Ragam Cerita Para WNI di Tengah Demonstrasi Hongkong

Ada yang tetap buka restoran saat demo besar. Ada yang terjebak kala berusaha pulang. Ada juga yang kecele ngantor ketika mogok masal terjadi. Para buruh migran yang tak bisa libur dapat uang lembur.

AGAS PUTRA HARTANTO, Hongkong

RESTORAN yang dia kelola hanya sepelemparan batu dari Victoria Park. Tapi, sama sekali tak ada kekhawatiran yang dirasakan Sumiyati ketika sekitar 1,7 juta warga Hongkong berdemonstrasi di taman terkenal di Hongkong tersebut.

”Mereka (para demonstran, Red) itu tertib. Peduli ke sesama demonstran maupun orang asing dan lingkungan sekitar,” jelas perempuan 54 tahun yang akrab disapa Atik tersebut.

Atik justru mereguk rezeki tak sedikit dari para partisipan aksi jalanan menolak RUU Ekstradisi itu. Banyak di antara mereka yang mampir ke restorannya untuk makan malam. ”Sebagian membeli jajanan ringan. Seperti krupuk, keripik kacang, maupun keripik teri,” tambahnya.

Di restoran yang diberi nama Warung Chandra itu pula, Jawa Pos bertemu dengan Luqman Fauzi Senin malam (19/8). Seperti Atik, warga negara Indonesia (WNI) asal Semarang, Jawa Tengah, tersebut juga melihat Hongkong –yang sejak Juni lalu diguncang demonstrasi itu– tetap kondusif.

Luqman yang bekerja sebagai software engineer di Lalamove.com, sebuah perusahaan rintisan, masih bekerja, berbelanja, dan beraktivitas sehari-hari seperti biasa. ”Hanya, memang saat weekend, beberapa tempat menjadi lokasi demonstrasi. Seperti di Admiralty, Central, dan Causeway Bay,” ujarnya.

Atik dengan ramah menyambut kami. ”Mau makan dan minum apa?” tanya dia setelah kami mengambil tempat duduk.

Disodorkannya buku menu. Kami memilih mi ayam spesial, nasi goreng ikan teri, segelas es soda gembira, dan segelas jeruk hangat. Malam sudah melampaui pukul 20.00 waktu Hongkong. Restoran tak terlalu ramai. Hanya ada enam pembeli.

Luqman menceritakan, pada Senin (5/8) dua pekan lalu, pekerja Hongkong memutuskan untuk mogok kerja masal. Nah, karena tidak tahu informasi itu, dia berangkat kerja seperti biasa. Pukul 09.00 dari apartemennya di Tung Choi Street menuju Innocentre.

Sesampai di sana, pria 25 tahun tersebut kaget melihat kantornya sepi. Hanya lima orang yang masuk kerja. ”Saya tanya teman, ternyata pada bolos karena mogok kerja masal,” katanya.

Meski begitu, Luqman tetap melanjutkan pekerjaan. Namun pulang lebih cepat, pukul 15.00. Malamnya dia memutuskan untuk joging malam. Mengitari kawasan Mong Kok sambil menikmati pemandangan malam.

Setiba di depan kantor kepolisian Mong Kok, Luqman melihat jalanan diblokade barisan polisi antihuru-hara. Berpakaian lengkap: mengenakan helm, memakai pelindung lengan dan lutut, serta membawa pentungan. Kaget. Sedikit takut.

”Memang berita akhir-akhir ini kantor polisi menjadi target sasaran demonstran,” katanya.

Luqman lantas memutuskan mengubah rute untuk kembali ke apartemen. Namun, sebelum putar balik, spontan Luqman mengeluarkan ponsel miliknya. ”Momennya pas. Saya rekam sambil sedikit selfie,” ujarnya sambil menunjukkan foto dan video rekamannya.

Ada sekitar 174 ribu WNI di Hongkong. Sebagian besar bekerja; sebagian lainnya berstatus pelajar atau mahasiswa. Dan beberapa yang berhasil ditemui Jawa Pos selama hampir seminggu di Hongkong rata-rata menceritakan hal yang sama seperti Atik dan Luqman. Bahwa ada kegiatan yang terganggu, iya. Tapi tidak pernah sampai level membahayakan.

Ketua Buruh Migran Indonesia Hongkong Eni Lestari menjelaskan, Victoria Park adalah tempat rendezvouz paling terkenal bagi para WNI di Hongkong. Selain itu, ada tempat kumpul-kumpul lain seperti Jembatan Mong Kok, Taman Sha Tin, dan Taman Mei Foo. ”Ada yang melakukan kajian, arisan, nongkrong, dan jualan makanan seperti pecel atau gorengan di tempat-tempat itu,” urainya.

Nah, sejak ada aksi demonstrasi tiga bulan terakhir, kegiatan-kegiatan itu terganggu. Sebab, Hongkongers biasanya menggelar aksi setiap akhir pekan. Apalagi, mayoritas majikan mengimbau agar tidak keluar rumah demi keamanan dan keselamatan. Namun, sebagai gantinya, para TKI (tenaga kerja Indonesia) itu mendapat uang lembur dan libur pengganti.

Eni sudah mengingatkan para TKI agar tidak mendatangi tempat-tempat publik yang menjadi pusat demonstrasi. Meski begitu, masih saja ada yang nekat ke Victoria Park. Salah satunya Suci Indriani. Dia terjebak di antara 1,7 juta Hongkongers yang memadati Causeway Bay pada Minggu lalu (18/8). Dia hendak pulang ke rumah majikannya di Central.

Apes, Stasiun Causeway Bay saat itu ditutup sementara dari pukul 16.00 hingga 21.00. ”Aduh Mas, mau nunggu sampai kapan ini? Rasanya mau nangis,” keluhnya ketika bertemu Jawa Pos.

Di Stasiun Whampoa, Hum Hong, Sabtu (17/8), Jawa Pos juga bertemu Kartini. Dia tampak panik melihat ribuan orang memakai baju serbahitam. ”Saya bingung mau ke kantor polisi lewat mana. Soalnya, KTP saya hilang,” ujarnya.

Tapi, kepanikan Kartini dan keluhan Suci itu hanya sementara. Mereka cuma harus bersabar menunggu sampai arus demo mereda. Atik malah sudah menyaksikan jumlah massa lebih besar pada demonstrasi 16 Juni lalu. Saat itu Hongkongers melakukan long march dari Victoria Park menuju kompleks legislatif Admiralty. Pennington Street hingga Keswick Street dan Leighton Road menghitam oleh para Hongkongers.

”Mereka mengimbau saya untuk tutup. Saya menurut. Ternyata tidak ada aksi pendemo menjarah restoran,” terang WNI asal Jakarta itu. (*/c9/ttg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *