Keraton Agung Sejagat “Runtuh”, Tukang Loak Batal Jadi Jenderal

Raja dan Ratu Keraton Agung Sejagat Totok Santosa - Fanny Aminadia .

RADARSUKABUMI.com – Seragam yang gagah, jabatan yang mentereng, iming-iming bayaran, dan cerita tentang Pentagon menjadi pemikat banyak orang untuk ikut Keraton Agung Sejagat. Tak peduli harus pinjam uang tetangga, menjual sapi, atau meninggalkan pekerjaan.

WAHYU ZANUAR BUSTOMI, Purworejo, Jawa Pos

BUKAN main senangnya Siti Hariati mengenakan seragam itu. Ada pangkatnya lagi: bintang satu. Alias senopati atau semacam camat.

Belum lagi gajinya. Kata Siti, puluhan sampai ratusan juta rupiah. ”Agustus nanti gaji kami berdua cair,” katanya kepada Jawa Pos yang menemuinya di kediamannya di Purworejo, Jawa Tengah.

Ya, Siti tak sendirian menjadi pejabat di Keraton Agung Sejagat (KAS).

Suaminya, Estrianto, malah punya kedudukan lebih tinggi: yuamantri atau setingkat menteri.

Tapi, Kamis siang lalu itu (16/1), hanya Siti yang berseragam. Teguh –sapaan akrab Estrianto– tidak. Malu katanya.

Siti dan Teguh adalah dua di antara ratusan penggawa KAS, kerajaan yang berpusat di Desa Pogungjurutengah, Purworejo. Tapi, tak seperti banyak kolega mereka yang baru sadar telah jadi korban penipuan, keyakinan suami istri itu tak goyah. Bahwa KAS akan membawa Jawa pada zaman kemakmuran.

”Mudah-mudahan sinuwun dan kanjeng ratu bisa segera bebas lagi agar misi Keraton Agung Sejagat bisa segera terwujud,” kata Siti yang bersama Teguh sehari-hari bekerja sebagai buruh tani.

Sinuwun yang dimaksud adalah Totok Santoso, sedangkan sang permaisuri adalah Fanny Aminadia. Keduanya kini menjadi tahanan Polda Jateng karena kasus penipuan dan penyebaran berita bohong.

Sinuhun Totok Santoso Hadiningrat dan Kanjeng Ratu Dyah Gtarja, gelar Totok dan Fanny, ”memproklamasikan” KAS pada Minggu pekan lalu (12/1). Totok mengklaim bahwa KAS hadir untuk melaksanakan perjanjian yang dilakukan oleh Dyah Ranawijaya sebagai penguasa terakhir Kerajaan Majapahit dengan Portugal sebagai wakil orang-orang Barat di Malaka 500 tahun silam.

Tapi, raja dan ratu dadakan itu kemudian diringkus polisi dua hari setelah deklarasi tersebut. Menurut Kapolda Jateng Irjen Pol Rycko Amelza Dahniel, korban penipuan mereka mencapai ratusan.

Para penggawa KAS memang disebut mencapai 450 orang. Mereka berasal dari berbagai daerah, bukan hanya Purworejo. Latar belakang mereka juga beragam.

Lalu, apa yang menyebabkan ratusan orang itu bisa demikian percaya dengan umbaran janji Totok tentang jabatan dan kemakmuran meski, menurut polisi, mereka harus rela merogoh kocek Rp 2 juta–Rp 10 juta? Dan, bagaimana nasib mereka sekarang?

”Saya tertarik ya karena iming-iming jabatan dan gaji. Juga kelihatan gagah kalau pakai seragam,” kata Eko Pratolong, salah seorang penggawa KAS.

Tak seperti Siti dan Teguh yang masih percaya penuh dengan KAS, Eko kini sadar telah ditipu. Dan dia harus menanggung tak cuma malu, tapi juga beban finansial. Bagaimana tidak, posisinya yang strategis di kerajaan itu dibelinya dengan cara meminjam uang tetangga.

Eko dilantik sebagai jenderal bintang tiga saat kirab sekaligus deklarasi KAS pekan lalu. Padahal, sang istri sedari awal sudah mengingatkannya.

Eko mengaku sudah membayar Rp 2 juta. Uang tersebut digunakan untuk membeli seragam keraton. ”Harganya beda-beda, bergantung dari pangkatnya,” ucap Eko.

Siti dan Teguh mengaku, jika ditotal, mereka sudah menghabiskan Rp 20 juta. Itu terhitung sejak kali pertama mereka bergabung di Development Economic Committee (DEC), organisasi yang lebih dulu didirikan oleh Totok, sampai ketika aktif di KAS. Pembayaran pertama sekitar Rp 7 juta pada 2016.

Pada akhir tahun kemarin, sebelum pembentukan keraton, mereka membayar masing-masing Rp 2 juta. Dengan alasan, untuk membuat seragam saat kirab dan pelantikan. ”Pembayaran sesuai kemampuan anggota. Kami jual sapi untuk semua biaya itu,” kata Siti yang tinggal di desa yang berjarak sekitar 10 kilometer dari lokasi KAS.

Eko sehari-hari adalah Kasi Pemerintahan Desa Pogungjurutengah, Kecamatan Bayan, Purworejo. Itu yang membuat beban yang dia rasakan berlipat-lipat setelah KAS ”runtuh” dan raja serta ratunya ditangkap polisi.

”Semula, saya janji ke tetangga yang minjemi duit, akan saya bayar setelah bayaran sebagai pejabat di KAS cair. Tapi, itu ya tak mungkin lagi sekarang.”

Namono juga sampai rela meninggalkan pekerjaan sebagai tukang loak demi mengabdi ke KAS. Selama mengabdi, Mono –sapaan akrabnya– tak pernah digaji. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga, istrinya yang harus berjualan sayur dan menjadi buruh pijat. Bahkan, akhir tahun kemarin dia meminta uang Rp 1 juta kepada istrinya.

Tujuannya, membayar seragam. ”Pangkatnya jenderal bintang tiga,” ucap Utami, istri Mono.

Mono, papar sang istri, adalah tenaga bangunan yang mengerjakan bangunan keraton. Tapi, dia tidak pernah dapat uang. Bayarannya, seperti dijanjikan juga kepada Siti, Teguh, Eko, dan para penggawa lain, baru akan turun tahun ini.

Semakin tinggi jabatan, gaji yang dijanjikan juga semakin tinggi. Tapi, untuk bisa naik jabatan, penggawa KAS juga harus membayar dulu.

Yang seperti Mono, yang sampai rela melepas pekerjaan, juga tak sedikit. Chikmawan, misalnya, rela keluar dari pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Pemkab Purworejo.

Chikmawan menjadi tangan kanan Totok di Purworejo. Dia bertugas mencari anggota. Baik ketika membuat DEC atau saat mendirikan kerajaan.

Chikmawan sosok yang loyal. Tanahnya seluas 1 hektare di Pogungjurutengah pun direlakan untuk dibuat keraton.

Beberapa warga sekitar juga sempat direkrut. Hanya, banyak yang keluar karena tak mampu membayar iuran keanggotaan. Karena itulah, segelintir saja warga di sekitar keraton yang ikut di KAS. Empat orang saja.

Dalam kolomnya di Jawa Pos (16/1), Adrian Perkasa menulis, revivalisme Majapahit yang dimaksud dalam kasus KAS adalah ide akan kebangkitan suatu masa keemasan yang pernah dicapai kerajaan tersebut pada masa lalu. Menurut Henley dan Davidson (2008), revivalisme semacam itu semakin menjamur di Indonesia pascareformasi karena berbagai faktor. Di antaranya, politik, ekonomi, dan sosial.

Dalam bahasa lain, kepincutnya para penggawa KAS akan iming-iming seragam, jabatan, dan bayaran itu bisa jadi karena dalam benak mereka sudah tertancap keyakinan akan zaman kemakmuran itu. Zaman ketika kekuasaan dunia dikembalikan ke Jawa dan segala kemerosotan dibenahi, seperti yang dijanjikan Totok lewat KAS.

Siti mengenang bagaimana Totok pernah bercerita bahwa dirinya pernah jadi agen CIA, lembaga intelijen Amerika Serikat (AS). Di lain waktu, Totok juga mengaku pernah menerbangkan pesawat tempur dari Pentagon alias Kementerian Pertahanan AS.

Siti dan Teguh tak tahu apa itu CIA dan Pentagon. Tapi, mereka kagum dan percaya penuh dengan cerita sang raja.

Alasan yang kurang lebih sama, mungkin, yang menyebabkan pula kemunculan sejumlah kerajaan baru. Ada Sunda Empire-Earth Empire di Bandung. Pajang di Sukoharjo dan Djipang di Cepu, Blora.

Pajang dan Djipang memang punya pijakan historis sebagai sejarah. Dan, mereka yang belakangan ”menghidupkannya” lagi beralasan sekadar uri-uri atau ekspresi kebudayaan.

Tapi, untuk Sunda Empire, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, seperti dikutip Radar Bandung, menyebut fenomena itu menunjukkan bahwa banyak yang stres di republik ini. Sayang, Emil –sapaan akrab sang gubernur– tak memerinci apa yang mengakibatkan stres itu.

Yang jelas, nun di Purworejo sana, memang banyak yang sadar telah jadi korban penipuan. Banyak pula yang malu. Tapi, ada juga yang seperti Siti dan Teguh. Ikhlas, tak merasa ditipu, serta masih sepenuhnya yakin bahwa KAS akan membawa mereka ke ”zaman yang dijanjikan” itu.

”Saya kasihan dengan raja dan permaisuri, semoga segera bebas,” kata Siti.

Editor : Ilham Safutra

Reporter : */c11/ttg

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *