Pertumbuhan Ekonomi Melambat

ILUSTRASI

JAKARTA, RADARSUKABUMI.com – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan realisasi pertumbuhan ekonomi (PE) Indonesia pada kuartal II 2019 tumbuh melambat. Pada periode tersebut, realiasi PE hanya sebesar 5,05 persen secara tahunan (year on year/yoy). Realisasi itu jauh lebih melemah dibandingkan kuartal II-2018 yang pernah mencapai 5,27 persen.

Menurut Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, melambatnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal-II 2019 dipengaruh oleh beberapa faktor. Baik dari domestik maupun global. Untuk domestik, konsumsi rumah tangga dinilai masih melambat lantaran dipengaruhi kelas menengah atas yang menahan belanja.

Bacaan Lainnya

Pengaruh lainnya pada kuartal-II 2019, ada beberapa peristiwa politik yang dianggap berpengaruh besar ke dunia usaha. Salah satunya adalah pemilihan umum serentak 2019 dan aksi kerusuhan yang terjadi di Sarinah, Jakarta, pada 21 dan 22 Mei 2019 lalu.

“Peristiwa itu memengaruhi kepercayaan konsumen dan dunia usaha,” kata Bhima, Selasa (6/8).

Di sisi lain, lanjut Bhima, posisi Indonesia saat ini berada di tengah tekanan stabilitas perekonomian global yang masih tidak menentu. Musababnya, gara-gara perang dagang antara dua negara adidaya Amerika Serikat dan Tiongkok. Itu menyebabkan beberapa makro ekonomi domestik juga ikut melambat.

“Investasi belum melaju kencang dan kinerja ekspor melemah karena terhambat perang dagang,” terangnya.

Dari sisi belanja pemerintahan, ada pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) yang juga berdampak pada perekonomian Indonesia. Tapi, dampaknya hanya terbatas ke Aparatur Sipil Negara (ASN). Atas dasar itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai dengan semester-II 2019 masih akan berada di kisaran angka 5 persen.

“Ini menimbang kuartal ke dua dimana puncak konsumsi terjadi ekonomi hanya 5.05 persen maka di semester 2 makin berat lagi,” bebernya.
Ada beberapa faktor yang dapat dibenahi pemerintah untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap melaju. Di antaranya, pemerintah harus mendorong sektor industri manufaktur yang berorientasi ekspor dan membenahi perizinan investasi, khususnya sinkronisasi Online Single Submission (OSS) dan Pelayanan Terparu Satu Pintu (PTSP).

Selain itu, pemerintah juga dapat mempertajam insentif fiskal untuk dapat menggairahkan investasi masuk ke dalam negeri, juga perluas pasar ekspor ke negara nontradisional. Yang paling penting, efesiensi anggaran pemerintah. “Termasuk dana desa dan bansos untuk dukung daya beli kelas bawah,” tandasnya.

(igm)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *