“Spirit Qurban Untuk Indonesia Maju”

Boby es-Syawal el-Iskandar

Oleh: Boby es-Syawal el-Iskandar

Sekretaris Forum Pemuda Pelopor Kota  Sukabumi

Bacaan Lainnya

 

Seperti tahun yang lalu, hari raya Idul Adha yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah 1440 Hijriyah kali ini kembali bertepatan pada bulan Agustus. Bedanya, tahun yang lalu bertepatan dengan tanggal 22 Agustus atau lima hari setelah peringatan HUT RI ke-73. Sedangkan tahun ini bertepatan pada tanggal 11 Agustus 2019, atau enam hari sebelum peringatan HUT RI yang ke-74.

Lalu, apa kaitannya Idul Adha dengan peringatn HUT RI ke-74 ini? Pertanyaan ini mungkin tidak perlu dijawab bagi sebagian orang. Bisa juga dianggap terlalu mengada-ada. Tapi bagi saya, pertanyaan ini justru bisa dijadikan sarana untuk dijadikan nafak tilas bagi kita bangsa Indonesia, khususnya dalam merenungi kembali makna kemerdekaan yang hari ini telah kita rasakan bersama manfaatnya.

Ada yang perlu kita perhatikan sebagai umat Islam bahwa berkurban (udhiyah), kurban  (taqarrub), dan berkorban (tadhiyah), ketiganya memiliki titik persamaan dan perbedaan. Berkurban (udhiyah) adalah salah satu bentuk pendekatan diri kepada Allah dengan mengorbankan sebagian kecil harta untuk dibelikan hewan kurban, lalu menyembelihnya sesuai dengan syariat yang telah ditentukan.

Sedangkan kurban (taqqarub) adalah upaya seorang muslim untuk melakukan pendekatan diri kepada Allah baik dengan amalan yang bersifat wajib maupun yang sunnah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Sesungguhnya Allah berfirman (dalam hadis qudsi): “Siapa yang memerangi kekasih-Ku, niscaya aku telah umumkan perang padanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri pada-Ku (taqarrub) dengan sesuatu yang paling Aku cintai, dengan sesuatu yang Aku wajibkan. Dan jika hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan yang sunnah, maka Aku mencintainya (HR. Bukhari).

Sedangkan berkorban (tadhiyah) adalah makna kurban yang lebih luas, tidak hanya menyangkut penyembelihan hewan kurban semata pada waktu yang telah ditentukan, yaitu pada tanggal 10 Dzulhijjah dan hari-hari yang diharamkan umat Islam berpuasa (tasyrik) yaitu pada tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Tetapi tadhiyah juga bisa berarti  berkorban dengan harta benda, jiwa, pikiran dan apa saja yang bisa bermanfaat untuk kepentingan orang banyak, terlebih untuk kepentingan meninggikan dan tegaknya kalimat tauhid laailaaha illallah.

Bila pemahaman tadhiyah (semangat berkorban) di atas disepakati, maka sesungguhnya spirit kurban sangat berkaitan erat dengan semangat HUT kemerdekaan RI ke 74 yang pada tahun ini mengambil tena Untuk Indonesia Maju.  Bukankah kemerdekaan yang hari ini telah berusia 74 tahun dan kita telah nikmati bersama adalah sebuah hasil dari perjuangan dan pengorbanan tidak hanya harta, tenaga, dan pikiran mereka. Tetapi juga pengorbanan jiwa dan raga para pahlawan kusuma bangsa.

Kini, kita tidak perlu susah payah menghadapi tentara Belanda dan Jepang dengan bamboo runcing misalnya. Kita juga tidak perlu lagi bergerilya ke hutan-hutan pedalaman untuk mengatur strategi perang bahkan mungkin bersembunyi dari kepungan musuh. Karena masa-masa itu telah kita lewati.

Tapi perang yang kini kita hadapi justru lebih terbuka. Perang dari sisi ekonomi misalnya. Serbuan produk-produk luar negeri yang sangat massif dan innovative seolah bersebrangan dengan semangat untuk menggunakan produk-produk dalam negeri yang terkesan miskin inovasi. Bahkan, untuk memperbaiki mutu pendidikan khususnya ditingkat perguruan tinggi di tanah air ini, pemerintah sampai mewacanakan untuk mengimpor ‘orang pinter’ dari luar negeri, untuk menjadi rektor di negeri yang konon kaya sumber daya alam ini. Alhasil, rencana ini pun mendapat banyak reaksi negatif dari banyak kalangan.  

Lalu apa yang salah dengan bangsa ini? Mungkinkah karena kita sebagai bangsa sudah tidak peduli dengan kondisi bangsa yang besar ini? Bisa jadi, salah satu jawabannya adalah karena sikap dan prilaku para pejabat kita yang  lebih mendahulukan kepentingan pribadi dan golongannya, ketimbang mendahulukan kepentingan masyarakat yang telah memilih dan memberikan amanah kepemimpinan kepadanya. Hal ini bisa kita lihat pada pernyataan Sandiaga Uno di acara ILC yang ditayangkan TV-One pada selasa malam beberapa waktu lalu. Kalo boleh pake bahasa saya, Sandi berujar, “hasil pemilu presiden dan wakilnya yang kemarin aja belom dilantik, sekarang para poli[tikus] sudah ngebahas 2024.” Yang udah ada aja belum dikerjain, udah ngomongin yang belom pasti.”

Andai kita mau belajar dan mengambil hikmah dari spirit kurban yang kali ini juga berdekatan dengan hajat HUT Kemerdekaan RI ke 74, maka ada banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran demi menata Untuk Indonesia Maju. Untuk Indonesia Maju, bukan hanya semata slogan tanpa makna. Yang penting maju aja dulu, urusannya ada yang ga’ beres nanti belakangan. Saya yakin tidak seperti itu kondisinya.

Indonesia Maju yang kita inginkan bersama adalah maju dalam keadilan, sehingga tidak ada satu pun keputusan hukum yang tidak berkeadilan. Maju dalam hal ekonomi, sehingga tidak ada satu pun warga masyarakat yang tidak sejahtera. Maju dalam hal pendidikan, sehingga tidak ada satu pun anak-anak Indonesia yang harus putus sekolah karena terbentur pada biaya pendidikan termasuk karena buruknya system pendidikan kita (ingat kasus zonasi pendidikan yang sempat menjadi masalah nasional). Maju dalam kesehatan, sehingga tidak ada satu pun warga miskin yang harus mati secara percuma karena ditolak oleh rumah sakit karena tidak ada biaya untuk berobat (ingat kasus BPJS tidak lagi membiayai tidak kurang dari 5 juta orang miskin mulai bulan ini).

Indonesiaku, dengan komando dari para pemimpin yang amanah dan para pejabat negara yang kredibel lagi jujur, majulah dengan penuh perhitungan dan strategi yang jitu. Pepatah bilang, “maju tanpa persiapan, harus siap mundur tanpa penghormatan”.

Ingatlah, para pejuang kita telah mengorbankan jiwa raganya demi tegaknya NKRI. Para pejuang kita tidak pernah mengenal pamrih dalam mengusir dan melawan para penjajah. Para pejuang kita tidak pernah sedikitpun melakukan politik dagang sapi dalam berjuang merebut kemerdekaan ini. Mereka berkorban dengan sepenuh hati, dengan segenap jiwa raga, demi negara yang hari ini kita nikmati kemerdekaannya.

Karenanya, tidakkah naluri dan hati kecil kita merasa malu dan menangis, menyaksikan segala ketimpangan yang terjadi dikalangan para pejabat kita. Kejadian opearsi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK seolah seperti hal biasa saja. Kita disuguhi berita-berita penangkapan para koruptur, seperti mendapatkan resep dari dokter, dalam sehari dua hingga tingga kali informasi OTT itu kita terima melalui siaran media cetak dan elektronik termasuk dari media sosial.         

Oleh karena itu, ada prinsip-prinsip yang harus kita pegang dalam hidup ini. Dalam hikmah spirit kurban, prinsip hidup yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim as bisa kita jadikan pegangan. Pertamaberdoa. Doa adalah senjatanya orang-orang yang beriman ( ad-du’aa silaahul mu’min ). Doa juga merupakan ruh dalam ibadah kita ( ad-du’aa ruuhul ibadah ). Maka Ibrahim berdo’a sebagaimana disebutkan dalam QS. Ibrahim ayat 35, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.”

Kedua, memiliki semangat (motivasi) kerja yg tinggiIni ditunjukan oleh semangat yang tinggi dari Siti Hajar, ketika bolak-bolak mencari sumber air untuk minum Ismail kecil, yang dalam ritual haji/umroh dikenal dgn istilah ‘Sa’i’ yang artinya berusaha. Ketiga,memiliki hati yg bersih lagi tajamHati yang bersih akan membuat seseorang menjadi sangat sensitif terhadap dosa, karena dosa adalah kekotoran yang sangat merusak jiwa. Karena itu, Nabi Ibrahim AS sampai berdoa agar jangan sampai hatinya kotor, karena hal itu hanya akan membuatnya menjadi terhina, apalagi pada hari kiamat.

Keempat, memiliki sifat rendah hati (tawadhu)Yang merupakan prinsip hidup yang bisa kita ambil dari Nabi Ibrahim AS dan keluarganya adalah tidak menyombongkan diri atas kebaikan yang dilakukannya. Dalam kehidupan kita, banyak orang baik merasa paling baik, bahkan merasa sebagai satu-satunya orang atau kelompok yang paling baik. Begitu pula ada orang yang berusaha menjadi orang yang benar tapi merasa sebagai orang yang paling benar atau satu-satunya yang benar. Ini merupakan kesombongan atas kebaikan dan kebenaran yang dipegangnya. Sikap seperti ini merupakan sesuatu yang tidak baik sekaligus menunjukkan bahwa dia orang yang tidak memahami sejarah.

Inilah pelajaran yang bisa kita ambil dari spirit kurban yang dilakukan oleh Kholilullah Nabi Ibrahim AS dan keluarganya. Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Kurban yang diperintahkan tidak usah anak kita, cukup binatang ternak seperti yang telah disyari’atkan. Sebab Allah tahu, kita tidak akan mampu menjalaninya, jangankan memotong anak kita, memotong sebagian harta kita untuk menyembelih hewan qurban pada hari ini saja, kita masih terlalu banyak berfikir. Memotong 2,5 % harta kita untuk zakat, kita masih belum mampu menunaikannya. Memotong sedikit waktu kita untuk sholat lima waktu, kita masih keberatan. Menunda sebentar waktu makan kita untuk berpuasa, kita tak mampu melaksanakannya, dan sebagainya.

Akhirnya, semoga saja spirit kurban dan semangat kemerdekaan kali ini bisa menumbuhkan rasa syukur dalam setiap pribadi anak bangsa ini. Kesyukuran yang diiringi ketaatan untuk tunduk tidak hanya pada hukum-hukum negara, tapi juga taat kepada aturan hukum yang dibuat oleh yang Maha Menghukumi. Sehingga dengan demikian, Allah akan membawa dan mengarahkan kita kepada Indonesia yang maju dalam naungan dan ridha-Nya. Wallahu a’lamu.

 

Sukabumi, 6 Agustus 2019

Ttd.

Sudrawih Boby Iskandar, S.Ag.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *