Mencari Guru yang Hilang 1

Sejak memutuskan pindah dari Ambon ke Makassar tahun 1983, sejak itu pula saya tidak pernah bertemu lagi dengan para guru yang hebat. Guru yang membuka mata-hati dan pikiran saya tentang dunia dan akhirat. Tentang kehidupan dan kematian. Tentang manusia dan keadaban. Sudah 36 tahun.

Berusaha mencari tetapi kehilangan jejak. Termasuk jejak teman-teman yang memiliki informasi tentang keberadaan mereka. Jejaknya semakin sulit dilacak setelah 18 tahun yang lalu saya pindah ke Bogor, sampai saat ini.

Bacaan Lainnya

Ingin mencari mereka. Ingin bertemu mereka. Sekadar untuk mengucapkan terima kasih atas semua jasa mereka itu. Mereka mengajar, membimbing kami belajar benar-benar dengan sangat tulus. Sepenuh hati. Tanpa mengeluh tentang gaji yang kecil. Tanpa ada BOS. Apalagi tunjangan sertifikasi.

Pak Duĺlah (Abdullah, BA), guru Psikologi dan Paedagogik yang hebat. Pak Mohammad Syifa’i, BA guru PMP yang lembut. Pak Iksan Anwar, BA, guru matematika, IPA dan pembina pramuka. Pak Buchori, BA, guru Bahasa Indonesia. Pak Kapo (La Kapo, BA), guru fiqh dan ushul fiqh. Pak Endang (Drs Endang Misbahuddin), kepala sekolah. Pak Muhammad Sandia, BA, guru Bahasa Arab, Pak Noh (Noch Robrusun BBA), guru Bahasa Inggris, dll.

Melalui Ode Saeni Al-Idrus, saya menemukan jejak beberapa dari mereka yang tinggal di Jawa. Pak Dullah, Pak Iksan, Pak Syifa’i di Jawa Timur, Pak Buchori di Yogya dan Pak Endang di Jawa Barat. Ode Saeni adalah adik kelas di PGA Negeri Ambon yang saat ini menjadi salah satu pejabat di Departemen Agama Malang.

Tahun 70-an sampai dengan 80-an, beberapa guru di PGA Negeri Ambon memang berasal dari luar Ambon. Dari Jawa, Buton, Ternate, Key (Maluku Tenggara).

Atas dasar informasi dari Ode Saeni itulah maka ‘misi pencarian’ pun dilakukan seusai menerima tamu-tamu pada hari Idul Fitri kemaren. Pukul 10:00 saya ke bandara Halim Perdanakusumah untuk terbang ke Malang. Ode Saeni menjemput ke Bandara Abdurrahman Saleh.

Pukul 13:30 misi dimulai dari Bandara Abdurrahman Saleh itu. Saya bersama Ode dan putranya menuju Desa Blayu di Kabupaten Malang. Menggunakan mobil pribadi Ode. Patokannya adalah masjid dan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Desa Blayu. Dapat info rumah Pak Syifa’i dekat dari situ.

Perjalanan tiga setengah jam. Kami pun tiba di Blayu, dekat SPBU, dekat masjid. Tanya sana, tanya sini, akhirnya menemukan alamat rumah yang dicari.

Tidak terlalu sulit, letaknya di jalan poros Malang-Tulungagung. Tidak terlalu sulit, karena rumah itu adalah toko kecil peralatan dapur. Tidak terlalu sulit, karena Pak Syifa’i pemilik toko itu. Tidak terlalu sulit juga karena puluhan tahun Pak Syifa’i menjadi guru madrasah di sekitar situ.

“Assalamualaikum,” sapa saya begitu berada di depan pintu rumah.
“Alaikum salam,” jawab seorang lelaki dari bagian belakang rumah. Berjalan cepat ke depan, lelaki tua yang masih energik itu menemui saya di depan.pintu.

Saya menjabat erat tangannya: “Apakah ini Pak Syifa’i?” tanya saya. “Ya, benar saya Syifa’i,” jawabnya.

“Ini Haris. Dari Ambon,” kata saya.

“Hariss….? Maaf agak lupa,” katanya.

“Haris. Murid Bapak di PGA Tulehu,” saya menjelaskan.

“Maasyaallah. Subahanallaah. Hariis. Kamu masih ingat saya,” katanya dengan suara agak bergetar.

Waktu di PGA Tulehu tahun 1981-1983 nama panggilan saya adalah Haris. Nama itu sangat populer di se antero sekolah. Nama resmi saya Hazairin Sitepu. Kalah populer.

Saya tinggal di kampus bersama puluhan atau ratusan siswa yang lain. Kampus adalah asrama yang satu komplek dengan sekolah dan rumah para guru. Saya adalah ketua kampus/asrama/komplek. Karena itu tidak terlalu sulit mencari saya.

Saya lalu diajak ke beranda tengah. Dan cerita panjang pun dimulai. Sambil minum teh. Ini surprise di hari pertama lebaran. Sebenarnya saya belum yakin bisa ketemu Pak Syifa’i hari itu. Beliau pun tidak pernah punya firasat bahwa saya akan datang. Bahkan hampir tidak mengenal saya.

“Saya pernah mendengar. Puluhan tahun yang lalu. Kamu katanya jadi wartawan. Trus belakangan jadi orang penting di Jakarta,” kata guru yang suaranya sangat lembut itu.

Tahun 2019 ini Pak Syifa’i berusia 75 tahun. Tetapi masih energik. Jabatan tertinggi di PNS sebelum pensiun adalah pengawas madrasah (salah satu kecamatan di Malang).

Hal penting yang masih utuh di ingatan adalah ketika hari pertama saya ikut ujian masuk PGA Tulehu. Tahun 1981. Hari Senin di bulan Juni. Waktu itu saya datang terlambat. Ketika waktu istirahat jam pertama. Melapor ke Pak Dullah sebagai panitia. Pak Dullah melapor ke Pak Syifa’i sebagai ketua panitia.

Dalam hitungan detik, Pak Syifa’ membolehkan saya ikut ujian. Tempatnya di ruang dewan guru. Dengan syarat, begitu bel jam kedua berbunyi, saya harus selesai dan ikut ujian mata ujian yang kedua.

Soalnya tidak sulit dijawab. Mata ujiannya Bahasa Arab. Salah satu pelajaran favorit saya di tsanawiyah. Begitu bel berbunyi, semua soal selesai dijawab. Kira-kira 15 menit. Alhamdulillah.

Ada tiga jurusan di PGA. Jurusan A untuk calon guru agama Islam di SD umum. Jurusan B untuk calon guru bidang studi di madrasah. Jurusan C untuk calon guru TK (taman kanak-kanak). Waktu itu seleksi penerimaan hanya untuk dua jurusan: A dan B. Setelah ujian dua hari, saya akhirnya lulus di jurusan B. Calon guru di madrasah. Alhamdulillah.

Pak Syifa’i adalah guru yang bijaksana. Tanpa mu hari itu, saya belum tentu sampai di sini. Terima kasih Pak Syifa’i. Terima kasih guru ku. **

Tulisan ini dibuat dalam penerbangan dari Medan ke Jakarta 23-6-2019 pada ketinggian 36 ribu kaki

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *