Pasal Penghinaan Presiden, Ahli Hukum Minta Dibatalkan

UANG RAPAT PARIPURNA DPR: Anggota DPR periode 2014-2019 mengebut pembahasan RUU menjelang masa tugasnya berakhir. (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

RADARSUKABUMI.com – Ahli Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad menilai pembahasan RUU KUHP tidak perlu ditunda. Karena secara substansi sudah memenuhi syarat untuk disahkan. Tahapan revisi sebuah Undang-undang juga telah dilewati sesuai prosedur.

Meski begitu, Suparji mengatakan, ketika ada penundaan RUU KUHP seharusnya akan berimplikasi pada desakan masyarakat yang tak sepakat terhadap sejumlah pasal kontroversi. Dengan kata lain, aspirasi publik harus didengar oleh pemerintah untuk membatalkan pasal.

Bacaan Lainnya

Salah satu yang mestinya dibatalkan yakni pasal 217 sampai dengan pasal 220 tentang penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden. Sebab, pasal ini yang banyak diperdebatkan. Dengan dalih, warisan kolonial yang antidemokrasi, dan bertentangan dengan keputusan Mahakamah Konstitusi (MK).

Diketahui, MK pada 2006 silam membatalkan pasal penghinaan presiden dan wakil presiden. Hakim MK kala itu menilai pasal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum lantaran tafsirnya yang amat rentan manipulasi.

“Saya berharap pasal harkat martabat dihapus, pasal 217 sampai dengan 220 sehingga kemudian betul-betul responsif. Kalau ditunda dan itu (pasal masih) ada dan hanya mementingkan pasal unggas menurut saya itu pasal yang remeh temeh,” ujar Suparji di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9).

Suparji menuturkan, alasan penolakan terhadap persoalan itu masih sama seperti saat 2006 diajukan judicial review ke MK. Yakni karena bisa multiintepretasi. Dengan demikian dikhawatirkan banyak masyarakat yang masuk penajara akinat hal ini.

“Sebagai seorang pejabat wajar-wajar saja dikritik, kalau kemudian presiden baper itu salah satu nuansa yang membuka di diskusi-diskusi pasal itu kalau sekarang ditunda seharusnya itu di drop,” tambahnya.

Di sisi lain, Suparji tak sepakat apabila pasal penghinaan kepada Presiden dan Wakil Presiden ini mengekang kebebasan pers. Sebab di dalam pasal 218 ayat (2) disebutkan, ketentuan pidana ini tidak berlaku apabila untuk kepentingan umum dan pembelaan diri. Pidana ini juga bersifat aduan, seperti tertuang pada pasal 220 ayat (1). Kemudian di ayat (2) nya disebutkan bahwa aduan harus dilakukan langsung secara tertulis oleh Presiden maupun Wakil Presiden.

“Seandainya pers mengkritik kebijakan, pers mengkritik menjelaskan suatu persoalan, presiden tidak bisa mengkategorikan itu penghinaan atau penyerangan harkat martabat jadi tidak bisa dipidanakan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) merespons terkait polemik revisi RUU KUHP. Dia meminta agar pengesahannya tidak dilakukan dalam waktu dekat. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyarankan agar keputusan itu diketok palu oleh DPR RI periode 2019-2024.

Permintaan ini dilakukan karena Jokowi menilai masih ada pasal-pasal yang perlu didalami lagi. Serta butuh masukan-masukan dari berbagai kalangan yang menyatakan keberatan terhadap norma-norma baru dalam RUU KUHP.

“Saya perintahkan Menkum HAM untuk sampaikan sikap ini pada DPR, yaitu agar pengesahan RUU KUHP ditunda. Dan pengesahan tidak dilakukan DPR di periode ini,” ujar Jokowi di Istana Negara Jakarta, Jumat (20/9).

Dia berharap agar anggota legislatif memiliki kesamaan pemikiran dengannya terkait RUU KUHP. Sedangkan, Jokowi juga telah memerintahkan Menkum HAM Yasonna H. Laoly, Jokowi meminta agar ada diskusi bersama kalangan masyarakat yang menolak RUU KUHP ini. (JPG)

Editor : Bintang Pradewo

Reporter : Sabik Aji Taufan

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *