Polemik Retribusi Pasar Citeureup, Mantan dan Kades Saling Tuding

Pasar Citeureup
Spanduk imbauan dari Pemdes Citeureup terkait retribusi pedagang di Pasar Citeureup.

CITEUREUPPersoalan karcis retribusi Pasar Citeureup masih menjadi keluhan para pedagang kios maupun pegadang kaki lima (PKL).

Pasalnya, banyak oknum yang meminta retrebusi kepada para pedagang Pasar Citeureup dengan alasan yang tidak jelas adanya.

Bacaan Lainnya

Seorang pedagang Mamad mengaku bahwa dirinya bertahun-tahun berjualan di Pasar Citeureup selalu dimintai uang retribusi. Padahal dirinya mengaku sudah menyewa lahan untuk berjualan.

“Ya saya agak keberatan kalau ada pungutan retribusi berapapun nominalnya, karena kan saya sudah bayar pertahun jualan di sini,” kata Mamad.

Kepala Desa Citeureup, Marwan Hermawan mengungkapkan bahawa retribusi karcis tersebut ada sebelum dirinya menjabat. Ia menuding persetujuan itu dikeluarkan oleh kepala desa yang lama.

“Intinya desa tidak ada pungutan apapun, mungkin pengeluaran karcis retribusi itu atas perstujuan kades lama dan camat sebelumnya, jelas disitu ada tanda tangannya, apakah itu disebut pungli,” katanya.

Karcis retrebusi yang dimintai kepada para pedagang Pasar Citeureup tersebut melalui oknum RT dan RW dengan alasan lingkungan. Namun adanya pemungutan tersebut harus jelas atas pesetujuan desa dan kecamatan.

Sanggahan dilontarkan mantan Kepala Desa Citeureup, Gugun Wiguna. Ia merasa keberatan atas pemberitaan yang menyinggung karcis retribusi Pasar Citeureup ditanda tangani kades terdahulu.

“Saya tidak menandatangani karcis retribusi itu, hanya surat pemohonan pengelolaan PKL Pasar 2 yang diajukan oleh masyarakat melalui ketua RT dan RW,” ucap Gugun.

Gugun menambahkan, saat itu RT dan RW mengajukan surat permohonan kepada dirinya untuk mengelola pedagang kaki lima, namun saya hanya menandatangi surat permohonan di RW 03.

“Kalau karcis retribusi Pasar Citeureup yang dua ribu atau seribu saya tidak tahu, saya tidak memberlakukan pungutan saat saya menjabat,” tambahnya.

Saat itu, kata Gugun masyarakat mengajukan permohonan atas dasar hanya menjadi penanonton dan yang menjadi terdampak limbah dari pasar.

“Masyarakat saat itu hanya jadi penonton tidak menikmati, ya sudah saya tanda tangani untuk kepentingan masyarakat di RW 3 dan itu hanya surat pemohonan bukan karcis retribusi Pasar Citeureup,” lanjutnya.

Gugun menduga, ada kutipan dari pemerintahan desa yang sekarang saat awal kepala desa menjabat.

“Dugaan saya, justru yang saya dengar kan pemerintahan desa yang sekarang, pas baru menjabat kades pernah mengutip. Tapi itu dia sanggah,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua RT 01 RW 04 Eman Sulaeman menjelaskan, Untuk kutipan seribu hingga saat ini masih berjalan untuk lingkungannya yang terdampak.

“Gak pakai karcis udah setahun lebih, kutipannya masih jalan. Awalnya kita minta izin ke kecamatan, kita gali potensi, karena kami kena imbas dari lingkungn pasar.” kata Eman.

Kutipan seribu yang eman keluarkan sudah berjalan tiga tahun yang lalu, untuk lingkup RT yang dekat dengan pasar sehingga sangat terdampak lingkungan Pasar Citeureup.

“Adanya PKL kita kondisikan, kita kutip buat kepentingan lingkungan. Dalam proposal untuk membantu masyarakat, saya gunakan buat warga yang meningal atau sakit,” terangnya.

Kutipan tersebut dikeluarkan dengan berkoordinasi terlebih dahulu dengan RT/ Rw desa dan kecamatan terdahulu.

“Waktu itu sebelum ngutip, minta tanda tangan ke desa. Tidak disetujui oleh desa, akhirnya lari ke kecamatan dan dipsetujui,” lanjutnya.

Eman Sulaeman menambahkan, dari awal dirinya membuat karcis retribusi yang ditunjukan untuk lingkup RT, Karena wilayahnya benar-benar terkena imbas amdal Pasar Citeureup, sehingga camat terhadulu menyetujui.

“Jadi gini, pengutip dua orang RW 04 sama RW 03, dikutip pagi hari untuk PKL. Saya dari awal buat karcis per RT buat RT 01 seribu, kalau dua ribu saya tidak bikin,” ujarnya.

Kata Eman, para pedagang tidak keberatan dengan adanya kutipan seribu, karena berjalan terus hingga saat ini dan memiliki persetujuan dari camat sebelumnya.

“Untuk kutipan seribu pedagang tidak merasa keberatan, tetapi mereka mengeluh dengan sewa lapak kios,” pungkasnya. (cr)

Editor : Yosep

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *