Menyambut Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Selamat Bekerja

foto resmi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024 Joko Widodo dan Maruf Amin. Foto ini diterbitkan oleh Kementerian Sekretariat Negara

Joko Widodo dan Ma’ruf Amin hari ini resmi menjabat presiden dan wakil presiden RI periode 2019–2024. Banyak pekerjaan rumah telah menunggu.

Bacaan Lainnya

PUKUL 14.30 siang ini, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin mengucap sumpah di hadapan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Bagi Jokowi, ini menjadi periode kedua setelah menjalani lima tahun pemerintahan bersama Jusuf Kalla. Kali ini tantangan pemerintah tidak kalah berat.

Isu hukum yang terus menjadi sorotan hingga perlambatan ekonomi yang harus diantisipasi.

Persoalan Hukum dan HAM

Pakar hukum pidana Suparji Ahmad menuturkan, Jokowi-Ma’ruf harus bisa memaksimalkan waktu untuk menyelesaikan setumpuk persoalan. Salah satu yang menjadi sorotan adalah kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Menuntaskan kasus Novel merupakan salah satu cara pemerintah untuk menunjukkan komitmennya dalam agenda pemberantasan korupsi.

Apalagi, belum lama ini revisi Undang-Undang (UU) KPK telah merontokkan kekuatan lembaga superbodi itu. ”Secara kelembagaan, di akhir pemerintahan ini kan KPK berada di senja kala,” ujarnya kepada Jawa Pos kemarin (19/10).

Menurut Suparji, perlu ada upaya signifikan yang bisa menunjukkan bahwa pemerintah punya komitmen menguatkan KPK. Lembaga antirasuah tersebut harus dijaga bersama-sama.

Selain itu, berbagai perbaikan untuk mendorong terciptanya peradilan yang bersih masuk dalam catatannya. Menurut Suparji, peradilan akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Juga bakal mendorong terjaminnya hak asasi manusia (HAM). ”Perbaikan kinerja lembaga penegak hukum wajib digenjot Jokowi dan Ma’ruf,” kata dia. ”Kepolisian, kejaksaan, maupun KPK harus mampu mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik,” tambahnya.

Catatan lebih khusus diberikan Imparsial. Penegakan HAM masih menjadi janji Jokowi yang belum dipenuhi pada periode pertama pemerintahannya. ”Selesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut dengan cara yang berkeadilan,” kata Direktur Imparsial Al Araf.

Penegakan HAM, lanjut Al Araf, merupakan salah satu agenda reformasi yang penting untuk terus diingat setiap pemimpin negeri ini. Menurut dia, penegakan HAM adalah bentuk tanggung jawab negara. ”Negara tidak boleh lari dan menutup mata dari persoalan kasus pelanggaran HAM yang hingga kini belum tuntas penyelesaiannya,” tegas dia.

Berdasar catatannya, kasus pelanggaran HAM yang menunggu untuk diselesaikan masih menumpuk. Mulai kasus penghilangan aktivis medio 1996 sampai 1998, tragedi Semanggi I dan II, kasus pembunuhan masal dan penghilangan orang 1965–1966, pembunuhan dan penembakan di Tanjung Priok 1984, kejahatan kemanusiaan Aceh sejak 1976 hingga 2004, serta penembakan misterius dalam rentang waktu 1982–1985.

Ada juga kasus Talangsari pada 1989, tragedi Wasior dan Wamena (2000), serta kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Dengan tegas Al Araf meminta Jokowi tidak mengulang kesalahan memilih menteri dan pembantu presiden yang diduga terlibat atau bertanggung jawab atas kasus HAM.

Imparsial juga meminta presiden dan wakil presiden baru menjadikan HAM sebagai prioritas, rujukan, serta landasan dalam proses pengambilan kebijakan pemerintah. ”Presiden Jokowi perlu mengangkat jaksa agung yang memiliki kemauan dan keberanian untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat,” tegas Al Araf.

PR Ekonomi

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah menyebutkan, salah satu keberhasilan besar era Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah pembangunan infrastruktur yang masif. Pemerataan infrastruktur di seluruh penjuru tanah air tersebut harus diapresiasi. ”Sekarang kita kan merasakan orang pulang ke Sumatera sudah bisa lewat tol. Nanti ada juga tol di Kalimantan. Ini luar biasa,” katanya.

Sayang, keberhasilan tersebut tidak diimbangi desain strategis pembangunan itu sendiri. Akibatnya, hasilnya menjadi kurang maksimal. Piter berharap ke depan pembangunan infrastruktur tidak bertumpu pada satu sektor saja. Tetapi perlu dikembangkan agar bisa lebih komprehensif. ”Tujuan kita mau ke mana. Mana saja yang mau dikembangkan,” tuturnya.

Selain infrastruktur, sektor industri layak disoroti. Menurut Piter, pertumbuhan industri hanya mampu bergerak di kisaran 5 persen. Padahal, capaian negara-negara lain sudah berada di atas 20 persen. ”Di zaman Pak Jokowi juga industri turun. Tapi tidak bisa disalahkan sepenuhnya kepada Pak Jokowi. Karena proses penurunan itu sudah berlangsung sekitar sebelas tahun lalu. Sayangnya, pada periode Jokowi tidak ada upaya menghambat laju penurunan pertumbuhan industri itu,” jelasnya.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Rachbini menyatakan hal senada. Menurut dia, pemerintahan baru ke depan perlu lebih dalam lagi mengoptimalkan pembangunan di sektor industri. ”Kami berharap Pak Presiden yang jago blusukan, kami memberi saran untuk blusukan ke sektor industri,” tuturnya.

Didik mengungkapkan, pada masa Orde Baru pertumbuhan industri dapat mencapai 9–10 persen. Sedangkan saat ini hanya tumbuh sekitar 3 persen. ”Hal krusial bagi kita adalah daya saing industri,” ucapnya.

Urusan Pendidikan

Di bidang pendidikan, guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro berharap pemerintah mampu memberdayakan lembaga pendidikan berbagai tingkat di daerah. Baik sekolah, perguruan tinggi, maupun institusi pendidikan pemerintah daerah. Beri mereka kewenangan untuk mengelola pendidikan di daerah masing-masing. Sebab, kebutuhan pendidikan di setiap daerah tidak sama.

”Posisi pemerintah sebagai fasilitator. Harus proaktif bertanya ke daerah kebutuhannya apa. Mungkin gurunya kurang, kualitas guru masih perlu ditingkatkan. Ada juga yang fasilitasnya kurang memadai. Mungkin juga yang dibutuhkan bukan dana, tapi regulasi yang harus dilonggarkan,” bebernya kepada Jawa Pos kemarin.

Pendidikan vokasi juga menjadi perhatian. Belakangan pemerintah memperbanyak sekolah, jumlah siswa/mahasiswa yang belajar vokasi, dan guru hingga memperbaiki fasilitas peralatan dan laboratorium serta bengkel workshop. Yang belum terselesaikan adalah persoalan tingkat pengangguran yang sangat tinggi dari para lulusan pendidikan vokasi tersebut.

Menurut mantan Dirjen Pendidikan Tinggi (1999–2007) itu, penyebabnya adalah pendidikan tersebut diselenggarakan tidak berdasar kebutuhan pasar kerja. ”Belum dipetakan kebutuhannya apa, sudah langsung membuat program memperbanyak siswa, guru, alat, dan sebagainya,” ujar Satryo. Akibatnya, lulusannya itu tidak dibutuhkan sektor riil.

Upaya Lanjutan

Secara terpisah, Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko mengakui, masih banyak pekerjaan rumah yang belum dituntaskan pemerintahan Jokowi. Bahkan, beberapa target yang dicanangkan dalam periode lalu belum bisa dicapai. Moeldoko beralasan, dalam mencapai target, kunci tidak sepenuhnya ada di tangan pemerintah. Ada faktor eksternal yang ikut memengaruhi.

Soal melesetnya target pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka 5 persen, misalnya, ada banyak faktor eksternal yang memengaruhi. Antara lain menurunnya nilai jual komoditas andalan, penurunan ekonomi dunia, hingga perang dagang.

Meskipun, harus diakui juga, ada faktor internal yang menghambat. Misalnya, dalam konteks ekonomi, ada aturan-aturan yang menghambat investasi dan ekspor.

Hal yang sama terjadi di sektor hukum. Misalnya soal janji penuntasan kejahatan HAM masa lalu. Hambatan teknis terjadi, misalnya sulitnya mencari saksi dan alat bukti. Di sisi lain, opsi yang coba diambil pemerintah dengan penyelesaian nonyudisial juga tidak dapat diterima semua kalangan.

Untuk itu, Moeldoko memastikan bahwa semua kekurangan atau pekerjaan rumah yang belum tuntas terus dievaluasi. Dalam periode kedua pemerintahan Jokowi akan dilakukan upaya lanjutan. ”Kalau cara lama mungkin nggak pas, cari cara baru. Kan gaya Pak Jokowi seperti itu,” kata dia.

Moeldoko menambahkan, angka kepuasan terhadap pemerintah secara umum di kisaran 50–60 persen akan coba ditingkatkan. ”Pengalaman lima tahun ini memberikan referensi. Ke depan, saya yakin cara-cara mengelola akan lebih efisien dan efektif,” tandasnya.

Postur Kabinet

Penyusunan kabinet diprediksi belum rampung dalam waktu dekat. Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari tidak yakin susunan kabinet Jokowi-Ma’ruf segera diumumkan setelah pelantikan hari ini. Meskipun Jokowi dalam akun Instagram-nya menyampaikan pesan bahwa susunan kabinet sudah rampung. ”Ada tiga pesan tersirat dalam status presiden itu, yakni sabar, sabar, dan sabar,” katanya dalam diskusi di Jakarta kemarin.

Menurut Qodari, hal tersebut dipengaruhi kemungkinan diakomodasinya partai-partai di luar koalisi pemerintah: Gerindra, Demokrat, dan PAN. Tiga partai itu, khususnya Gerindra, punya kemungkinan diberi tempat dalam susunan di kabinet periode lima tahun mendatang. ”Karena Pak Jokowi memang berkepentingan membangun koalisi besar. Negara sebesar Indonesia harus dikerjakan bersama-sama,” paparnya.

Pakar komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio menambahkan, gemuknya koalisi yang dibangun Jokowi bisa bermakna ganda. Di satu sisi bisa menguntungkan presiden dan wakil presiden dalam mengeksekusi kebijakan-kebijakan. Parlemen pun akan memberikan jalan tol bagi sejumlah kebijakan pemerintah.

Namun, di sisi lain, tantangan muncul dalam menjaga keguyuban koalisi. Menurut Hendri, koalisi akan menemui tantangan berat justru pada tahun ketiga berjalannya kabinet. Saat itu setiap parpol memiliki agenda sendiri-sendiri untuk menghadapi Pemilu 2024. ”Saya kira tantangan di situ nanti,” ulasnya.

Di sisi lain, Hendri menduga ada agenda besar di balik besarnya koalisi yang terbangun. Dugaan tersebut muncul saat pertemuan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Saat itu keduanya sepakat untuk melakukan amandemen menyeluruh atas UUD 1945.

Hal tersebut akan membawa konsekuensi besar karena terkait dengan hal krusial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk masa jabatan presiden serta tata cara pemilihan presiden.

Sementara itu, politikus PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira optimistis Presiden Jokowi segera menetapkan kabinet setelah pelantikan. Jokowi jauh lebih leluasa dalam menyusun komposisi kabinet karena telah memiliki pengalaman dari periode pertama pemerintahannya. ”Jadi sabar saja. Pak Presiden tentu punya kalkulasi sendiri. Tapi, saya optimistis kabinet segera ditetapkan,” tegasnya. (JPG)

Editor : Ilham Safutra

Reporter : syn/far/dee/han/mar/c9/fal

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *