Kekecewaan Istri Prabangsa terhadap Remisi untuk Pembunuh sang Suami

FOTO: JAWA POS RADAR BALI KECEWA: Anak Agung Sagung Mas Prihantini mendatangi Kantor Radar Bali, diterima Pemred koran ini, I Gusti Putu Ardita.

RADARSUKABUMI.com – Sepuluh tahun silam Prabangsa dibunuh secara keji karena berita-berita yang ditulisnya. Karena itu, remisi kepada si pembunuh suaminya tersebut dianggap Anak Agung Sagung Mas Prihantini seperti menggores luka lama.

MADE DWIJA PUTRA, Denpasar

11 Februari 2009

KNALPOT sepeda motor Honda GL Pro itu menderum. Dan, perlahan kian sayup terdengar. Menandakan sang pengemudi Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa kian jauh meninggalkan rumah di Sanglah, Denpasar, Bali, itu.

Pagi itu tak ada yang terasa janggal bagi Anak Agung Sagung Mas Prihantini. Seperti tertulis dalam buku Jejak Darah setelah Berita, yang dia ketahui sang suami pergi ke kantor Radar Bali, tempatnya bekerja. Yang tak dia sadari, itulah kali terakhir dia bertemu sosok pria yang telah memberinya dua anak tersebut.

22 Januari 2019

Malam telah berjalan cukup jauh saat Prihantini datang ke kantor Radar Bali. Ibunda Anak Agung Istri Sri Hartati Dewandari dan Anak Agung Gde Candra Dwipa itu membawa segudang kekecewaan bersamanya.

Pemicunya adalah grasi (atau dalam versi pemerintah ”remisi perubahan”) yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada I Nyoman Susrama. Otak pembunuhan suami Prihantini, Prabangsa, itu mendapat keringanan hukuman. Dari seumur hidup jadi 20 tahun penjara.

”Ini (grasi) seperti memberikan pengampunan terhadap penjahat yang sudah melakukan pembunuhan berencana. Sementara, saya sebagai korban siapa yang melindungi?” ujarnya saat berbincang dengan Pemimpin Redaksi Radar Bali I Gusti Putu Ardita Sagung Mas.

Grasi atau apa pun namanya itu, bagi Prihantini, seperti membuka lagi luka lama. Mengoyak hari-hari tenangnya bersama dua buah hati. Membawa perempuan yang dinikahi Prabangsa pada 8 Januari 1995 itu kembali ke hari-hari penuh tangis sepuluh tahun silam. Saat sang suami meninggalkan rumah pada suatu pagi, tak pernah kembali, dan ditemukan kembali lima hari berselang. Dalam kondisi tak bernyawa. ”Rasa keadilan saya telah dirampas saat ini,” kata perempuan yang aktif di Palang Merah Indonesia tersebut.

11 Februari 2009

Malam itu kesibukan di kantor Radar Bali berjalan seperti biasa. Yang tak biasa adalah tak ada Prabangsa malam itu. Padahal, redaktur kelahiran Bangli yang telah bekerja di media yang tergabung dalam Jawa Pos Group tersebut memegang halaman Dwipa 1 dan 2. Dua halaman itu berisi berita-berita daerah se-Bali. Namun, khusus Bangli, karena saat itu belum ada reporter Radar Bali yang di sana, Prabangsa sendiri yang turun ke lapangan.

Yang tak diketahui istri dan para rekan kerja Prabangsa, siangnya, pria kelahiran Bangli pada 20 November 1968 itu melaju ke kampung asalnya dengan sepeda motor. Jejak Darah setelah Berita yang ditulis Abdul Manan dan Sunudyantoro menuliskan, kedua orang tua dan sebagian kerabat besarnya memang masih tinggal di Taman Bali, Bangli, sekitar 60 kilometer dari Denpasar.

”Hari itu memang ada acara nelubulanan (upacara adat Bali untuk bayi berusia tiga bulan) anak salah satu kerabatnya,” kata seorang kerabat Prabangsa seperti dikutip dalam buku yang diterbitkan Aliansi Jurnalis Independen tersebut.

Di tengah upacara adat itu, sekitar pukul 15.00, telepon genggam Prabangsa berbunyi. Tak jelas benar apa yang dibicarakan. Yang pasti, setelah percakapan tersebut, Prabangsa bergegas pergi. Itulah kali terakhir para kerabat melihat sosok wartawan alumnus jurusan sejarah Universitas Udayana tersebut.

Lima hari berselang, 16 Februari 2009, mayatnya ditemukan di perairan Teluk Bungsil. Di saku belakang celana ditemukan dompet. Isinya SIM, STNK GL Pro, dan kartu ATM BNI. Semua atas nama Prabangsa. Kondisi jasad Prabangsa, seperti tertulis dalam Jejak Darah Setelah Berita, lebam dan membengkak. Dahinya remuk dan di lehernya ada luka lebam bekas jeratan tali.

Kesimpulan awal polisi yang menyebut Prabangsa tewas dibunuh tapi bukan disebabkan pemberitaan yang dia tulis mendapat resistansi luas dari para rekan korban. Mereka mendesak polisi untuk menelisik berita, antara lain, tentang kasus dugaan korupsi pembangunan fasilitas pendidikan di lingkungan Dinas Pendidikan Bangli senilai Rp 4 miliar.

Akhirnya kasus Prabangsa terungkap. Pada Mei 2009 atau tiga bulan sejak jenazah Prabangsa ditemukan, polisi menetapkan enam tersangka pembunuh Prabangsa. Mereka adalah Komang Gede, Nyoman Rencana, I Komang Gede Wardhana, Dewa Sumbawa, dan Endy. Lalu, si dalang pembunuhan, I Nyoman Susrama, adik kandung bupati Bangli saat itu.

Semuanya mengakui Prabangsa dibunuh di rumah Susrama di Banjar Petak, Bebalang, Bangli, pada 11 Februari 2009, antara pukul 16.30–22.30 waktu setempat. Di rumah tersebut Prabangsa dipukul balok kayu. Dalam kondisi sekarat, dia dibuang ke laut.

15 Desember 2010

Vonis kasus pembunuhan Prabangsa diketok Ketua Majelis Hakim Djumain di Pengadilan Negeri Denpasar. Susrama yang dituntut jaksa hukuman mati dijatuhi hukuman penjara sumur hidup. Sedangkan enam terdakwa lainnya dijatuhi vonis beragam. Mulai 8 bulan penjara sampai 20 tahun. ”Saya sangat berterima kasih banyak terhadap aparat penegak hukum yang sudah menangani kasus suami saya dengan profesional,” jelas Prihantini saat mengenang proses hukum suaminya di kantor Radar Bali kemarin.

Pengorbananmu adalah bukti
Bahwa idealisme belum mati
Dan tidak akan pernah mati

Petikan puisi karya jurnalis Jawa Pos Arif Santosa itu tergurat di samping foto besar Prabangsa yang berpigura. Tersimpan di markas besar Jawa Pos di Graha Pena Surabaya. Sebagai bentuk penghormatan kepada wartawan yang dibunuh secara sadis karena karya jurnalistiknya itu. Hari ini sejumlah elemen juga akan menghelat aksi di berbagai kota untuk menuntut Presiden Joko Widodo mencabut remisi kepada Susrama. Sebab, remisi tersebut dianggap menodai kebebasan pers.

Pencederaan terhadap rasa keadilan itu pula yang dirasakan benar oleh Prihantini. Karena itu, dia sangat berharap pemberian remisi tersebut dikaji ulang. ”Saya tidak mengerti pertimbangan pemerintah memberikan grasi dan saya juga merasa kecewa terhadap keputusan ini,” katanya.

 

(*/c10/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *