Bappenas: Peningkatan Pendidikan Vokasi Jangan Sekadar Tambah Gedung

ILUSTRASI: Sejumlah pelajar SMK sedang belajar di laboratorium komputer.

JAKARTA, RADARSUKABUMI.com – Pemerintah kabupaten/kota ikut bertanggung jawab atas kualitas pendidikan di daerahnya. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengingatkan pemerintah daerah (pemda), khususnya provinsi, agar cermat dalam penganggaran di sektor pendidikan vokasi. Sebab, persentase anggaran yang diwajibkan cukup besar, yakni 20 persen.

Dari kajian yang dilakukan Bappenas, pemda umumnya memiliki pekerjaan rumah yang sama. Yakni, kurang efisien dalam penggunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) bidang pendidikan.“Saya sarankan belanja untuk pendidikan vokasi ditingkatkan. Tapi peningkatannya jangan hanya sekadar menambah gedung atau peralatan,” jelas Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro.

Bacaan Lainnya

Persentase 20 persen sering kali habis untuk peningkatan atau perbaikan sarana fisik. Hal itu memang diperlukan. Tapi pemda kurang jeli untuk peningkatan kualitas non-fisik. Contoh, pembinaan untuk guru dan penataan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan industri. “Perlu menyentuh kurikulum agar benar-benar mengurangi ketidakcocokan antara dunia pendidikan dengan pasar kerja,” lanjut Bambang.

Apalagi, setelah ini pemerintah pusat akan mengupayakan bantuan untuk revitalisasi SMK. Masing-masing sekolah ditaksir membutuhkan biaya antara Rp7 miliar hingga Rp15 miliar. Jumlah yang cukup besar. Apalagi untuk sekolah yang tidak membutuhkan peralatan kasar yang mahal.

Bambang usul pemda maupun sekolah yang bersangkutan memberikan penekanan pada hal yang belum tercapai. Bila masih ada ketidakcocokan dengan industri, maka poin itu yang harus diprioritaskan.Saat ini, Bappenas tengah fokus dalam sosialisasi ke pemda soal efisiensi penggunaan anggaran ke pemda. Tujuannya agar pagu anggaran yang disediakan tepat sasaran. “Untuk pendidikan, kalau dirasa angka partisipasi kasarnya sudah cukup baik, sudah saatnya belanja diarahkan lebih kepada kualitasnya,” terang Bambang.

Sementara itu, pertumbuhan jumlah SMK belum diiringi dengan peningkatan kualitas. Direktur Pembinaan Sekolah SMK Kemendikbud M. Bakrun menyebut, saat ini ada sekitar 14 ribu SMK di Indonesia. Sebanyak 4 ribu unit di antaranya berstatus negeri, sedangkan sisanya swasta. Menurut M. Bakrun jumlah itu tidak ideal.”Izin mendirikan SMK itu wewenang pemerintah provinsi. Kami hanya bisa mengintervensi agar pemrpov mengevaluasi. Apakah sudah berjalan sesuai kaidah SMK yang mampu memberikan ketrampilan kepada lulusannya,” urai Bakrun.

Monitoring dan evaluasi, lanjut dia, sangat penting untuk mendukung program revitalisasi pendidikan vokasi. Tahun 2020, Kemendikbud memiliki target merevitalisasi 557 SMK di semua daerah. Khususnya daerah 3T (terluar, terdepan, dan tertinggal). SMK yang kurang memenuhi standar layanan pendidikan sebaiknya digabung saja.Revitalisasi meliputi perbaikan fasilitas gedung, laboratorium, bengkel workshop, hingga penyesuaian kurikulum dengan kebutuhan industri.

Bakrun mengaku sering mendapat masukan dari pelaku industri bahwa lulusan SMK kurang tangguh. Padahal SMK dituntut untuk menciptakan lulusan yang terampil dan memiliki etos kerja tinggi. Tentu, hal tersebut menjadi sebuah anomali.”Makanya kami fokus dalam pembinaan karakter kerja tahun depan. Kalau karakter kerjanya bagus, apapun jenis pekerjaannya bisa beradaptasi dengan baik,” jelasnya.

Kemendikbud juga mewacanakan pemasaran lulusan SMK untuk menjadi tenaga kerja di luar negeri. Pihaknya sudah berkoordinasi dan bekerja sama dengan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia). Mereka melakukan pilot project pada tiga daerah. Indramayu (Jabar), Cilacap (Jateng), dan Ponorogo (Jatim). ”Fokus negaranya ke Jepang, karena negara itu memang sedang membutuhkan tenaga kerja. Untuk SMK apa kami sedang kaji,” ujarnya.

 

(deb/gas)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *