Filosofi Pendidikan Karakter

Oleh: Siti Satia Rahayu
Mahasiswa S2 pendidikan Biologi
Guru Ma Yaspi

Beberapa waktu lalu dunia online dihebohkan dengan pemberitaan seorang guru dan murid saling pukul gara gara handphone. Dalam video tersebut seorang guru yang mengenakan pakaian dinas berhijab warna biru sedang berdiri di depan pintu kelas.

Saat akan keluar dari pintu kelas, guru dihadang oleh muridnya. Satu di antaranya tampak bersitegang dengan guru.

Perseteruan tersebut diduga berawal akibat handphone murid disita oleh guru. Karena tidak terima handphonenya disita, murid mencoba untuk meminta dan merebut kembali dari tangan guru dengan kata kata kurang sopan dan bernada keras.

Namun, sang guru tersebut tetap tidak mau memberikan ponsel milik murid yang disita saat di dalam kelas.

Seorang murid lain, berusaha membantu temannya mendapatkan kembali handphonenya, tapi tidak berhasil. Akhirnya guru dan murid terlibat adu mulut dan saling dorong di depan kelas.

Aksi saling pukul tersebut disaksikan banyak murid. Para murid lain yang awalnya hanya menonton, akhirnya berusaha meleraikan aksi saling pukul tersebut.

Di akhir video, murid terlihat menangis. Sementara guru menanyakan kepada para murid, siapa yang merekam video peristiwa itu. Hingga saat ini, belum diketahui pasti kapan persisnya terjadi peristiwa tersebut dan bagaimana kelanjutan kasus yang menghebohkan warga Bulukumba itu.

Kasus kasus seperti ini sebenarnya bukan kali pertama terjadi di Indonesia melainkan banyak juga kasus diluar sana yang tidak terekspos media. Hal ini merupakan tamparan keras bagi pendidikan Indonesia yang notabene saat ini sedang digembor-gemborkan pendidikan karakter yang dinaungi dengan permendikbud No. 20 tahun 2018 dimana disebutkan bahwa PPPK dilaksanakan nilai-nilai pancasila dalam pendidikan karakter.

Dengan penguatan pendidikan karakter ini diharapkan dapat menanamkan karakter mulia bagi peserta didik melalui pendidikan lingkungan sekolah mengingat saat ini semakin lunturnya nilai-nilai karakter siswa.

Pembentukan karakter tidak bisa dibangun hanya satu dua bulan atau satu dua tahun tanpa implementasi total dalam setiap lini, menjadi nafas dari seluruh lingkungan sekolah dan sarat dengan nilai-nilai luhur yang diyakini dan diterapkan secara bersama-sama oleh seluruh warga sekolah.

Nilai merupakan tema baru dalam kajian filsafat, muncul pertama kali pada abad ke-19. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada umumnya ditinjau dari sudut pandang filsafat. Di dunia ini ada banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan mempersoalan nilai yang khusus, seperti epistemologis, etika dan estetika.

Epistemologi berhubungan dengan kebenaran, etika berkaitan dengan masalah kebaikan dan estetika bersangkutan dengan masalah keindahan. (Louis O.Kattsof 1992, 327).

Nilai itu ideal dan bersifat ide. Sehingga ia bersifat abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. I.A.Richard membedakan antara makna faktual dan makna emotif. Secara historis emotivisme berasal dari logika positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan bersifat emotif, meski memiliki makna secara faktual. Nilai sama sekali tidak dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subyek, obyek, ataupun sebagai hubungan. (Uyoh Sadullah: 2007, 36)

Teori umum tentang nilai muncul dari perdebatan antara Alexius meinog dengan Christian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber nilai. Meinog memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling), atau perkiraan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu obyek.

Karakter merupakan satu bentukan perilaku yang bersifat permanen. Di mana bentukan tersebut melibatkan standar nilai-nilai yang dibangun oleh masyarakat yang bersifat relatif subyektif ataupun nilai ideal yang bersifat absolute.

Dalam pandangan filasafat nilai pendidikan karakter dipandang sebagai sebuah proses pembentukan Pendidikan karakter yang disusun sebaiknya harus didahului oleh kajian komprehensif tentang sistem nilai dan norma yang menjadi pilihan agar implementasi yang akan dilakukan akan lebih terarah dan terinternalisasi secara mendalam sehingga mewujud dalam pola kepribadian serta bangunan karakter yang kuat

Penerapan nilai nilai karakter yang ada saat ini selalu dibenturkan pada HAM, ketika seorang guru memarahi muridnya, menghukum atau sejenisnya selalu dibenturkan dengan kasus HAM. Sedangkan ketika siswa berbuat sesuka mereka selalu dimaklumi karena mereka dalam proses belajar.

Dahulu guru menampar muridnya karena memberikan hukuman biasa-biasa saja. Melainkan ketika mereka dewasa mereka bersyukur pada gurunya itu karena telah membimbingnya.

Pergeseran paradigma yang tidak diimbangi antara pendidikan dan punishment membuat pendidikan karakter menjadi pincang. Karena ketika siswa salah mereka dianggap wajar sedangkan jika guru memberi hukuman mereka dianggap melanggar HAM.

Dalam kasus ini penanan orang tua sangat penting dalam menghadapi perkembangan pembentukan karakter anak ketika anak salah maka anak harus di perbaiki, di tuntun dan diarahkan.

Terkadang sebagian orang tua karena kasih sayangnya kesalahan anak di tolerir seolah karakter buruk anak menjadi tanggung jawab pihak sekolah.

Hal ini yang menyebabkan pendidikan karakter tidak bisa berjalan sebagai harapan. diperlukan kerjasama dan kesadaran baik dari orang tua, guru, maupun pihak sekolah untuk membangun generasi muda.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *