Jurnalis di Pusaran Pandemi Covid-19 (Antara Realita dan Idealita)

Sri Sumarni M.Si, Redaktur Radar Sukabumi, Praktisi Pendidikan Kota Sukabumi & Dosen IMWI
Sri Sumarni M.Si, Redaktur Radar Sukabumi, Praktisi Pendidikan Kota Sukabumi & Dosen IMWI.

Oleh : Sri Sumarni M.Si

(Jurnalis Radar Sukabumi/ Ketua Bidang Distribusi Bantuan / Penerimaan / Pengadaan Barang PWI Peduli Provinsi Jabar)

Bacaan Lainnya

 

Memperbincangkan dunia jurnalis tidak akan ada habisnya, apalagi di era teknologi seperti sekarang ini. Kekuatan kuli tinta ini justru menjadi kekuatan utama dalam era perang urat syaraf. Jurnalis dengan kekuatan tulisan, mampu membuat opini yang dapat mempengaruhi pola pikir dan pandangan semua kalangan.

Untuk itu, tidak jarang jurnalis menjadi kekuatan yang maha dahsyat sebagai penentu hitam putihnya suatu problematika dalam kehidupan. Jurnalis dipandang sebagai jendela dunia yang tanpa sekat di era informasi dan digitalisasi. Bukti nyata dari keberadaan jurnalis dibuktikan dengan kondisi dunia yang sedang dilanda pandemi Covid-19.

Di saat sendi-sendi kehidupan hampir lumpuh lantaran diharuskan pembatasan sosial (sosial distancing), justru para jurnalis harus mendekat demi informasi yang akurat untuk disampaikan kepada masyarakat luas. Di saat manusia harus menjauh, justru disitulah jurnalis mendekat meskipun taruhannya nyawa mereka sendiri.

Tugas berat tersebut tidak hanya sampai disitu saja, mereka juga banyak dituntut oleh perusahaan pers yang menaunginya ikut mempertahankan untuk menjaga eksistensi perusahaan tersebut.

Covid-19 yang melanda seluruh penjuru dunia telah melumpuhkan tatanan kehidupan ini ternyata juga berimbas pada keberadaan perusahaan pers atau dengan kata lain eksistensi media massa yang juga mengalami ekses yang berujung pada pemberhentian perusahaan tersebut.

Meskipun jika dirunut dalam sejarah perkembangan manusia, dunia ini tidak hanya sekali dilanda pandemi, seperti wabah PES, flu Spanyol, cacar, flu burung, Ebola dan sebagainya. Namun jika dilihat dari data sebaran, Covid-19 adalah yang paling besar dalam waktu yang relatif singkat. Tapi eksesnya sungguh luar biasa, sungguh memukul keberlangsungan perusahaan pers. Tidak sedikit perusahaan pers yang memotong gaji para jurnalisnya, merumahkan sebagian karyawannya, keterlambatan dalam penggajian para jurnalis,  bahkan yang lebih tragis adalah berhentinya perusahaan pers tersebut alias gulung tikar karena tidak lagi mempunyai pemasukan yang sehat untuk melanjutkan eksistensinya.

Namun demikian yang harus diacungi jempol adalah bagaimana eksistensi para jurnalis dengan tidak menyerah dengan keadaan tersebut. Mereka dengan semangat untuk terus memberi informasi yang akurat kepada para pembaca situasi dan kondisi ditengah pandemi Covid-19 ini.  Mereka seakan melupakan risiko besar yang bisa saja menimpa dirinya maupun keluarga.

Tuntutan akan hadirnya informasi di tengah masyarakat, terutama tentang perkembangan pandemi Covid-19 seakan melupakan semua itu, dan yang dilakukan adalah bagaimana masyarakat bisa mengikuti perkembangan informasi yang berkaitan dengan hak tersebut.

Di saat orang menjauh dan tidak keluar rumah, justru para jurnalis datang mendekati bahaya. Pada saat masyarakat diharapkan tetap di rumah, para jurnalis sebaliknya mereka keluar rumah.

Para jurnalis berani menantang maut demi mendapatkan informasi yang valid dan akurat. Meskipun bahaya maut mengintainya, sebagaimana dikemukakan oleh organisasi nirlaba di bidang kebebasan pers yang bermarkas di Jenewa, The Press Emblem Campaign (PEC), mengungkapkan lebih dari 1.400 jurnalis di seluruh dunia meninggal akibat Covid-19 sepanjang tahun lalu.

Betul memang, jurnalis adalah salah satu garda terdepan dalam hal penanganan penyebaran Covid-19, terutama dari sisi edukasinya. Mereka terus memberikan informasi tentang pentingnya mematuhi protokol kesehatan (Prokes) juga tidak lupa sejauh ini pers telah ikut berperan mengawasi berbagai penyelewengan terkait dengan penanganan wabah, seperti penggelembungan harga obat, permainan vaksin dan masker palsu, maupun pelanggaran proses karantina. Semua itu dikerjakan dengan pertaruhan nyawa mereka.

Semua apa yang diungkapkan diatas merupakan kondisi yang sesuai dengan realita dari para jurnalis yang berjibaku untuk menyajikan informasi yang akurat demi berakhirnya wabah ini.

Beberapa hal yang pantas untuk direnungkan oleh semua, terutama dari kalangan jurnalis terkait dengan peran jurnalis di pusaran pandemi Covid-19 ini adalah pertama, jurnalis bersama tenaga kesehatan (nakes) adalah garda terdepan dalam upaya pencegahan Covid-19. Semua paham bahwa jurnalis mempunyai andil yang besar dalam menyingkap misteri yang menyangkut wabah ini.

Jurnalis dituntut untuk menenangkan secara gamblang kepada masyarakat agar mengetahui dan memahami fenomena penyakit tersebut. Disamping tentunya nakes yang langsung bersentuhan dengan para penderita Covid-19.

Kedua, selama pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun berdampak langsung maupun tak langsung akan eksistensi perusahaan pers akibat dari pemasukan yang kecil, sedangkan biaya operasional tidak berkurang bahkan cenderung meningkat, karena harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan. Ekses yang paling besar dari pandemi Covid-19 bagi perusahaan pers adalah pendapatan yang  jauh menurun, sehingga berimbas pada Kinerja dari roda organisasi atau manajemen perusahaan. Yang paling fatal adalah tutupnya perusahaan pers.

Supaya perusahaan pers tetap eksis, tidak sedikit yang membebankan pada jurnalisnya andil dalam pencarian pundi-pundi permodalan. Sehingga yang nampak adalah jurnalis tidak lagi berkonsentrasi pada proses pencarian dan mengolah informasi sehingga menjadi berita yang menarik bagi pembaca, namun juga menjadi tulang punggung perusahaan pers. Beban ganda ini suka atau tidak suka harus dilakukan jika tidak mau tempat berekspresinya berhenti berkarya.

Ketiga, masih adanya nada minor para jurnalis dari masyarakat sebagai akibat dari banyaknya awak media abal-abal yang merusak citra para kuli tinta ini.

Pekerjaan jurnalis banyak yang di pandang sebelah mata, dan kurang dihargai. Tidak sedikit yang menyudutkan para pekerja media, dengan melabeli wartawan adalah pekerjaan mulia, yang tentu saja sudah di gaji oleh perusahaannya, sehingga tidak pantas untuk masih menerima bantuan dari pihak lain.

Memang betul bahwa jurnalis adalah suatu profesi sebagai tempat untuk menggantungkan hidup bagi diri dan keluarganya. Dikarenakan jurnalis itu profesi, maka seseorang yang berkecimpung didalamnya harus dengan sungguh-sungguh menetapkan kode etiknya. Kode etik yang menuntut jurnalis itu menjadi seorang profesional yang harus mampu menahan godaan dan mampu memikul tanggung jawab berat, seperti tanggung jawab memberikan edukasi bagi masyarakat akan keberadaan Covid-19.

Idealisme sebagai seorang yang profesional, setiap jurnalis dituntut mampu jaga sikap dan perbuatannya, sebab kehidupan jurnalis sangat dekat dengan kepentingan sesaat.

Dalam kode etik, setiap jurnalis harus menyajikan suatu informasi sesuai dengan fakta lapangan, tidak menambahi atau mengurangi. Godaan yang terpampang nyata dihadapan jurnalis adalah adanya upaya penyuapan yang dilakukan oleh oknum yang merasa kepentingannya terusik atau terancam.

Disitulah seorang jurnalis diuji keimanannya, antara berkomitmen pada kode etik atau komitmen pada sesuatu yang “menarik hati”. Artinya antara mempertahankan idealisme atau justru kalah dan pada akhirnya menjadi pecundang.

Godaan ini sangat terpampang jelas dan menjadi berat, karena faktor pandemi Covid-19. Apalagi jika jurnalis tersebut kena ekses pandemi yaitu pengurangan atau pemotongan gaji sebagai akibat kondisi perusahaan abnormal. Justru disisi lain atau dampak yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19 ini adalah ujian kematangan bagi seorang jurnalis dalam mengemban tugasnya. Sejauh mana jurnalis tersebut mampu menjaga kode etik yang melekat dalam dirinya. Seberapa kuat mental yang ada dalam dirinya untuk tidak bermain dan justru sebaliknya menjadi seorang yang tangguh.

Nah, disinilah para jurnalis harus kreatif dan mampu menempatkan kapan sebagai seorang jurnalis dan kapan sebagai manusia biasa yang bisa mengembangkan kreativitasnya dalam memenuhi tuntutan menjaga eksistensi kehidupan diluar sebagai seorang jurnalis.

Banyak jalan yang bisa dilakukan untuk mengurangi resiko akan godaan profesi tersebut. Jika kita mempunyai keyakinan dan apa yang dilakukan dilandasi untuk beribadah, niscaya apa yang diinginkan insyaallah terkabulkan. Hanya saja semua akan kembali kepada diri sendiri sejauh mana mampu mengelola manajemen diri. (*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *