Tiga Dosen ITS Revitalisasi Mesin Braille di Penjuru Daerah

Baru Bisa Jangkau 50 SLB di Indonesia

Kondisi mesin braille di SLB se-Indonesia sudah usang dan 90 persen di antaranya rusak. Tiga dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pun berinisiatif merevitalisasi mesin braille di 50 SLB.

SEPTINDA AYU PRAMITASARI

DUA dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Tri Arief Sardjono dan Tasripan begitu antusias menunjukkan hasil kerja keras mereka merevitalisasi mesin braille (mesin bantu untuk tuna netra) di SLB A Yayasan Pendidikan Tunanetra (YPTN) Mataram kepada Rektor Prof Joni Hermana pada Sabtu (3/11).

Mesin besutan Swedia tersebut tampak usang. Namun, kerja mesin itu sangat bagus untuk mencetak tulisan-tulisan braille.

’’Awalnya, mesin ini sudah tidak bisa digunakan,” kata Arief, dosen Fakultas Teknologi Elektro ITS. Tasripan pun menguji coba mesin yang sudah direvitalisasi tersebut untuk mencetak tulisan braille. Melalui program khusus yang dibuatnya, tulisan dengan huruf biasa diubah menjadi braille.

Kemudian, mesin braille itu mencetaknya dalam bentuk lembaran kertas. Beberapa murid SLB A YPTN pun membuktikan keakuratan mesin tersebut dengan membaca hasil cetakan di hadapan para guru dan dosen ITS. Arief mengatakan, pengadaan mesin braille ada sejak 2002.

Ratusan SLB di Indonesia memiliki mesin braille dari Swedia. Namun, sebagian besar mesin tersebut sudah rusak.

Hal itu membuat proses belajarmengajar di SLB terhambat. ’’Akhirnya kami mulai merevitalisasi mesin braille tersebut sejak 2012,” ujarnya.

Ada tiga dosen ITS yang terlibat dalam misi revitalisasi mesin braille itu. Selain Arief dan Tasripan, ada Hendra Kusuma. Tiga dosen tersebut menargetkan bisa merevitalisasi mesin braille di 50 SLB yang menjadi center berbagai daerah.

’’Di Indonesia ada 2.000-an SLB. Sasaran kami 50 SLB yang menjadi center,” kata dia. Sejak 2012, tiga dosen ITS tersebut menjelajahi satu per satu SLB di Indonesia.

Selain Mataram, mereka berkeliling ke sejumlah daerah hingga Sorong, Papua. Mesin braille di 50 SLB yang telah direvitalisasi itu akan melayani SLB di sekitarnya.

’’Dulu,hampir semua mesin braille tidak bisa digunakan. Sekarang semuanya sudah bisa dimanfaatkan lagi,” ujarnya.

Arief menjelaskan, salah satu hal yang direvitalisasi adalah kecepatannya. Yakni, dari 200 menjadi 400 karakter per detik.

Selain itu, spare part atau suku cadang mesin tersebut dibuatkan sendiri. Dengan begitu, jika ada kerusakan, guru atau petugas bisa memperbaikinya sendiri.

’’Mesin braille ini impor dari Swedia. Kalau rusak, suku cadangnya ada di luar negeri semua. Sekarang kami sudah bikin beberapa spare part-nya,” katanya.

Tidak hanya merevitalisasi, Arief dan kedua dosen teknik elektro juga membuat prototipe pada 2014. Saat ini sudah ada enam prototipe yang telah dibuat. Enam mesin tersebut akan disumbangkan ke sejumlah SLB di Indonesia.

Di antaranya, Jayapura, Ambon, Pangkal Pinang Kepulauan Bangka Belitung, Jakarta, dan Pemkot Surabaya. ’’Satu mesin lagi ada di laboratorium ITS,” jelasnya.

Penyerahan mesin braille ITS ke Pemkot Surabaya dilakukan pada 10 November. Rencananya, mesin braille itu diletakkan di Siola untuk dimanfaatkan SLB tunanetra. ’’Kami didukung Kemenristekdikti untuk membuat mesin braille ini.

Satu mesin kami hibahkan ke pemkot,” ujarnya.
Taspiran menambahkan, mesin braille yang diciptakan tersebut menjadi solusi para SLB tunanetra.

Selain suku cadang dibuat sendiri oleh ITS, biaya yang dibutuhkan untuk membuat mesin itu relatif lebih murah daripada impor. ’’Harga satu mesin sangat mahal. Inovasi ini bisa menjadi solusi,” ujarnya.

(*/c7/ano)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *