Harga CPO Kian Suram

ILUSTRASI: Petani tengah memanen buah sawit untuk dibawa unit pengolahan.

JAKARTA, RADARSUKABUMI.com – Tekanan harga crude palm oil (CPO) masih berlanjut. Harga internasional dan domestik CPO secara tahunan tercatat mengalami kontraksi masing-masing sebesar minus 16,92 persen (year on year/yoy) dan minus 18,31 persen (yoy). Berlanjutnya kontraksi harga acuan CPO tersebut disebabkan masih dibatasinya penggunaan minyak kelapa sawit di Uni Eropa (UE), menyebabkan pangsa pasar CPO global menjadi terbatas di tengah masih terjaganya pasokan CPO.
Akibatnya pada Juni 2019, Dinas Perkebunan Kaltim mencatat, harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit berada di level Rp1.197 per kilogram. Turun dibandingkan bulan sebelumnya di angka Rp1.236 per kilogram.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Muhammad Sjah Djafar khawatir penurunan harga kelapa sawit berpengaruh besar terhadap ekonomi Bumi Etam. Sebab kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Kaltim setelah batu bara. “Penurunan ini akibat tantangan dari eksternal,” katanya, Selasa (23/7).
Penurunan juga terjadi pada pertumbuhan nilai ekspor CPO yang mengalami perlambatan dari 58,85 persen (yoy) pada awal tahun menjadi 53,77 persen (yoy) saat ini. Padahal pada triwulan pertama tahun ini ekspor CPO Kaltim sudah tumbuh 57,42 persen (yoy) dibandingkan triwulan IV 2018.
Dia menjelaskan, UE menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit akan mempercepat proses deforestasi dan merusak lingkungan. Aksi UE menentang produk-produk berbasis kelapa sawit merupakan upaya mereka untuk melindungi produk minyak nabati UE yang berbasis rapeseed dan sunflower seed. Terbaru, UE mengusulkan penerapan kebijakan renewable energy directive (RED II).
“Sebenarnya yang ditentang olahan hasil industri turunan CPO seperti biodiesel. Karena Kaltim masih mengekspor CPO, dampaknya belum terlalu besar untuk ekspor kita,” ungkapnya. Namun untuk kinerja ekspor secara menyeluruh pasti terasa. Sebab, harga CPO terus anjlok yang akan dirasakan hingga penurunan TBS kelapa sawit.
Tentunya penurunan secara pemasukan akan terasa, baik dari petani maupun pelaku usaha ekspor CPO. Pemerintah harus melakukan gerakan agar kampanye tersebut tidak berlangsung dalam jangka panjang. Apalagi untuk daerah yang sudah memiliki industri turunan kelapa sawit. “Kalau kampanye negatif terus berlangsung, harga CPO domestik maupun internasional akan terus anjlok,” pungkasnya.
Senada, Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono mengatakan, harga CPO melemah lantaran ekspor minyak sawit ke Eropa masih teradang kampanye hitam. Uni Eropa menyebut ladang CPO di Indonesia ilegal dan menyebabkan pemanasan global. Selanjutnya, katalis datang dari pertemuan AS-Tiongkok dalam agenda KTT G20 di Osaka, Jepang. Jika pertumbuhan ekonomi Tiongkok bakal membaik ada harapan ekspor CPO bertumbuh. Pun sebaliknya. “Terlalu banyak tekanan jadi saat komoditas lain rebound, minyak sawit malah melemah,” kata Wahyu.
Dia menambahkan, harga CPO juga tertekan pelemahan harga minyak kacang kedelai. Secara teknikal, Wahyu mengamati indikator moving average (MA)5, MA100, dan MA200 berada di area negatif. Selanjutnya moving average convergance divergence (MACD) masih bearish. Dia meramalkan harga CPO cenderung terkoreksi. (jpg)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *