Kemenkeu Mulai Respons Gerakan Bebas Pajak Kertas

Connect Gujarat ILUSTRASI: Tombol starter mesin mobil yang menggunakan fitur keyless.

JAKARTA, RADARSUKABUMI.com – Serikat Perusahaan Pers (SPS) kembali mengajukan usulan no tax for knowledge atau bebas pajak bagi pengetahuan, ke pemerintah pusat. Usulan itu sejatinya sudah diajukan sejak 2002 agar beban pajak media cetak berkurang. Namun, baru Selasa (13/8) malam usulan tersebut mendapat respons serius dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

“Pihak Kemenkeu sudah menghubungi kami setelah ramai di pemberitaan tadi (kemarin). Tunggu saja. Mudah-mudahan kami bisa ketemu langsung dengan Bu Menteri,” ujar Sekjen SPS Asmono Wikan.

Bacaan Lainnya

Sebelumnya SPS menerima surat dari kementerian. Isinya mengisyaratkan bahwa Kemenkeu belum memprioritaskan pembahasan pembebasan pajak tersebut.

Karena itu, upaya bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani belum bisa dilakukan. SPS melayangkan rilis berisi sikap atas surat tersebut. Setelah melihat respons masyarakat atas pernyataan sikap itu, Kemenkeu akhirnya mengupayakan pertemuan SPS dengan menteri keuangan.

Sekjen SPS Asmono Wikan mengatakan, perjuangan no tax for knowledge tersebut berimbas pada 450 penerbit pers cetak. Selama ini mereka berharap mendapat insentif yang sama seperti penerbit buku. “Jika insentif juga diberikan ke penerbit pers cetak, kami yakin uang negara tak tergerus,” ujarnya.

Justru, melalui insentif itu, produk pers cetak bakal semakin menggeliat. Itu akan berimbas pada minat baca masyarakat. Menurut Asmono, penguatan bangsa perlu dibangun dari budaya membaca.

“Ada intangible advantage yang luput dari menteri keuangan jika menolak kampanye no tax for knowledge penerbit media cetak,” ucapnya.

Apalagi, pemerintah sebenarnya sudah mengakui bahwa media arus utama berkontribusi dalam menyajikan informasi utuh bagi masyarakat. Perang melawan hoaks pun dilakukan banyak media cetak.

Asmono mengingatkan, pemberlakuan insentif juga diterapkan di sejumlah negara dengan tingkat literasi tinggi. Misalnya Norwegia, Jerman, Denmark, Swedia, hingga India. Tak heran jika media cetak di negara-negara itu masih sangat kuat.

 

(sal/c9/ayi)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *