Drama Saksi Di Sidang MK

JAKARTA – Perdebatan antara hakim konstitusi, kuasa hukum paslon 02, dan kuasa hukum paslon 01 tersaji di ruang sidang Mahkamah Konstitusi kemarin (18/6).

Yang dibahas tidak lain soal perlindungan saksi pemohon. Perdebatan terjadi usai paslon 02 meminta MK untuk memerintahkan LPSK melindungi saksinya di akhir sesi sidang lanjutan sengketa pilpres.

Bacaan Lainnya

Awalnya, Ketua tim kuasa hukum 02 Bambang Widjojanto mengajukan surat permohonan agar hakim MK memerintahkan perlindungan saksi 02.

Permohonan itu merupakan hasil diskusi pihaknya dengan Lembaga Perlindugan Saksi dan Korban (LPSK).

“LPSK mengusulkan, kalau LPSK diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi untuk menjalankan fungsi perlindungan maka dia akan menjalankan itu,” ujarnya.

Selain itu, BW juga memohon kepada MK agar bisa menghadirkan lebih dari 15 saksi sesuai keputusan para hakim konstitusi.

“Ada problem kalau ingin membuktikan seluruh argumentasi yang sudah kami kemukakan, itu rasanya 15 saksi fakta dan 2 ahli tidak mungkin membuktikan itu semua,” lanjutnya.

Menanggapi permintaan tersebut, hakim Konstitusi Suhartoyo mengingatkan bahwa sengketa pilpres termasuk jenis sengketa kepentingan.

Dalam sengketa kepentingan, yang diprioritaskan adalah bukti surat yang bersifat formal. Karena itulah, MK tidak membatasi bukti surat.

Di bawahnya ada keterangan para pihak. Sementara, keterangan saksi ada di level 3.

Bila saksi tidak dibatasi, majelis hakim akan sulit memeriksa secara optimal.

Apalagi, ke depan MK akan mengubah paradigm pemeriksaan saksi perselisihan hasil pemilu. Saksi akan diperiksa satu persatu, bukan bersama-sama.

“Mahkamah ingin lebih menggali kualitas kesaksiannya ketimbang kuantitas,” ujarnya.

Sementara, mengenai perlindungan saksi, MK tidak memiliki landasan hukum untuk memerintah LPSK.

Lagipula, UU LPSK memiliki cakupan yang terbatas pada soal-soal yang terkait tindak pidana.

“Ketika MK kemudian memerintahkan LPSK sementara skupnya tdiak ada, justru landasan-landasan kajiannya juga dipertanyakan,” lanjut Suhartoyo.

BW kembali berargumen bahwa saksi yang dihubungi pihaknya merasa perlu mendapat perlindungan.

Sementara, pihaknya tidak bisa memmberi perlindungan.

“Kekerasan akan muncul tidak di ruang sidang ini, tapi pasca dia memberikan sikap,” ucap mantan Wakil ketua KPK itu. Opsinya adalah MK memerintahkan LPSK melindungi saksi, atau MK mengambil peran LPSK untuk melindungi saksi.

Dalam hal perlindungan itu, MK menjadi subordinat LPSK.

Penjelasan itu langsung diinterupsi oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra.

Dia kembali menegaskan bahwa Mahkamah mampu memberi perlindunan, namun hanya di ruang sidang.

Di luar itu, ada kewajiban bagi aparat untuk melindungi.

“Kita sama-sama punya pengalaman (berperkara) di Mahkamah Konstitusi, pak Bambang. Jadi jangan terlalu didramatisir lah, soal-soal begini,” sindirnya.

Secara keseluruhan, MK menolak permintaan BW untuk memerintahkan LPSK melindungi saksi.

Selain itu, MK juga tidak memberikan kelonggaran untuk menambah jumlah saksi.

Semua pihak diperlakukan sama, punya kesempatan mengajukan maksimal 15 saksi dan 2 ahli.

Sementara itu, sidang lanjutan kemarin fokus mendengarkan keterangan KPU selaku termohon, Paslon 01 selaku pihak terkait, dan Bawaslu.

Dalam jawaban setebal 302 halaman itu, KPU membantah seluruh kesaksian pemohon. Juga, mepersoalkan perbaikan permohonan yang diajukan pemohon pada 10 Juni lalu dan dibacakan di sidang pendahuluan.

Misalnya tuduhan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif oleh pihak terkait dalam hal ni Paslon 01.

Kuasa hukum KPU Ali Nurdin menjelaskan, dalil pemohon sama sekali tidak melibatkan kliennya.

“Atau paling tidak pemohon tidak menguraikan adanya keterlibatan atau kerjasama antara termohon dan pihak terkaitdalam melakukan pelanggaran dimaksud,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, pemohon juga tidak mampu menguraikan hubungan antara pelanggaran yang dituduhkan dengan perolehan suara pemohon maupun pihak terkait.

Beberapa jenis pelanggaran TSM yang berpotensi mempengaruhi perolehan suara justru tidak dipersoalkan oleh pemohon. Yakni, politik uang dan pelanggaran administratif pemilu.

KPU juga membantah tuduhan manipulasi DPT.

Ali menyebut, sepanjang pelaksanaan tahapan pemilu, sedikitnya tujuh kali KPU bertemu dengan pemohon.

Khusus untuk membahas berbagai problem DPT yang disampaikan termohon.

Seluruhnya sudah ditindaklanjuti.

“Semua data yang dipermasalahkan pemohon, setelah diverifikasi bersama antara termohon, pemohon, Bawaslu, dan pihak terkait ternyata memenuhi syarat sebagai pemilih,” lanjutnya.

Data yang dimaksud adalah tudingan 17,5 juta orang yang tanggal lahirnya sama, yakni 1 Juli, 31 Desember, dan 1 Januari.

Faktanya, orang-orang yang tanggal lahirnya di tanggal 1 Juli dan 31 Desember itu memang banyak.

Rata-rata adalah penduduk yang tidak tahu kapan dia dilahirkan.

Sesuai ketentuan, sebelum 2004 mereka dicatat lahir pada 31 Desember dan setelah 2004 dicatat lahir pada 1 Juli.

Sementara, dalil mengenai Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) dianggap sama seperti permohonan yang sudah diputus Bawaslu.

Dalam pendapatnya, Bawaslu tidak menyatakan adanya korelasi antara kesalahan input data maupun sumber data dnegan keuntungan peserta pemilu.

“Tuduhan pemohon terkesan lebih merupakan upaya membangun opini publik,” tambahnya.

(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *