Kota Sukabumi Nyaman dan Sejahtera

Oleh: Kang Warsa

Terma visi pertama Kota Sukabumi; religius telah saya paparkan garis besarnya di dalam opini: Sukabumi Renyah. Terma kedua dan ketiga visi Kota Sukabumi yaitu Nyaman dan Sejahtera, dua terma ini jika dipaparkan menggunakan kalimat utuh (memiliki subyek, predikat, dan obyek) dapat ditulis sebagai berikut: Pemerintah hendak mewujudkan kondisi nyaman dan sejahtera di Kota Sukabumi.

Bacaan Lainnya

Dengan menggunakan pendekatan gramatika di atas, terlihat dengan jelas, dua terma visi Kota Sukabumi tersebut memiliki posisi sebagai obyek-penderita. Posisi sebuah visi sebagai obyek memiliki arti upaya, bahwa visi merupakan tujuan atau sasaran utama dari setiap program, kegiatan, dan gerakan hingga gebarakan pemerintah kota saat ini. Sebuah visi tidak akan mudah tercapai jika dua komponen sebelumnya, subyek dan predikat tidak memiliki hubungan keterkaitan yang jelas.

Pemerintah bersama masyarakat merupakan subyek sentral setiap program dan kegiatan. Di era Revolusi Industri 4.0, masyarakat tidak dapat diposisikan lagi sebagai obyek an sich. Dalam pembangunan partisipatoris dan ini sesuai dengan 5 (lima) fokus kerja pemerintah pusat, pembangunan sumber daya manusia (SDM) benar-benar membutuhkan keterlibatan masyarakat secara paripurna dan utuh. Jika masyarakat –melihat kepada arah dan kebijakan pembangunan Indonesia beberapa dekade lalu– selalu diposisikan sebagai obyek pembangunan sangat sulit bagi sebuah kota, provinsi, hingga negara untuk membangun sumber daya manusia sebagaimana yang diharapkan.

Arah dan kebijakan Pemerintah Kota Sukabumi yang telah dituangkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah. RPJP sebagai rujukan dua puluh lima tahun sekali bagi sebuah daerah sangat gamblang menyatakan program dan pembangunan daerah menitikberatkan pada pembangunan partisipatif. Dalam pembangunan jenis ini capaian pembangunan ditentukan oleh keterlibatan dan kesinambungan hubungan antara pemerintah-program-masyarakat. Trias pembangunan ini tidak boleh saling pamer keunggulan potensi, tetapi harus beringingan.

Sebagai bahan evaluasi, pembangunan di negara-negara ketiga seperti Indonesia, dari hulu ke hilir tampak sering mengalami beberapa hambatan. Pembangunan di era reformasi, diawali pada masa pemerintahan SBY menitikberatkan pada beberapa sektor pembangunan fisik. NUSP dan PNPM-Mandiri diluncurkan oleh pemerintah. Ada harapan baru, masyararakat agar benar-benar dilibatkan dalam pembangunan partisipatoris ini. Masyarakat diposisikan sebagai pelaku sekaligus capaian pembangunan. Sebagai pelaku atau subyek, masyarakat di daerah yang lebih mengetahui persoalan dan permasalahan yang dihadapi wilayahnya. Survey mawas diri, mengenal kondisi wilayah dan hubungannya dengan masyarakat ini dinilai dapat membantu ketepatan program yang dikeluarkan dengan kegiatan yang dilakukan di masyarakat.

Setelah hampir dua dekade diluncurkan, jenis pembangunan partisipatif masih belum dapat menjawab tantangan pembangunan di negara ini secara holistik. Beberapa hal yang muncul darinya antara lain: pertama, pembangunan partisipatif dimaksudkan agar partisipasi dan swadaya masyarakat meningkat. Kedua, pembangungan partisipatif –dalam hal ini anggaran yang dikucurkan– merupakan stimulan atau rangsangan saja bagi masyarakat agar anggota masyarakat berkecukupan (mampu) dapat urun rembuk membantu anggota yang kurang mampu dengan mengeluarkan anggaran pribadi sebagai bentuk kesalehan sosial.

Dua hal di atas sulit dicapai. Hal yang terjadi selama pembangunan partisipatif dilakukan antara lain; partisipasi dan swadaya masyarakat tidak mengalami pertumbuhan signifikan. Masyarakat yang bekerja dalam kegiatan sebuah program telah diarahkan untuk dibayar sesuai dengan upah minimum. Padahal sangat berbeda antara pembangunan jenis partisipatif dengan program padat karya di masa akhir pemerintahan Orde Baru. Program padat karya dimaksudkan untuk mengoordinir angkatan kerja yang belum dapat mendapatkan lapangan pekerjaan pada proyek-proyek pembangunan. Sementara pembangunan partisipatif tidak dimaksudkan menciptakan lapangan pekerjaan melalui proyek yang dikerjakan tetapi pada ekses dari proyek tersebut.

Masalah krusial lainnya dari beberapa program selama dua dekade ini yaitu anggaran yang dikucurkan oleh pemerintah baik dari APBN Murni atau hibah dari beberapa lembaga dunia merupakan anggaran yang sangat besar. Artinya dengan anggaran besar dan jika dibagi perwilayah, setiap kelurahan dan desa dapat menyerap anggaran hingga satu milyar rupiah. Selama dua puluh tahun terakhir ini mayoritas permasalahan infrastruktur yang dihadapi oleh masyarakat seharusnya telah selesai dengan kucuran anggaran tersebut, sehingga arah kebijakan pembangun setelah dua puluh tahun ini dapat diarahkan pada pembangunan non-fisik. Tetapi, modus pembangunan fisik sampai saat ini tetap selalu menjadi prioritas utama pembangunan wilayah. Seolah tidak ada habisnya penataan gang, jalan lingkungan, MCK, posyandu, dan hal-hal fisik lainnya.

Mewujudkan Suasana Nyaman

Saat visi Kota Sukabumi diluncurkan ada beberapa akibat darinya. Pertama, Pemerintah Kota Sukabumi dituntut menjabarkan pandangan bahwa visi yang diembah bukan sekadar janji politik saat Pilkada. Artinya, upaya mewujudkan visi harus benar-benar berkesinambungan (minimal empat tahun sejak kepala daerah dilantik). Kedua, sinergitas dan kolaborasi unsur-unsur masyarakat, pemerintah daerah , dan kebijakan pemerintah pusat sangat diperlukan agar kegiatan dari setiap program benar-benar sejalan dari hulu ke hilir.

Jika kita membandingkan tiga visi: pemerintah pusat, provinsi, dan kota, dapat dianalisa bahwa dari hulu sampai ke hilir ketiga visi tersebut merupakan antologi program yang harus saling berkesinambungan. Salah satu dari lima fokus kerja presiden dalam menciptakan sumber daya manusia dan meminimalisasi penggunaan sumber daya alam. Proses menciptakan serta melahirkan sumber daya manusia unggulan harus dipahami bukan perkara mudah. Mengingat bawah upaya menciptakan sumber daya manusia unggulan berbanding lurus dengan suasana nyaman, beberapa hal harus diperhatikan.

Pertama, pemerintah dan masyarakat harus menciptakan community minded, paling tidak ruang komunikasi antara pemerintah dan masyarakat harus benar-benar cair. Konsep pemerintah sebagai lembaga yang santun dan melayani harus diwujudkan dalam upaya melahirkan community minded.

Kedua, reformasi ditandai dengan semakin terbukanya pemerintah terhadap ide-ide cerdas masyarakat. Sejak diterbitkan Undang-Undang no. 25 tahun 2004, sudah 15 tahun kali masyarakat dilibatkan dalam menyampaikan ide-idenya di dalam penyelenggaraan Musrenbang. Karena kegiatan ini biasa dilakukan dan dihadiri oleh para pemangku kepentingan (stakeholders), di era millenial ini, pemerintah dari tingkat kelurahan hingga kota harus dapat menyerap ide-ide masyarakat dari berbagai unsur. Saluran-saluran penyampaian aspirasi memang telah diciptakan melalui aplikasi berbasis web dan android tetapi hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu. Pemerintah sebaiknya memanfaatkan saluran komunikasi lain yang dapat diakses oleh setiap kelompok masyarakat dengan latar belakang berbeda.

Sebagai contoh, smart-city telah dirancang dan harus teraplikasi di Kota Sukabumi, oleh sebab itu pemerintah harus menginisiasi lahirnya media-media warga baik cetak atau elektronik. Hanya dengan menciptakan media dan saluran komunikasi yang tepat bagi masyarakat lah, pemerintah dapat saling menyapa dengan masyarakatnya. Lebih dari itu, informasi-informasi penting pemerintah dapat dengan mudah dipahami oleh masyarakat dengan bahasa yang dapat mereka mengerti juga. Capaian dari kegiatan seperti ini antara lain melahirkan masyarakat yang senang berbagi ide dan gagasan secara terbuka.

Kesejahteraan untuk Semua

Secara lugas sejahtera memiliki arti aman, sentosa, bebas dari segala gangguan. Dalam hierarki kebutuhan Maslow kesejahteraan dan rasa aman ditempatkan pada kebutuhan tingkat kedua setelah kebutuhan paling mendasar bagi manusia telah terpenuhi. Kebutuhan paling mendasar dalam pandangan Maslow yaitu kebutuhan fisiologi merupakan kondisi saat sistem dalam kehidupan berjalan dengan sepatutnya. Kehidupan yang berjalan sepatutnya tercipta saat norma yang berlaku di masyarakat benar-benar dipatuhi oleh warga sebuah kota.

Kebutuhan fisiologi, keadaan saat sistem dalam kehidupan berjalan dengan baik masih tampak abstrak juga bagi kita. Disrupsi tidak hanya telah melumerkan ikatan sosial dalam kehidupan, juga telah membuncah pada bidang-bidang partikularisasi. Lima dekade lalu, di dalam kehidupan masyarakat kita tidak akan pernah ditemui seorang pedagang atau petani membahas hal ikhwal yang berhubungan dengan masalah keagamaan. Sistem kehidupan di masyarakat saat itu menegaskan setiap manusia telah memiliki porsi dan perannya masing-masing. Saat seorang petani membahas keagamaan hal tersebut akan disebut sikap tidak patut. Masalah keagamaan merupakan ranah bahasan para agamawan. Begitu juga sebaliknya, para agamawan tidak akan membahas persoalan-persoalan yang sama sekali tidak mereka kuasai. Masyarakat saat itu merupakan komposisi yang tepat sebagai kumpulan atom yang saling berhubungan.

Saat ini, ikatan dan kohesi atomis telah hilang di dalam kehidupan. Atom-atom itu telah membentuk partikel dan unsur sangat acak. Di warung-warung kopi kita dapat menyimak dengan jelas sekumpulan orang yang tidak memiliki kompetensi politik membahas permasalahan politik. Satu jam kemudian mereka mengubah topik pembicaraan, membahas tata kelola kota, tata pemerintahan, hingga keyakinan. Fisiologi dan sistem kehidupan seperti ini memiliki dampak kurang baik bagi perkembangan kehidupan itu sendiri. Setiap orang telah menjelma menjadi manusia yang serba tahu, sok tahu, yang dikeluarkan oleh mereka tidak lagi ide-ide jernih melainkan ambisi yang dipaksakaan oleh kondisi.

Mengembalikan kembali kebutuhan fisiologi warga, mengembalikan warga kota pada sistem kehidupan sepatutnya merupakan kajian mendasar yang harus dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan saat ini. Jika tidak demikian, maka pencapaian kesejahteraan bersama akan selalu berujung pada pandangan kesejahteraan bagi kelompok tertentu. Itulah sekelumit tugas rumah Pemerintah Kota Sukabumi selama empat tahun ke depan agar visi mewujudkan Kota Sukabumi Religius, Nyaman, dan Sejahtera dapat tercapai.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *