Sukabumi Renyah

Oleh: Kang Warsa

Satu tahun lalu, tagline Sukabumi Renyah (Religius, Nyaman, dan Sejahtera) dicetuskan oleh Pemerintah Kota Sukabumi. Pengambilan akronim Renyah sebagai tagline ini didasari oleh visi Kota Sukabumi masa kepemimpinan H. Achmad Fahmi dan H. Andri Setiawan Hamami untuk mewujudkan Kota Sukabumi Religius, Nyaman, dan Sejahtera.

Bacaan Lainnya

Beberapa teman sempat menanyakan kepada saya dengan nada kritis, bukankah kata renyah jika dimaknai secara lugas atau makna kamus berarti mudah patah, rapuh, empuk, dan rumit?

Benar jika dimaknai secara lugas dan tekstual, tetapi secara kontekstual, tagline Renyah dapat diartikan dengan konotasi positif, Sukabumi sebagai kota yang enak. Jadi, dalam konteks positif sebuah tagline, Pemerintah Kota Sukabumi sama sekali tidak memokuskan perhatian pada kata leksikal dari renyah, melainkan mencoba mengambil makna secara kontekstual, dan memiliki konotasi positif terhadap penggunaan tagline tersebut.

Tagline, jargon, dan slogan bukan cara baru pemerintah atau kelompok sosial masyarakat dalam mempromosikan ide, gagasan, keinginan, dan harapan dalam kata yang lebih padat, berisi, dan mudah dicerna oleh orang lain.

Sejak peradaban manusia lahir, kata-kata, kalimat efektif, ungkapan besar, semboyan, dan pameo telah digunakan oleh manusia. Bahkan melalui kata-kata dan semboyan jugalah, Iblis telah dapat menggoda manusia pertama agar mau memetik Buah Keabadian.

Iblis mengatakan hal ini kepada Hawa (Eve), “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat”. Dengan kalimat, kamu akan menjadi seperti Allah inilah Hawa terbujuk.

Artinya, dengan bujukan kesempurnaan dan menjadi seorang homo-deus, manusia setengah tuhan, dua anak manusia justru terjatuh kembali kedudukannya menjadi homo-sapiens.

Akar sejarah manusia dan bahasa yang digunakannya telah mengendap dalam diri manusia, tersimpan di dalam genetika yang telah terlahir sebagai mahluk individu sekaligus sosial. Manusia dapat berkata-kata, melakukan komunikasi bukan hanya dengan orang lain, dengan dirinya sendiri juga sering larut dalam monolog batin berkepanjangan.

Kemampuan mengungkapkan keinginan melalui kata-kata ini telah dipandang sebagai ciri utama dan kelebihan manusia daripada mahluk lain. Temuan paling penting lainnya selama perkembangan peradaban manusia yaitu manusia telah membuat satu cara, bagaimana mereka dapat melakukan komunikasi dengan binatang, meneliti secara serius keinginan binatang, dan dengan teknik baru tersebut bagaimana manusia dapat menjaga binatang dari kepunahan.

Itulah manusia, di dalam dirinya memang telah di-install-kan perangkat lunak sebagai kholifah atau penjaga semesta. Mau tidak mau, tanggung jawab terbesar keberadaan mahluk lain, hingga semesta ini ada di tangan manusia sendiri.

Dan tanggung jawab besar sebagai penjaga semesta ini secara telaten dibahasakan oleh manusia kepada manusia lainnya melalui seminar-seminar, forum ilmiah, hingga disematkan di dalam kitab suci. Bagaimana manusia tidak merasa bertanggung jawab saat di dalam kitab suci disebutkan, “Kerusakan di bumi dan lautan disebabkan oleh ulah manusia”.

Membahasakan Visi Kota Sukabumi

Dari beberapa hal yang saya kemukakan, demi alasan bahawa manusia –termasuk di dalamnya masyarakat Kota Sukabumi–  maka cara pandang ke depan dan tujuan-tujuan Kota Sukabumi benar-benar harus dibahasakan kepada masyarakat kota.

Proses pembahasaan Visi Kota Sukabumi: Religius, Nyaman, dan Sejahtera kepada masyarakat perlu memerhatikan beberapa aspek penting yang ada dalam diri masyarakat kota.

Pertama, karakter atau ciri khas masyarakat Kota Sukabumi di Era Revolusi Industri 4.0 dapat dikatakan telah sejajar dengan karakter masyarakat di kota-kota besar lainnya bahkan dengan kota-kota yang ada di dunia. Kita sering mrmiliki prasangka, masyarakat urban di kota-kota besar dunia memiliki karakteristik berbeda dengan masyarakat di negara berkembang.

Sebagai contoh, masyarakat Tokyo cenderung lebih memilih berjalan kali dari rumah ke kantor daripada masyarakat di Kota Sukabumi. Kesimpulan yang kita dapat dari kenyataan ini adalah masyarakat Tokyo lebih memilih hidup secara sehat daripada masyarakat Kota Sukabumi.

Betulkah demikian? Dalam hal tertentu kesimpulan di atas dapat dibenarkan. Tetapi jika kita melihat karakter dasar masyarakat Kota Sukabumi pada beberapa dekade lalu sebenarnya merupakan masyarakat yang lebih memilih berjalan kaki jika jarak tempuh hanya satu sampai dua kilometer daripada mengendarai kendaraan bermotor atau menggunakan sarana angkutan umum.

Saat duduk di SMA, saya dan beberapa teman lebih banyak berjalan kaki berangkat dan pulang sekolah. Jalan Raya juga disesaki oleh para pejalan kaki. Dari realita dan akar sejarah masyarakat Kota Sukabumi ini, maka mau tidak mau pemerintah kota harus benar-benar dapat mengembalikan kembali kebiasaan “mau berjalan kaki” ini dengan menciptakan ruang publik yang nyaman sesuai dengan salah satu visi kota.

Kedua, masyarakat Kota Sukabumi memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan masyarakat kota-kota lainnya. Masyarakat Kota Sukabumi lebih mudah membuka diri, berdiskusi, dan dapat diarahkan dengan cara-cara yang santun. Paskarevolusi tahun 1948 dan setelah peristiwa 1965, tidak pernah ada peristiwa besar yang melibatkan masyarakat Kota Sukabumi.

Demonstrasi hanya dilakukan dengan skala kecil dan dapat dikatakan lebih tertib daripada aksi-aksi massa di beberapa daerah yang sering diwarnai oleh kericuhan hingga korban nyawa.

Pemerintah Kota Sukabumi sudah tentu harus secara telaten membuka ruang diskusi dan mendengar secara saksama keinginan masyarakat kota. Membuka ruang diskusi baik dalam bentuk audiensi, pertemuan terbuka, dan saresehan tidak hanya untuk mengakomodir harapan dan keinginan warga kota melalui para stake-holders, keran diskusi ini harus sudah benar-benar dibuka secara luas.

Kepala daerah terpilih dalam penyelenggaraan Pilkada 2018 dapat meraih suara hingga 51% memiliki arti mayoritas masyarakat kota benar-benar menaruh harapan penuh kepada H. Achmad Fahmi dan H. Andri Setiawan Hamami dalam menahkodai Kota Sukabumi lima tahun ke depan. Paling tidak, dengan mencermati dua hal di atas, Visi dan Misi Kota Sukabumi dapat dibahasakan oleh pemerintah kepada masyarakat secara efektif.

Religius, Nyaman, dan Sejahtera

Satu tahun kepemimpinan H. Achmad Fahmi dan H. Andri Setiawan Hamami telah dilalui. Pemkot Sukabumi telah merilis program dan gerakan (gebrakan) untuk mewujudkan visi dan misi kota pada bulan September 2019.

Meskipun dalam ranah Undang-undang Pemerintah Daerah tidak ditegaskan secara eksplisit bahwa setiap kepala daerah terpilih diharuskan menyusun strategi seratus hari kerja dan satu tahun kerja, namun secara implisit hal tersebut memang sangat etis dilakukan oleh pemerintah untuk mengukur sudah sampai sejauh mana capaian visi dan misi direalisasikan.

Azas akuntabilitas dan profesionalitas pemerintahan menuntut agar setiap visi, misi, dan program yang dicanangkan benar-benar terukur dan dapat dihitung secara kuantitatif.

Harus diakui, visi setiap kepala daerah bahkan presiden di setiap negara lebih banyak memilih kata-kata abstrak daripada kata-kata kongkrit. Hal ini dimaksudkan agar sebuah visi tidak memiliki penafsiran tunggal dan rigid.

Religius, nyaman, dan sejahtera merupakan kata-kata abstrak sebagai   key-word   yang harus dijabarkan melalui program nyata dalam Misi Kota Sukabumi.

Kondisi keberagamaan pemerintah dan masyarakat Kota Sukabumi sulit diukur jika hanya menggunakan salah satu indikator keagamaan. Sudah satu tahun, Pemerintah Kota Sukabumi mengeluarkan kebijakan Gerakan Sholat Subuh Berjamaah di kalangan pegawai pemerintah.

Diikuti oleh gerakan lain dengan maksud meningkatkan sikap religius masyarakat yaitu Gerakan Magrib Mengaji. Dua program ini meskipun sulit dikalkulasikan ke dalam nilai kuantitas, paling tidak dari sinilah indikator Kota Sukabumi sebagai Kota Religius mulai terlihat.

Bagaimana dengan capaian visi religius pada agama-agama lain di Kota Sukabumi? Dalam beberapa kali perayaan hari besar keagamaan, Pemerintah Kota Sukabumi telah memperlihatkan sikap serius dalam memberikan pelayanan kesetaraan kepada umat beragama lainnya.

Pada Februari 2019, Muspida Kota Sukabumi menyelenggarakan konsigner Tahun Baru Imlek. Wali Kota dan Wakil Wali Kota pada saat itu mengemukakan bahwa Kota Sukabumi merupakan kota yang nyaman ditinggali oleh seluruh masyarakat dari latar belakang suku, agama, kelompok dan golongan.

Capaian visi ke-dua dan ke-tiga, Nyaman dan Sejahtera akan saya tulis pada opini terpisah mengingat ruang pembahasan pada dua hal tersebut dapat dikatakan cukup luas dan memerlukan penjabaran lebih rinci.

Jelas sekali, pekerjaan yang dihadapi oleh Kota Sukabumi tidak hanya sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah kota melainkan merupakan tugas bersama yang memerlukan keseriusan dalam mewujudkannya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *