HUT Kabupaten Sukabumi ke 149, Meluruskan Sejarah Hari Jadi Kabupaten Sukabumi

Hari ini, 10 September 2019 merupakan hari bersejarah Kabupaten Sukabumi yang ke 149. Betapa tidak, untuk pertama kalinya Kabupaten Sukabumi merayakan hari jadinya pada tanggal 10 September, yang awalnya biasa dirayakan pada 1 Oktober. Ada semangat baru, ada perubahan baru untuk menatap masa depan Kabupaten Sukabumi lebih maju.

Laporan: Handi Salam Sukabumi

Bacaan Lainnya

Peraturan daerah (Perda) Kabupaten Sukabumi No. 14 tahun 2018 tentang hari Jadi Kabupaten Sukabumi yang menetapkan tanggal 10 September 1870 sebagai Hari jadi Kabupaten Sukabumi, menjadi titik awal perubahan perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Sukabumi. Perda tersebut merevisi keputusan DPRD Kab DT.II Sukabumi Nomor 02 tahun 1993 tentang penetapan hari Jadi Kabupaten Sukabumi.

Bukan tanpa sebab, pelurusan sejarah dilakukan oleh para pejabat Kabupaten Sukabumi. Tak lain untuk menata lebih baik dari sisi kesejarahan awal mula berdirinya Kabupaten terluas kedua se-Jawa Bali ini. Lokasi yang berada pada koordinat: 106º49 – 107º bujur Timur (BT), 60º57 – 70º25 lintang Selatan (LS) ini memantapkan diri untuk merubah perayaan HUT dari yang sebelumnya dilakukan pada 1 Oktober.

Akan ada beberapa kegiatan yang akan memeriahkan perayaan HUT Kabupaten Sukabumi yang ke 149 ini, mulai dari karnaval hingga kegiatan lainnya akan digelar. Bupati Sukabumi, Marwan Hamami pada waktu lalu mengatakan, selama ini hari jadi Kabupaten Sukabumi (1 Oktober 1945) lebih muda dari pada hari jadi Kota Sukabumi (1 April 1914).

Sehingga muncul pertanyaan dari kalangan masyarakat dan tokoh pergerakan tentang kepastian hari jadi Kabupaten Sukabumi.Oleh karena itu pemerintah daerah menggelar seminar untuk meluruskan sejarah dari masa yang tercatat dari jaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang, dan hingga sekarang ini.

Banyak yang bertanya-tanya mengenai hari jadi Kabupaten Sukabumi yang menjadi polemik. Meskipun kata dia Kabupaten Sukabumi sudah memiliki hari jadi yaitu 1 Oktober 1945, yang lebih muda dibandingkan Kota Sukabumi. Menurut Marwan, informasi yang diperoleh pada tahun 10 September 1870 ada satu surat menyurat yg ditujukan kepada kanjeng bupati. Sebabnya pada tanggal tersebut dikenalkan pertama kali istilah patih atau saat ini bupati Sukabumi.

Jika hari jadi disepakati pada 10 September 1870, maka Sukabumi memiliki sejarah yang pasti. Di mana berdasarkan data yang ada, Sukabumi memiliki bupati yang merupakan putra daerah bukan dari Belanda. Di sisi lain, hari jadi saat ini yakni 1 Oktober 1945 didasarkan pada perebutan Gedung Juang yang berkaitan dengan perjuangan Bojongkokosan.

Data ini, kata Marwan, sudah difotokopi dan ditelusuri selama satu tahun terakhir untuk menjawab pertanyaan sejarah Kabupaten Sukabumi. Untuk merubah hari jadi Kabupaten Sukabumi, tidak bisa secara merta dilakukan. Melainkan memerlukan bantuan dari para pakar dan kajian keilmuan.

Untuk itu pemerintah daerah meminta bantuan guru besar ilmu sejarah dari Universitas Padjadjaran Prof Dr Nina Herlina, didampingi pakar hukum dari Unpad Dr. Hernadi Affandi dan pakar sosiologi Unpad Ade Kartawinata, untuk membuat naskah akademis sesuai Peraturan Kemendagri Tahun 2011, dimana terlebih dahulu membuat kajian.

”Hasil dari kajian ini akan diajukan ke DPRD Kabupaten Sukabumi untuk menjadi pertimbangan, yang nantinya akan disusun peraturan daerah (Perda) mengenai perubahan hari jadi, ujar Marwan di seminar uji publik naskah akademis pengusulan ulang hari jadi Kabupaten Sukabumi, di Pendopo Negara Kabupaten Sukabumi di Jalan Ahmad Yani Kota Sukabumi, Rabu (21/2/2018) lalu.

Marwan mengatakan, pelurusan sejarah hari jadi ini penting. Harapannya kata dia anak cucu bisa memahami sejarah Sukabumi dengan lebih baik. ”Kalau mau lebih baik maka luruskan kembali sejarah,” harap Marwan.

Sebelumnya diketahui sejarah Kabupaten Sukabumi berawal dari adanya beberapa ditemukan Prasasti Sanghyang Tapak peninggalan Kerajaan Hindu dan Buddha di daerah Cibadak, hal itu menguatkan bahwa Sukabumi merupakan daerah yang sudah dihuni sejak abad ke-9 M. Dalam prasasti tersebut menyebut larangan penguasa Kerajaan Sunda kepada penduduk setempat menangkap ikan. Terdapat juga peninggalan sejarah lain yaitu Prasasti Pasir Datar (Cicantayan) namun tulisan prasasti tersebut belum diterjemahkan.

Baru pada masa kolonial Hindia Belanda, Kabupaten Sukabumi berada di bawah Kabupaten Cianjur, bagian dari Karesidenan Priangan. Pada 1776, Bupati Cianjur keenam Raden Noh Wiratanudatar VI membentuk kepatihan Tjikole, terdiri dari enam distrik yaitu Tjimahi, Tjitjoeroeg, Goenoengparang, Tjiheoelang, Djampangtengah, dan Djampangkoelon dengan pusat pemerintahan di Tjikole (Kota Sukabumi).

13 Januari 1815, Kepatihan Tjikole berubah menjadi Kepatihan Sukabumi, atas usulan ahli bedah Dr. Andries de Wilde, pemilik perkebunan kopi dan teh di Sukabumi. Nama “Soekabhoemi” berasal dari Bahasa Sansekerta, soeka berarti kesenangan, kesukaan, kebahagiaan, dan bhoemi berarti bumi atau tanah. Jadi Sukabumi memiliki arti, tanah yang disukai.

Kabupaten Sukabumi berdiri sejak ditetapkan Besluit Gubernur Jenderal Dirk Fock no. 71 tanggal 25 April 1921. Terpisah dari Kabupaten Cianjur sejak 1 Juni 1921, dengan bupati pertama adalah R. A. A. Soerianatabrata. Tahun 1923, Karesidenan Priangan dimekarkan tiga yaitu Priangan Barat berpusat di Sukabumi, Priangan Tengah di Bandung, dan Priangan Timur di Tasikmalaya.

Bupati kedua Sukabumi adalah R. A. A. Soeriadanoeningrat, memerintah sampai masa pendudukan Jepang. Hingga terjadi perombakan pembagian administratif di wilayah Jawa Barat, dengan membentuk lima karesidenan baru, yaitu Banten, Batavia, Bogor, Cirebon, dan Priangan.
Kabupaten Sukabumi sebelumnya merupakan bagian dari Karesidenan Priangan Barat, selanjutnya dimasukkan ke Bogor, karenanya wilayah Kabupaten dan Kota Sukabumi memiliki plat nomor kendaraan F.

Hindia Belanda takluk dari Jepang pada 8 Maret 1942, Karesidenan Priangan pun berganti nama menjadi Syukocan dengan kepala daerahnya Syukocanco. Kabupaten menjadi Kenco, kepala daerahnya disebut Kenco. Kenco pertama Sukabumi R. A. A. Soeriadanoeningrat, wafat tahun 1942, lalu digantikan R. Tirta Soeyatna.

Setelah Indonesia merdeka, digelar musyawarah oleh Mr. R. Syamsoedin, Mr. Haroen, dan Dr. Aboe Hanifah, disepakati mengirim delegasi ke Karesidenan Bogor untuk mendesak pelaksanaan serah terima kekuasaan dari Jepang ke Indonesia. Jika gagal, akan ada aksi massa dari Badan Keamanan Rakyat, polisi, KNID, ulama, dan utusan daerah pada 1 Oktober 1945.

Gagalnya perundingan di Bogor, pada 1 Oktober 1945, menimbulkan aksi massa mengurung kantor Kempetai untuk membebaskan seluruh tahanan politik dan menyita persenjataan. Di Lapang Victoria (Sekarang Lapang Merdeka Kota Sukabumi) bendera Jepang diturunkan dan diganti Merah Putih. Kantor-kantor pemerintahan pendudukan Jepang pun berhasil direbut.

Dalam beberapa hari seluruh Kabupaten Sukabumi sudah dikuasai Pemerintah Republik Indonesia. Terjadi penggantian para pejabat Kewedanaan dan Kecamatan yang tidak pro dengan tokoh-tokoh pro-kemerdekaan.

Setelah berada di bawah kendali Pemerintahan Republik Indonesia, akhir 1945 Mr. Haroen diangkat sebagai Bupati Sukabumi pertama paska-kemerdekaan, sedangkan Mr. R. Syamsoedin menjadi Wali Kota Sukabumi. Istilah-istilah administratif pemerintahan Jepang sendiri diganti dengan istilah Indonesia, seperti Ken yang diubah menjadi Kabupaten. Tanggal 1 Oktober pun ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Sukabumi.

Kabupaten Sukabumi saat ini merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Aksi massa pada 1 Oktober 1945, ditetapkan sebagai hari lahir Kabupaten Sukabumi. Saat ini, Kabupaten Sukabumi beribu kota Pelabuhanratu, luasnya 4.128 kilometer persegi, populasi penduduk laki-laki 1.239.279, perempuan 1.205.337 dengan totalnya 2.444.616 (data BPS 2016). Jumlah desa di kabupaten ini 386, yang tersebar di 47 kecamatan. Mayoritas warganya menggunakan Bahasa Sunda sebagai bahasa percakapan.

Kabupaten Sukabumi adalah terluas kedua di Pulau Jawa setelah Kabupaten Banyuwangi di (Jawa Timur). Kabupaten Sukabumi berbatasan dengan Kabupaten Bogor di Utara, Cianjur di Timur, Samudra Hindia di Selatan, serta Lebak di Barat. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *