30 SEPTEMBER

Oleh: Kang Warsa

Hari ini telah dicatat oleh sejarah bangsa sebagai tahun duka cita. Bukan hanya karena tujuh orang pahlawan revolusi dibunuh dan jasadnya dibuang ke sebuah sumur tua. Pascakudeta oleh Partai Komunis Indonesia telah membawa bangsa ini kepada peristiwa-peristiwa susulan, baku hantam antar sesama bangsa, pembunuhan dibalas dengan pembunuhan.

Bacaan Lainnya

Dari pertarungan ideologi elit-elit saat itu, pergolakan pemikiran, berbuntut kudeta, hingga peristiwa-peristiwa yang menyertainya sama sekali tidak pernah dimengerti oleh sebagian rakyat negara ini, tiba-tiba sebagian dari mereka harus ditangkap, dibuang, saling bakar, hingga dibunuh,

Dalam pertarungan kaum elit, seperti dalam pertandingan catur, pion-pion terus saja harus saling tikam berada di barisan paling depan. Pion-pion yang dengan suka rela maju ke depan, mengorbankan dirinya, penuh keberanian, lantas saling memakan.

Para pion tidak pernah mau mengerti, mereka bergerak atas titah tangan-tangan tak terlihat. Tujuan mereka adalah ujung papan catur, jika selamat, dia akan menjadi perwira atau ksatria, jika tidak berhasil paling tidak dia telah menjadi bagian dari sebuah permainan.

Tetapi di dalam babak sejarah, para pion ini justru lebih didominasi oleh rakyat yang tidak mengerti apa pun tentang sebuah permainan.

Dalam ajaran marxisme, kondisi di atas tentu saja dipandang sebagai sebuah syarat mutlak lahirnya sejarah manusia. Karena bagi Marx, sejarah manusia merupakan panggung pertentangan kelas, pertarungan dua kelas super: kapitalis borjuis dan buruh proletar.

Dengan ungkapan sederhana dapat dikatakan –dalam ajaran marxis- pertikaian hingga saling bunuh merupakan hal wajar dalam takdir sejarah, sebab fakta sejarah menorehkan kisah-kisah demikian.

Pembunuhan Habil oleh Kabil merupakan contoh pertikaian yang dilandasi oleh kepemilikan kapital, antara feodalis tuan tanah dengan petani. Begitu pandangan ajaran marxisme terhadap sejarah kehidupan manusia. Selamanya akan diisi oleh pertentangan.

Ajaran marxisme memiliki pandangan demikian merupakan hal wajar mengingat teori ini dicetuskan oleh Karl Marx sebagai seorang pemikir yang bergumul dengan kepedihan dalam hidup.

Dia merasa diperdaya oleh kehidupan abad ke 19 yang tampak lebih memihak kepada sekelompok kecil kaum borjuis. Revolusi Industri yang terjadi di Eropa pada abad ke 18 telah melahirkan kelas baru di dalam tatanan masyarakat, Marx memandang kelas baru (kaum proletar) ini justru tampil sebagai kelas tertindas.

Meskipun demikian, pada saat itu, saya sangat yakin, para pekerja dan buruh pabrik sama sekali tidak pernah berpikir bahwa mereka merupakan kelas tertindas, mengalami anomi atau istilah-istilah lain yang digagas oleh para penganut sosialisme dan komunisme awal.

Hubungan antara para pemilik modal dan buruh pada dasarnya dibangun atas dasar kesepakatan, tidak lebih dari itu. Pabrik menyediakan lapangan pekerjaan, para buruh bekerja, dan mereka dibayar atas tenaga yang telah dikeluarkan untuk mendorong industrialisasi.

Namun, Marx memandangnya tidak demikian, bagi dirinya –sebagai seorang Yahudi- yang selalu mengalami deraan bertubi-tubi sejak era Mesir Kuno, hubungan para pemilik modal dengan kaum proletar merupakan pertentangan, perbudakan kaum kapitalis atas proletar, bukan kesepakatan.

Pada saatnya nanti, kelas buruh akan membentuk serikat, mendirikan partai, dan merebut kekuasaan yang dipegang oleh para kapitalis.

Faktanya tidak demikian, memang harus diakui, Karl Marx telah melahirkan teori dalam bidang ekonomi tetapi saat teori pertentangan kelas ini diaplikasikan ke dalam ranah sosial, politik praktis, dan kekuasaan akan digunakan oleh para petualang politik untuk merebut kekuasaan dengan dalih dan cara apa saja. Bila perlu melakukan pemberontakan, pembunuhan, dan perang saudara.

Kehidupan tidak melulu merupakan pertentangan, jika dicerna dengan jernih, apa yang selalu kita pandang sebagai pertentangan; siang dan malam, terang dan gelap, lelaki dan perempuan, baik dan buruk, benar dan salah, justru merupakan satu harmoni jika masing-masing unsur memainkan perannya dengan tepat.

Atas hal itulah setiap agama dan keyakian di dunia tidak dapat menerima marxisme dan komunisme karena tidak memiliki pertautan organik di antara keduanya. Disempurnakan lagi dengan begitu kuatnya pengaruh atheisme ke dalam marxisme komunisme.

Memang sangat kurang adil jika kita memiliki pandangan bahwa ajaran marxisme komunisme tersebut salah secara keseluruhan. Sebagai sebuah piranti, ideologi apa pun apalagi jika telah mendapat dukungan dari para petualang politik praktis dan penikmat hasrat kekuasaan akan mewujud menjadi raksasa menakutkan.

Agama sebagai basis dasar ketenteraman, ketenangan, dan kedamaian pun akan berubah menjadi mahluk serakah jika dipoles oleh embel-embel kekuasaan. Jutaan manusia telah meninggal dalam pertikaian atas nama agama.

Para penganut komunisme –terhadap sejarah kehidupan manusia yang dipenuhi oleh konflik atas nama agama ditambah oleh manutnya para penganut agama kepada kaum agamawan- semakin memandang bahwa agama merupakan candu bagi manusia.

Internationale ke Nationale

Marxisme sebagai sebuah ideologi diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Henk Sneevliet pada tahun 1914 saat mendirikan ISDV. Sneevliet seorang Belanda tetapi bertentangan dan telaten melakukan perlawanan terhadap kerajaan.

Keserakahan Belanda dijadikan alasan olehnya untuk menyerukan dan menyuarakan perlawanan rakyat kepada kapitalisme. Padahal, perlawan-perlawanan rakyat telah berlangsung sebelum ISDV berdiri.

ISDV memang tidak terlalu familiar dan sulit diungkapkan dalam bahasa rakyat Hindia Belanda, selanjutnya organisasi ini diganti oleh Partai Komunis Indonesia. Tiga faksi pergerakan (Nasionalis, Komunis, dan Agama) akhirnya memiliki musuh bersama yang harus diusir, Belanda!

Pascarevolusi, kaum Bolshevik terus-menerus mengembangkan pengaruhnya ke negara-negara Indo-China dan Asia Tenggara. Dari tahun 1918 hingga meletusnya pemberontakan PKI di Madiun, pelajar-pelajar Indonesia yang memiliki pemikiran kiri mendapatkan kesempatan belajar di Soviet.

PKI semakin mengokohkan dirinya sebagai sebuah partai dengan sokongan besar dari induk semangnya, Soviet. Mereka hendak menjadikan peristiwa revolusi Bolshevik sebagai purwarupa revolusi yang akan dilakukan di Indonesia.

Mereka telah menguasai banyak sektor kehidupan. Pemberontakan di Madiun pada tahun 1948 terjadi sebagai bentuk kecemburuan PKI terhadap penguasa yang didominasi oleh orang-orang nasionalis dan agama.

Kegagalan pemberontakan di Madiun disebabkan oleh cara pandang yang keliru orang-orang komunis. Mereka terlalu menyederhanakan bahwa revolusi Bolshevik berhasil begitu saja.

Patut dicatat, keberhasilan kaum Bolshevik tersebut disebabkan oleh dukungan penuh (terutama finansial) dari para bankir dan pemilik modal, sebab Tsar Russia merupakan hambatan bagi para bankir tersebut untuk melakukan manuver di bidang ekonomi.

Sementara di Indonesia, pemberontakan Madiun hanya mengandalkan semangat merebut kekuasaan. Sama halnya dengan muslim fundamentalis yang selalu menyederhanakan cara merebut kekuasaan, toh pada akhirnya mereka menjadi babak belur juga.

Kekurangan daya dukung finansial di Indonesia disikapi oleh PKI secara serius. Kaum komunis di Indonesia diarahkan pada cara baru dalam mempraktikkan ajaran-ajaran komunismenya. Program diperkenalkan melalui ruang-ruang kebudayaan dan propaganda di berbagai media.

Propaganda melalui berbagai media besutan PKI ini telah memikat masyarakat. Jargon kesejahteraan bersama versi PKI dijadikan mantra penyihir agar masyarakat mau menerima dan masuk menjadi bagian dalam partai. Kondisi politik dan ekonomi yang belum pulih disempurnakan oleh kerakusan kaum elit di negeri ini semakin menempatkan PKI menjadi partai besar setelah pemilu 1955. Kekuatan mereka pertontonkan kepada khalayak melalui parade-parade.

Kaderisasi dilakukan secara personal di daerah-daerah terpencil. Harapan mereka di kemudian adalah satu gerakan “desa mengepung kota”. Masyarakat “polos” inilah yang dikemudian hari menjadi korban penyiksaan dan penindasan Orde Baru pascagestapu.

Gerakan 30 September: G.30/S/PKI yang dapat diberangus oleh kekuatan rakyat semesta pada satu sisi semakin membuktikan kokohnya dasar negara Indonesia, Pancasila. Namun pada saat bersamaan menampakkan bahwa kekuasaan sangat rentan terhadap hasudan hingga pembunuhan meskipun kepada orang-orang yang sangat dekat dengan kita.

Setelah gerakan 30 September, bangsa Indonesia menjadi lebih kokoh dalam memandang Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara. Sekaligus membuka babak baru dalam kehidupan bernegara yang akan terus berimbas hingga sekarang.

Tantangan bagi Indonesia saat Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal tidak datang dari kaum komunis, bandul pertentangan itu telah mengarah kepada kelompok Islami Legalis.

Kelompok ini sampai sekarang secara telaten melakukan kaderisasi, menempati kedudukan dan tempat-tempat strategis kekuasaan, pada akhirnya, jika bandul sejarah telah menunjukkan jarum yang tepat, pemberontakan atau kudeta terhadap pemerintah yang sah akan terjadi lagi.

Kita, rakyat, para pion, kembali akan menjadi korban di dalam riuh percekcokan kaum elit yang selalu mengatasnamakan kebaikan, kesejahteraan, bahkan agama.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *