SUKABUMI 2020

Oleh: Kang Warsa

Politik

Bacaan Lainnya

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2020 –meskipun telah mulai ramai dibahas melalui media sosial, dan itu pun diramaikan oleh orang-orang tertentu yang memiliki ikatan emosional baik secara politis atau personal dengan para bakal calon– namun belum terlihat secara massiv di kelompok akar rumput.

Tahapan Pilkada serentak tahun 2020 sampai awal tahun ini baru memasuki tahapan sosialiasi KPU kepada KPU di daerah. Secara praktis, partai-partai politik di Kabupaten Sukabumi juga baru memasuki tahap penjajakan, meskipun dapat saja beberapa partai telah melakukan survey popularitas dan elektabilitas bakal calon. Tetapi tetap saja, terlalu dini bagi partai politik untuk mempublikasikan hasil survey internal di fase pertama tahapan Pilkada 2020.

Selama tiga bulan ke depan, partai-partai politik dan kelompok yang memiliki kepentingan terhadap pencalonan paslon kepala daerah harus benar-benar melakukan kalkulasi, akurasi, dan pertimbangan secara utuh terhadap beberapa hal.

Koalisi Partai Pengusung

Koalisi partai politik dalam penyelenggaraan Pilkada merupakan hal mutlak, tanpa keterlibatan partai politik pasangan calon hanya dapat mencalonkan sebagai paslon perseorangan. Indikator keberhasilan koalisi partai pengusung tidak hanya ditentukan oleh jumlah partai politiknya. Lebih dari itu ditentukan oleh gerak mesin partai politik yang berkoalisi.

Penentuan Pasangan Calon

Keberhasilan atau kemenangan Pilkada dalam konteks Pilkada langsung terlalu gegabah jika kita memiliki pikiran hanya ditentukan oleh salah seorang dari paslon. Ungkapan klise dalam penyelenggaraan Pilkada Langsung yang sering dihembuskan untuk mengelabui lawan politik yaitu: dipasangkan dengan sandal jepit pun, calon tertentu sudah dipastikan akan meraih suara terbanyak. Dalam praktiknya, siapa saja tidak akan diperkenankan berpasangan jika tidak dengan orang lagi. Dalam politik praktis, sikap over-confidence seperti ini justru akan berbalik menjadi bulan-bulanan opini warga.

Strategi Politik Statis dan Dinamis

Dalam penyelenggaraan Pilkada 2018 di Kota Sukabumi, saya menulis opini dengan judul “Peta Politik Statis dan Dinamis di Kota Sukabumi”. Opini tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum apa dan bagaimana jika partai A berkoalisi dengan Partai B, seberapa besar kemungkinan raihan suara yang dapat dihasilkan jika diukur dengan perolehan suara dan kursi di DPRD. Dengan melihat peta politik statis pun, kita sudah dapat mengestimasi peluang partai politik berkolasi dan estimasi suara yang akan dihasilkan dalam Pilkada Langsung.

Peta politik statis memang tidak dapat dijadikan ukuran kemenangan pasangan calon, sebab kondisi politik di jaman sekarang telah bersifat cair. Seorang pemilih dapat saja menjadi simpatisan atau kader salah satu partai politik tetapi masih besar kemungkinan dia akan memberikan suara kepada pasangan calon kepala daerah yang tidak diusung oleh partainya. Banyak alasan, salah satunya ditentukan oleh dinamika politik yang berkembang di masyarakat.

Peta politik dinamis akan memberikan gambaran perubahan sikap, kecenderungan, dan kondisi politik pemilih tidak hanya dalam hitungan hari, bisa saja dalam hitungan jam. Dan partai politik melalui lembaga atau badan pemenangan Pilkada di daerah perlu mengantisipasi dinamika politik yang berkembang. Rangkaian survey dan pemetaan politik merupakan langkah awal yang sebaiknya dilakukan oleh partai politik pra pencalonan kepala daerah.

Peran Media Sosial

Media sosial memang memiliki peran penting dalam menciptakan dinamika politik selama tahapan Pilkada. Besar dan kecilnya peran media sosial ditentukan oleh isu yang diangkat oleh masyarakat, pemilih, kader, dan simpatisan. Mencermati beberapa perhetalan demokrasi langsung, isu-isu yang dapat memengaruhi dinamika politik hanya isu-isu besar, misalnya; isu agama dan skandal korupsi. Artinya tidak semua isu yang diwacanakan selama penyelenggaraan Pilkada dapat memengaruhi dinamika politik secara signifikan.

Isu-isu pinggiran yang sering diwacanakan oleh kader, simpatisan, dan tim sukses di media sosial hanya bersifat sepintas-sepintas saja dan itu pun hanya diamini dan diiyakan oleh sesamanya saja. Masyarakat luas, mayoritas pemilih sama sekali tidak akan memerdulikan isu-isu pinggiran seperti: memposting rasa sakit hati karena dikecewakan oleh calon kepala daerah, membuat pernyataan ambigu dan “sindir sampir”. Namun di era keterbukaan seperti sekarang, sia dapat menghalang-halangi para netizen untuk bercuap-cuap melalui media sosial? Ada adagium yang menyebutkan: maha benar netizen dengan segala statusnya.

Selain persoalan politik yang akan mewarnai tahun 2020 di Kabupaten Sukabumi, hal-hal yang harus diwaspadai di tahun ini baik oleh warga kota atau kabupaten antara lain;

Cuaca Ekstrim

Kontur alam Kota Sukabumi dengan kemiringannya ke arah selatan memang tidak mungkin diterjang oleh banjir dengan skala luas dan besar. Namun cuaca ekstrim bukan faktor yang dapat diprediksi secara akurat. Banjir dalam skala kecil atau besar tetap saja memiliki akibat. Di beberapa daerah Kabupaten Sukabumi hal-hal yang harus diwaspadai dalam menghadapi cuaca ekstrim dan puncak musim hujan yaitu tanah longsor.

Dari bulan Januari sampai Februari 2020, aliran udara basah dari Timur Afrika diperkirakan menuju wilayah Indonesia. Hal tersebut disebutkan oleh BMKG menjadi penyebab potensi hujan ekstrim selama dua bulan di awal tahun. Cuaca ekstrim adalah fenomena meteorologi yang ekstrim dalam sejarah (distribusi), khususnya fenomena cuaca yang mempunyai potensi menimbulkan bencana, menghancurkan tatanan kehidupan sosial, atau yang menimbulkan korban jiwa manusia.

Di akhir tahun 2019, BMKG telah memberikan peringatan, tidak hanya hujan ekstrim yang akan melanda negara ini, di bulan April 2020, kemarau panjang akan menerjang negara ini, tanpa kecuali Sukabumi. Musim kemarau tahun 2020 diperkirakan akan berlangsung dalam kurun waktu tujuh sampai sepuluh bulan.

Aspek Sosial dan Budaya

Rilis yang dilakukan oleh Setara Institute pada bulan November 2019 menyebutkan Jawa Barat (termasuk kota dan kabupaten yang ada di dalamnya) merupakan provinsi paling intoleran di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan sangat pesat konservatisme dalam keagamaan. Akan tetapi, hasil survey dengan hanya memandang satu persoalan, sikap intoleran hanya disebabkan perkembangan konservatisme dalam keagamaan tanpa diimbangi oleh data kualitatif lainnya, pengambilan kesimpulannya akan sangat rancu. Apalagi data yang dihasilkan sulit diukur secara positif.

Pada sisi lain, kita memang mengakui pertumbuhan konservatisme keagamaan di Jawa Barat ini begitu cepat tidak berbeda jauh dengan provinsi-provinsi lainnya. Saya ambil contoh, D.I Yogyakarta saja sebagai provinsi pendidikan mengalami persoalan sama dengan daerah-daerah lain. Beberapa kasus pelarangan acara kebudayaan dengan dalih agama terjadi di provinsi lain. Pertumbuhan konservatisme dalam keagamaan ini berbanding lurus dengan minimnya pendidikan politik dan kesadaran berbangsa. Jika dihadapkan pada dua pilihan, agama atau semangat kebangsaan yang akan dipilih oleh masyarakat, dalam budaya konservatif, masyarakat tentu akan memilih apa yang mereka pandang sebagai hal absolut.

Sudah tentu, hasil survey yang telah menyimpulkan Jawa Barat sebagai provinsi paling intoleran tidak akan diakui oleh mayoritas penduduk Jawa Barat yang memiliki pemahaman moderat, terbuka, dan berwawasan kebangsaan. Namun, penolakan stigma sebagai provinsi paling intoleran ini tidak akan mengentikan gerakan kaum konservatif dalam mengembangkan faham keagamaan yang mereka pandang paling absolut. Atas dasar inilah, pemerintah bersama masyarakat harus bersama-sama menemukan indikator yang tepat untuk mengidentifikasi apa saja hal-hal yang dapat menunjukkan seseorang disebut manusia intoleran?

Selama dua belas tahun, dari 2007 hingga 2019, perkembangan konservatisme keagamaan di Jawa Barat disebabkan oleh persinggungan politik aliran yang semakin jelas. Salah satu kelompok memolosnya dengan embel-embel keagamaan, setiap persoalan diseret ke ranah sakral, diabsolutkan. Maka masyarakat pun menafsirkan bahka persinggungan politik aliran yang membawa-bawa agama dengan kelompok nasionalis merupakan hal mutlak. Dari sinilah hal-hal primordial dapat dengan mudah diangkat menjadi isu politik.

Kita harus mengingat, tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik yang ada hanya kepentingan saja. Jika kita telah menyadari hal ini, maka cara kita dalam berdemokrasi pun akan tampil lebih dewasa. Saat kita masih baku hantam dan berbual-bula memperdebatkan Pilkada DKI 2017, toh apa yang kita percekcokan entah itu partai politinya, caloh kepala daerahnya, toch tidak diam dalam satu kondisi, mereka pun berubah-ubah.

Konservatisme keagamaan akan tumbuh subur jika pemerintah bersama masyarakat tidak dapat menunjukkan indikator yang tepat. Orang akan menganggap bahwa mengatakan “setiap agama selain agamaku salah, sesat, dan akan dimasukkan ke dalam neraka” merupakan hal wajar dan begitulah agama memberikan tuntutan. Padahal kalimat tersebut jelas mengindikasikan sikap sombong dan angkuh yang jauh dari akhlak dasar dalam agama apapun, apalagi dari persoalan teologis, sama sekali tidak bersangkut-paut.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *