Manusia Misantropis

Oleh: Kang Warsa

Ingar bingar  “perdebatan” Penyelenggaraan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2019 saat ini dapat dikatakan tidak seintensif daripada masa kampanye dan dua bulan setelah pencoblosan. Percekcokan masa Pilpres sudah jarang kita simak dilakukan oleh masyarakat di dalam obrolan mereka. Tetapi riuh dan gemuruhnya memang masih dapat kita baca di  media sosial.

Bacaan Lainnya

Pemberian stigma cebong-kampret masih dengan sangat apik dilakukan oleh dua kubu yang saling berseberangan. Beberapa bulan sebelum pelantikan, istilah baru dikeluarkan kembali oleh salah satu kubu, untuk menyebut kelompok yang tetap mengonsentrasikan pikiran mereka pada ingar bingar Pilpres lahirlah sebutan ‘kadrun’, kadal gurun. Satu spesies reptil agresif  yang hidup di padang pasir.

Percik percekcokan di atas tidak hanya berlangsung dalam skala nasional, grup media sosial, grup obrolan, dan belantara para netizen di Sukabumi juga masih memperlihatkan fenomena saling serang dan cemooh. Jika kita perhatikan dengan saksama, saling singgung melalui status dan komentar ini dilakukan oleh orang-orang yang sama.

Akun-akun anonim, palsu, dan buzzer ikut memeriahkan dan cenderung bertindak sebagai “goong”, dalam terma kasundaan disebut “ngagoongan” agar mendapat respon dari kedua pihak yang masih saling sindir. Harapan akan meredanya percekcokan di media sosial setelah pelantikan dan pengangkatan para menteri oleh presiden seolah tidak mengendurkan semangat juang para netizen.

Selama enam bulan sejak 17 April 2019, saya –secara intensif–  melakukan pengamatan terhadap fenomena politik di masyarakat (dunia nyata) lantas membandingkannya dengan kondisi yang dialami oleh para netizen di media sosial (dunia maya).

Ada beberapa hal yang dapat saya simpulkan, antara lain:

Pertama, ada perbedaan pandangan diametral antara mayoritas masyarakat di dunia nyata dengan minoritas netizen.

Kedua, lahirnya perbedaan tersebut disebabkan oleh kesenjangan antara dunia realitas dengan dunia maya. Masyarakat di dunia realitas lebih memilih melakukan hal-hal nyata dan logis bagi mereka, mereka tidak akan dengan mudah mengeluarkan kata-kata tidak pantas kepada sesamanya, mereka lebih mengonsentrasikan pembahasan pada hal krusial dalam kehidupan; ekonomi, pendidikan yang tepat untuk anak-anak, dan mengerjakan amaliah mereka sehari-hari sesuai dengan partikularisasinya.

Sangat berbeda dengan kehidupan di dunia maya. Kehidupan di dunia maya cenderung diisi oleh kelompok masyarakat yang mengejawantahkan ketidakselarasan antara sikap dan kalimat. Seorang guru dapat membahas setiap persoalan yang bukan bidangnya di media sosial.

Dapat kita bayangkan, bagaimana dan apa yang akan terjadi jika saya bukan sebagai seorang politisi membahas ini dan itu tentang politik?

Apa yang akan terjadi jika di salah satu grup media sosial masyarakat Sukabumi, kemudian beberapa orang entah dari kota dan daerah mana memosting tulisan atau gambar  yang cenderung memihak kelompok tertentu?

Yang paling dapat membuat keadaan semakin kisruh yaitu jika ada seorang pemuka agama membuat pernyataan gaduh di media sosial, berbau hasudan, fitnah, dan kalimat bernada sarkastik?

Itulah kenapa, watak masyarakat media sosial atau netizen sangat jauh dengan sikap di dunia nyata yang biasa mereka lakukan.

Jika saya ditanya, bagaimana kondisi masyarakat Sukabumi pascapilpres?

Saya dapat memastikan masyarakat tetap baik-baik saja. Fokus persoalan kita saat ini yaitu pada satu persoalan mendasar: apa dan kenapa terjadi dikotomi antara pandangan masyarakat di dunia realitas dengan di dunia maya?

Kenapa ketika di dunia nyata masyarakat cenderung santun dan dapat saling menghargai tetapi ketika mereka memasuki dunia maya tiba-tiba berubah menjadi sosok-sosok kasar dan garang?

Meminjam  istilah yang terus berkembang akhir-akhir ini, kenapa mereka menjadi senang menyebut diri mereka dan orang lain sebagai cebong, kampret, kadrun, bani mercon, dan sebagainya?

Kebocoran verbal sangat mudah terjadi di dunia maya hanya karena sebuah percikan kecil.

Belantara Tanpa Etika

Kita dapat memandang bahwa dunia maya merupakan satu belantara tanpa etika. Meskipun setiap pengembang media sosial memasang flatform bagaimana sebaiknya kita menggunakan media sosial, tetapi aturan main yang tidak kasat mata dan jarang dibaca tersebut tidak dimaknai sebagai pedoman beretika dalam bermedsos.

Seseorang yang baru pertama kali memasuki ruang dunia maya diilustrasikan sebagai manusia yang memasuki belantara gelap tanpa dibekali kompas dan petunjuk arah. Dalam belantara seperti ini tidak berlaku etika dan hal-hal yang semestinya harus dilakukan seperti halnya di dunia nyata yang dipenuhi oleh aturan, norma, kebiasaan, adat, dan tradisi. Sikap yang terjadi adalah sebaliknya, di dunia maya sebagai sebuah belantara gelap siapa pun –seolah–  hanya memiliki dua pilihan: memangsa atau dimangsa.

Pemerintah telah mengeluarkan  regulasi dengan menerbitkan Undang-Undang ITE, sudah puluhan pengguna media sosial dijerat oleh undang-undang ini. Penerbitan regulasi ini dapat dikatakan sebagai jawaban terhadap semakin maraknya “leviathan”, para penyebar hoaks, dan pengujar kebencian yang menjadikan media sosial dan pemberitaan palsu sebagai habitat baru mereka.

Tetapi para penyebar hoaks dan pengujar kebencian –karena mereka hidup di belantara gelap- sebagian besar tetap dapat bersembunyi dan bermain petak umpet dengan jeratan regulasi ini. Mereka dapat bersembunyi di semak belukar atau di dalam lorong gelap sambil melempar bebatuan kepada siapa pun yang mereka jadikan sasaran tembak.

Agama sebagai pedoman manusia dalam berakhlak sama sekali tidak berlaku dalam konteks peperangan di belantara kegelapan.

Hal yang paling diwaspadai oleh para orangtua, masyarakat, hingga pemerintah saat pertama kali internet digunakan oleh generasi sekarang adalah akses para netter terhadap website porno dan game online.

Pemerintah mulai membatasi akses para netter terhadap website-website ini, internet sehat disosialisasikan agar para netter terutama anak-anak terselamatkan dari serbuan industrialisasi pornografi dan game yang menampilkan kekerasan.

Hanya saja, regulasi-regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu lebih lambat beberapa langkah dari  langkah raksasa industrialisasi website porno, game online, dan produksi hoaks.

Kekhwatiran ini sekarang mulai berbalik arah, tidak lagi terhadap situs-situs porno dan game online, justru terhadap situs-situs mimikri yang memiliki konten seolah menampilkan kebaikan tetapi dipenuhi oleh virus hasudan dan kebohongan.

Siapa saja dengan sangat mudah dapat menerima tautan berita palsu, kadang bernuansa keagamaan, desain gambar, dan potongan judul berita. Tanpa literasi yang baik siapa saja dapat dengan mudah memercayai kesemuanya, lantas melemparkannya kembali dengan membagikannya melalui media sosial dan grup obrolan.

Dunia Misantropis

Para netizen telah mewujud menjadi mahluk misantropis, membenci dan mengutuk apa yang dilakukan oleh orang lain tetapi kita mereka masih terbiasa melakukannya juga. Dapat saja sikap seperti ini pernah dialami oleh siapa pun.

Kita pernah menghujat keadaan, mencibiri sikap manusia atas kesalahannya, mencemooh Jokowi dan Prabowo, menempatkan Ahok sebagai penista agama, mengolok-olok Rizieq, menempatkan semua orang itu sebagai tokoh cacat yang harus dipermak tanpa melihat bahwa diri kita pun manusia, mahluk yang akan terus-menerus dihantui oleh sikap labil dan perubahan.

Di abad ke-5 SM, Heraclitus pernah menghardik sikap masyarakat Ephesus karena telah mengusir beramai-ramai salah seorang temannya. Dengan nada tinggi dia menyebut bahwa orang-orang Ephesus merupakan sekumpulan manusia bodoh, manusia-manusia tanpa nurani dan pengetahuan.

Peristiwa ini telah menjadikan dirinya sebagai manusia penyendiri, memandang masyarakat Ephesus seperti binatang ternak yang harus selalu dicambuk agar mau masuk ke areal padang rumput.

Misantropia seorang Heraclitus baru terhenti saat menyadari segala sesuatu terus-menerus mengalami perubahan, panta rhei kai uden menei.

Kita pun demikian, dengan menyadari bahwa segala sesuatu mengalami perubahan tidak akan memiliki sikap gegeran dan menilai manusia lain secara berlebihan. Di saat kesadaran manusia telah mencapai tingkatan itu, sikap misontropia, membenci manusia dan tingkah polahnya dapat dihentikan. Hakikatnya, saat seseorang membenci manusia lain memiliki arti sedang membenci dirinya sendiri. Aneh juga, manusia membenci manusia lainnya, kan?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *