Lingkar Selatan

Oleh Kang Warsa

SALAH seorang warga Kelurahan Sudajayahilir Kecamatan Baros yang dapat dikatakan sebagai orang beruntung di antara warga beruntung lainnya adalah Kang Isur. Tepat sebelum Terminal Lingkar Selatan diresmikan sepetak tanahnya dibeli oleh orang lain dengan harga jual lebih tinggi beberapa persen di atas harga Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP). Begitulah, rata-rata warga yang memiliki lahan di sekitar Jalan Lingkar Selatan dapat disebut jenis manusia yang tiba-tiba menjadi orang kaya mendadak.

Bacaan Lainnya

Ada lagi kisah seorang petani –sebelum tahun 1998 memiliki lahan garapan yang ditanami padi atau palawija lainnya – setelah menjual sawahnya tiba-tiba menjadi orang kaya baru, beralih profesi menjadi pemilik beberapa angkutan umum, dan merehabilitasi rumahnya dari panggung menjadi beton berbalkon.

Rencana pembuatan Jalur Lingkar Selatan di Kota Sukabumi itu, sejak perkampungan yang dilalui oleh jalur ini masih merupakan wilayah Kabupaten Sukabumi sama sekali luput dari analisa siapapun. Orang-orang dari kampung Parigi hingga ke Cibeureum, sama sekali tidak pernah mengira jika lahan-lahan yang dulu mereka miliki dan mereka olah sebagai lahan pertanian saat ini telah menjelma menjadi jalan besar dengan pernak-perniknya, pertokoan, pusat kuliner, hingga terminal baru dan megah bertype A. Dan tentu saja, sejak Jalur Lingkar Selatan dibuat oleh pemerintah, kepemilikan lahan sudah beralih tangan bukan lagi dimiliki oleh pemilik asal.

Tahun 1984, saat areal yang terletak di sebelah Barat Terminal Sukabumi (saat ini) masih merupakan lahan yang kurang terawat, ditumbuhi oleh semak perdu, ialalang, memiliki jenis tanah merah yang tidak cocok ditanami padi, pemerintah bersama pengembang merencanakan mendirikan Perumahan. Lahan di daerah itu diratakan, membentuk sebuah lapang, dan hanya lima rumah percontohan dibangun dengan sangat sederhana.

Sudah tentu, membuat perumahan di daerah tersebut sangat kurang diminati oleh siapapun, selain kurang strategis, banyak cerita tentang angkernya daerah itu. Sampai tahun 1997, lahan itu tetap dibiarkan kosong kemudian digunakan sebagai lapangan bola sepak oleh masyarakat Balandongan, Lio, Propelat, Begeg, Cebek, dan Cipanengah.

Beberapa tahun setelah cikal bakal Jalan Lingkar Selatan dibuat, sawah-sawah diurug, irigasi dibeton, sebuah jalan berupa kerikil dan bebatuan dari Jl. Pelabuan II ke Jl. Baros membentang membelah areal persawahan. Rata-rata warga di sekitar tempat itu memiliki harapan baru, nilai jual tanah akan semakin meningkat. Bukan hanya itu, di kemudian hari akan tercipta lapangan pekerjaan bagi anak-cucu mereka.

Sebuah daerah rural atau perkampungan yang berada di perbatasan kota dan kabupaten Sukabumi itu kelak akan menjelma menjadi sebuah wilayah dengan nuansa kota. Dan harapan itu terwujud tidak membutuhkan waktu lama, pada tahun 2006, sejak Jalan Lingkar Selatan diaspal, hampir setiap sore dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai perkampungan, setiap hari Minggu disesaki oleh masyarakat yang melakukan aktifitas olahraga setelah malam sebelumnya dijadikan arena balapan liar sepeda motor.

Sampai tahun 2010, sepanjang Jalur Lingkar Selatan dari Jl. Pelabuan II hingga Jl. Baros mulai dipenuhi oleh warung-warung sederhana hingga warung-warung nasi dengan berbagai menu yang ditawarkan. Rata-rata dipenuhi oleh warung nasi yang menyediakan kuliner seperti sate dan ikan bakar bagi konsumen. Pemerintah pun melengkapi jalan tersebut dengan penerangan jalan umum yang dipasang tepat di bagian tengah jalan yang memiliki dua jalur itu. Areal yang telah menjadi Terminal Sukabumi sekarang, sepuluh tahun lalu menjadi pusat berkumpulnya warga sekitar setiap bulan puasa saat mengadakan acara ngabuburit.

Tanpa memerlukan waktu seperempat abad, pada tahun 2012, saat Jalur Lingkar Selatan digarap dengan serius oleh pemerintah melalui pengembang sebagai jalur utama lintasan bis dan angkutan dari Sukabumi ke Jakarta, dampak langsung darinya antara lain; nilai jual tanah semakin mahal, areal persawahan mulai dialihfungsikan menjadi pemukiman dan pertkoan, semakin berkembangnya budaya urban dan mengikir budaya rural atau perdesaaan. Bahkan harga tanah di kampung-kampung yang berdekatan dengan jalan tersebut telah menyesuaikan diri dengan harga tanah di Jalan Lingkar Selatan.

Banyak orang yang tidak mengetahui, sebetulnya, areal di sebelah Barat Terminal Sukabumi, jauh sebelum Indonesia merdeka merupakan sebuah tempat para jawara atau jago yang memiliki kadugalan dikuburkan.
Hampir Dua Dekade

Pada tahun 2002, tulisan saya bergenre fiksi, Jalan yang Membelah, dimuat oleh salah satu media sastra. Beberapa teman memiliki dugaan tulisan tersebut hanya sebatas fiksi semata, sebuah cerpen dengan gaya romantik, mengisahkan kehidupan masyarakat yang telah kehilangan sumber potensi yang benar-benar melekat dengan diri dan kehidupannya. Saat itu mereka menduga, tidak akan pernah di perkampungan seperti Balandongan, Lio Asem, dan Sindangsari akan muncul persoalan-persoalan sosial seperti hari ini. Mereka memiliki pandangan bahwa sudut pandang masyarakat rural perdesaan tidak mudah tergerus oleh budaya urban.

Dan saya juga demikian, pada tahun 2002 hanya berpikir bahwa sebuah tulisan dengan genre sastra memiliki muatan fiktif yang menggambarkan kondisi sebuah perkampungan diserbu oleh budaya baru tersebut kemudian masyarakat kampung tersebut meninggalkan budaya lama hanyalah sebuah fantasi. Masyarakat akan tetap memegang teguh aturan, norma, kebiasaan, dan tradisinya. Lambat laun, yang saya tulis di dalam cerpen tersebut mulai bermunculan satu persatu, di awali oleh semakin riuhnya kawasan Lingkar Selatan, tidak hanya oleh aktivitas perekonomian, juga oleh munculnya kebiasaan baru kaum milenial, ngetrack atau balap sepeda motor di malam hari. Antara tahun 2005-2010, kebiasaan baru tersebut pernah menjadi trend di kalangan ABG. Sebelum para tracker (tukang ngetrakc) tersebut membangun kelompok-kelompok atau geng motor, di kemudian hari disebut sebagai berandal motor.

Pada akirnya, Jalan yang Membelah benar-benar telah memisahkan masyarakat dengan kultur yang telah melakat pada dirinya. Tanpa disadari, satu persatu tradisi kehidupan tergantikan oleh tradisi baru yang tidak memiliki persinggungan organis antara tradisi dengan masyarakatnya. Dalam term Bahasa Sunda disebut mérékpékan, kondisi semakin terkikisnya sebuah benda kokoh (tradisi lama) karena hantaman bertubi-tubi dari hal-hal yang kecil. Saya sangat yakin, siapa saja yang tinggal atau pernah tinggal di daerah Lingkar Selatan jika disuruh memejamkan mata kemudian dibisikkan satu kalimat pertanyaan: Apa yang kamu lakukan di tempat ini saat kecil? Dia akan terbawa kea lam romatntisme, sebuah masa kejayaan saat dirinya masih kecil, bebas bertelanjang dada, bahkan merdeka berlarian ke sana-sini dengan tanpa celana, dan kenangan-kenangan itu memang akan menyanyat dirinya. Oleh karena itulah, manusia lebih banyak memilih mengambil tradisi baru kekinian daripada tersakiti oleh kenangannya sendiri.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *