Beras Kena Pajak, Harga Dipastikan Melonjak, Sri Mulyani Malah Bilang Begini

BAKAL TERIMBAS: Pedagang dan pembeli melakukan transaksi di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta kemarin (10/6). Rencana pemerintah mengenakan PPN untuk sembako diprediksi memicu kenaikan harga. (SALMAN TOYIBI/JAWA POS)

JAKARTA — Kontroversi mengiringi wacana pemerintah yang akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap produk sembako. Wacana itu tertuang dalam draf RUU Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Pada pasal 4A, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat dihapus dari barang yang tidak dikenai PPN. Artinya, sembako akan dikenai PPN. Sembako yang dimaksud itu adalah beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam dapur, daging, susu, buah-buahan, sayuran, umbi-umbian, bumbu dapur, dan gula pasir. Besaran pajak yang akan dikenakan disebut-sebut mencapai 12 persen.

Bacaan Lainnya

Menanggapi wacana itu, Menkeu Sri Mulyani Indrawati pun angkat bicara. Ani –sapaannya– menyayangkan beredar luasnya draf RUU KUP sebelum dibahas di DPR. Dia memastikan, pemerintah masih berfokus untuk pemulihan ekonomi.

”Ini memang situasinya menjadi agak kikuk karena ternyata dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga. Sehingga kami tidak dalam posisi bisa menjelaskan keseluruhan arsitektur dari perpajakan kita, yang keluar sepotong-sepotong yang kemudian di-blow up dan seolah-olah menjadi sesuatu yang tidak mempertimbangkan situasi hari ini,” ujarnya saat raker bersama Komisi XI DPR kemarin (10/6).

Justru, Ani menyebut pemerintah akan tetap memberikan bansos kepada masyarakat. Insentif kepada pelaku UMKM juga tetap berjalan. ”Yang terjadi sekarang, rakyat menikmati seluruh apa yang dinamakan belanja, bantuan pemerintah, dan insentif perpajakan. Mereka tidak bayar PPh 21, PPN ditunda atau direstitusi, PPh 25 dikurangi. Jadi, semua pengusaha bisa tumbuh lagi. PPh 21, PPh perusahaan, PPh 22 impor, PPh 26 final, pajak UMKM diberikan final, tapi kok malah yang keluar seperti ini? Kami sayangkan itu,” tutur dia.

Mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menegaskan, APBN perlu disehatkan kembali dengan cara yang prudensial. Dia memastikan, setiap kebijakan yang ditempuh tentu memperhatikan seluruh lapisan masyarakat. Kabar yang kadung berkembang liar disebut sebagai bagian dari hoaks.

”APBN kita berikan untuk membantu masyarakat survive. Seolah-olah PPnBM untuk mobil diberikan, sembako dipajaki, itu kan teknik hoaks yang bagus banget memang,” tegas dia.

Staf Khusus Menkeu Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menjelaskan, pemerintah tak akan berbuat konyol dalam menetapkan kebijakan. Sebab, pemerintah saat ini mati-matian memperjuangkan pemulihan ekonomi pasca dihantam pandemi Covid-19.

Yustinus menyebutkan, semestinya justru PPN yang dibayarkan mengacu pada penghasilan dan pola konsumsi masyarakat. Sebagai catatan, Indonesia saat ini masih menganut sistem PPN single tarif 10 persen.

”Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mestinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10 persen. Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil, bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong,” ujarnya melalui akun Twitter-nya baru-baru ini.

Sementara itu, dosen Agrobisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (IPB) Feryanto meminta pemerintah meninjau kembali rencana memungut PPN dari produk-produk sembako.

“Setelah saya baca-baca literatur penelitian terdahulu, PPN untuk sembako pada saat sekarang belum urgen,” katanya kemarin. (jpg)

Pos terkait