Nadiem Adalah Jokowi

Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua Pengurus Besar PGRI)

Ada satu hal yang Saya kagumi dari Jokowi dan Nadiem. Sebuah lompatan dan anti mainstream. Ini yang menjadi hal menarik dan memesona keduanya. Apakah lompatannya berhasil atau tidak? Tidaklah menarik. Hal yang menarik adalah lentingan kebaruannya.

Bacaan Lainnya

Dahulu Jokowi menolak sistem pesanan proyek UN lulus 100 persen. Baginya kejujuran itu utama. Kelulusan dan ketidaklulusan UN adalah biasa. Namanya juga ujian. Jokowi membuat lentingan anti mainstream dengan mengusung kejujuran UN. Padahal 99 persen kepala daerah saat itu sangat menekan dan memaksa para kepala dinas dan kepala sekolah agar seluruh siswanya lulus UN 100 persen.

Kini Nadiem seirama dengan Jokowi terkait keribetan birokrasi di dunia pendidikan. Sekolahan itu harus merdeka agar insan di dalamnya merdeka. Faktanya birokrasi dan sistem di dunia pendidikan kita sangat rigid dan serba manut ke birokrasi atas. Bahkan PPDB saja sangat ditentukan oleh birokrasi disdik. Padahal sudah sangat jelas dalam PP No 17 Tahun 2010 PPDB berada dalam otoritas internal satuan pendidikian.

Nadiem adalah “makhluk” milenial yang merdeka. Bahkan Ia memerdekakan dirinya dari dunia profit Gojek. Kini Ia berkhidmat dalam dunia abdian negara yang tidak identik dengan profit. Ia menjadi Mendikbud bukan untuk mencari proyek atau uang. Ia bahkan justru ingin membenahi rigiditas dan ribetnya dunia pendidikan. Rigid dan ribetnya dunia pendidikan sangat berisiko pada sulitnya kreatifitas dan inovasi.

Kreatifitas dan inovasi hanya akan lahir dari jiwa-jiwa merdeka. Generasi kreatif dan generasi inovatif akan menjadi penguasa masa depan. Generasi pasif, statis karena rigiditasi birokrasi maka akan melahirkan generasi “paduan suara”. Generasi paduan suara adalah generasi yang akan menjadi bangsa pasar. Bangsa yang dimangsa bangsa lain dan menjadi konsumen tetap dari produk-produk perspektif, budaya dan barang hasil teknologi bangsa lain.

Nadiem mengaku sebagai ahli masa depan. Ia punya tanggung jawab untuk “membenahi” masa depan. Nadiem mengatakan, “Guru adalah penggerak Indonesia maju”. Nadiem yakin bahwa guru adalah penggerak adab dan peradaban. Ditangan para guru masa depan ini direkayasa. Melalui tangan para guru yang merdeka, berdaulat, kompeten dan melek teknologi maka masa depan akan lebih baik.

Jokowi dan Nadiem adalah pelayan. Ia adalah pemimpin yang akan merombak jumuditas kekuasaan atas nama pemimpin di birokrasi. Bahkan Jokowi memangkas eselon 3, 4 dan seterusnya. Mungkin dunia birokrasi inginya bahkan ada eselon sampai eselon 7. Jokowi mencoba lakukan lentingan memangkas eselonisasi. Efektif, efisien dan potong kompas birokrasi adalah harapan dan keinginan Jokowi.

Ribetisasi, berbelit-belitnya birokrasi selalu disindir Jokowi. Bahkan dalam pidato terbaru bulan ini Jokowi mengatakan pada birokrat penegak hukum jangan main gigit sembarangan. Atau pura-pura salah gigit. Pura-pura salah gigit adalah modus lama, lagu lama dalam kultur hisap “ATMisasi”.

Jokowi menghendaki koruspi Rp. 10 ribu saja jangan terjadi di negeri ini. “Radikalisme” Jokowi dalam membenahi sistem birokrasi di negeri inilah yang menimbulkan resistensi dan bulian pada Jokowi. Terutama “geng Orba” dan birokrat yang selama ini tidur nyenyak dalam menggembosi uang negara. Jokowi menghantam sistem lama yang mensponsori lahirnya KKN.

Pidato Jokowi yang melarang para Kapolres, Kapolda, Kajari, Kajati dan semua pejabat penegak hukum agar tidak mencari nafkah dengan jual beli hukum. Jokowi tahu persis bagaiaman permainan oknum pejabat di Polres, Polda, Kejati dan Kejari. Copot pejabat yang nakal dan pura-pura salah gigit. Salah gigit pengusaha yang berjasa dalam meningkatkan pendapatan negara.

Jokowi dan Nadiem adalah sosok yang tak butuh materi dan proyek berbau uang. Ia hanya butuh “proyek kebudayaannya” sukses dan lancar. Proyek memanusiakan manusia Indonesia. Ketika menjadi Presiden dan menjadi Mendikbd bukan sekadar gaya dan berkuasa melainkan berkhidmat pada masa depan Indonesia maka wow bagi keduanya.

Jokowi adalah Nadiem. Nadiem adalah Jokowi. Siapa saja yang tidak suka Jokowi dipastikan apatis dan pesimis pada Nadiem. Jokowi bukanlah politisi. Ia Si Tukang Mebel malah jadi Presiden. Nadiem bukanlah akademisi dan guru besar melainkan Gojeker. Malah jadi Mendikbud. Nadiem dan Jokowi sama-sama slim (kurus) anti makan banyak, banyak makan. Tarik Mang! Ayo naik Gojek peradaban lebih baik!

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *