Cerita Di Balik Perayaan Cap Go Meh

 BOGOR – Hari ini masyarakat kembali disuguhkan parade budaya Bogor Street Festival Cap Go Meh (CGM) 2018. Helaran di Jalan Suryakencana, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor ini pun menampilkan beragam budaya. Seperti apa perayaan CGM dari masa ke masa?

Perayaan Cap Go Meh (CGM) kerap menjadi suguhan yang digandrungi warga Bogor hingga mancanegara. Bukan hanya sejak reformasi, rupanya perayaan etnis Tionghoa ini sudah dilakukan pada masa Presiden Republik Indonesia (RI) pertama menjabat. Saat itu barongsai sebagai ikon CGM bahkan sempat masuk ke Istana Presiden.

Bacaan Lainnya

Ketua Panitia Pelaksana Bogor Street Festival CGM 2018, Arifin Himawan menjelaskan perayaan CGM di Kota Bogor sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Meski perayaannya belum semeriah sekarang, tetapi dilakukan rutin hingga peralihan masa orde baru.

“Mereka masuk dalam Istana di era Soekarno. Tapi ada noni-noni yang ikut, kalau kita lihat berdasarkan dokumentasi foto,” jelas pria yang akab disapa Ahim kepada Radar Bogor (Pojoksatu.id Group).

Keputusan Presiden (Keppres) pada Tahun 1967 membuat segalanya berubah. Perayaan CGM dilarang pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Tak hanya merayakan CGM, di era peralihan kekuasaan itu juga masyarakat dilarang menggunakan bahasa Tiongkok atau Mandarin.

Menteri Perdagangan pada saat itu bahkan sempat mengintruksikan terkait larangan nama toko dengan bahasan Tiongkok dan Mandarin.

Memasuki era reformasi, secara perlahan kegiatan perayaan CGM mulai kembali digelar. Di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, masyarakat etnis Tionghoa diperbolehkan untuk merayakan tahun baru Imlek serta CGM.

“Sejak itu Gus Dur memberikan kesempatan bagi masyarakat Tionghoa untuk bisa mengekpresikan perayaan Cap Go Meh. Kemudian diadakan acara pawai, tapi waktu itu masih didominasi oleh barongsai dan tandu-tandu. Dari segi budaya belum terlalu kuat,” jelasnya.

Saat itu, kepanitian CGM belum dilaksanakan oleh orang-orang dari Yayasan Dhanagun. Setelah dua tahun berlalu, kemudian dibentuk kepanitian baru yang hingga kini bertahan dengan Ahim di dalamnya.

“Sekitar 2004, itu mulai kita masukkan beberapa sanggar budaya untuk melengkapi. Kemudian ke sini kita sepakat untuk mengubah nama menjadi Bogor Street Festival,” kata Ahim.

Seiring berubahnya nama gelaran CGM menjadi Bogor Street Festival CGM membuat beberapa kesenian khas Tionghoa justru tidak lagi mendominasi. Meski begitu, menurut Ahim hal itu bukan sesuatu hal yang buruk di mata para etnis Tionghoa. Justru, ia merasa bangga, kegiatan tersebut bisa menjadi ajang pemersatu bangsa.

Kini, gelaran Bogor Street Festival CGM yang dilakukan di sepanjang Jalan Suryakencana itu kerap menyedot perhatian masyarakat. Bukan hanya Bogor, bahkan beberapa duta besar dari negara tetangga juga turut dihadirkan.

“Dengan cara ini kita beraharap mata dunia melihat indonesia. Sehingga menjadi sesuatu yang positif dengan mendatangkan turis-turis mancanegara,” harapnya.

(RB/fik/pojokjabar)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *