranya, pelaku dan korbannya ini masih anak. Nah, artinya negara melindungi hak-haknya. Namun meski demikian tetap tidak mentolerir perilakunya,” imbuhnya.

Ia menambahkan, korban dimungkinkan memiliki kondisi tubuh yang lemah yang rentan terhadap pukulan. Kondisi ini menjadi salah satu alasan adanya tindakan perundungan. “Intinya, peristiwa ini harus menjadi pembelajaran semua pihak, khususnya pengawasan orangtua dan guru harus lebih peka saat melihat perubahan perilaku peserta didik saat di sekolah,” pungkasnya. (Den)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *