Kepentingan Produsen-Konsumen Harus Dijaga Seimbang

ILUSTRASI: Pedagang ritel tengah mengamati beras yang dijualnya di pasar tradisional.

JAKARTA – Masalah kestabilan harga dan ketahanan pangan masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar Indonesia.

Pemerintah didesak lebih sigap mencermati keseimbangan kepentingan produsen dan konsumen dalam sistem manajemen stok pangan nasional.

Dewan Komisaris Center for Indonesia Policy Studies (CIPS) Saidah Sakwan mengingatkan pemerintah diminta harus mampu menyeimbangkan antara hulu dan hilir dalam sistem manajemen pangan nasional.

Di hulu terkait kesejahteraan para petani atau produsen. Sementara di hilir mengenai kesejahteraan masyarakat atau konsumen.

“Bagaimana menyeimbangkan antara kedua kepentingan ini? Seringkali pemerintah selalu gagap membuat kebijakan.

Karena pemerintah inginnya memproteksi dari sisi pangan melalui kebijakan,” kata Saidah dalam diskusi di Hotel Le Meridien, Jakarta.

Menurut Saidah, intervensi kebijakan yang dilakukan pemerintah pun kerap kali belum memberikan solusi yang tepat.

Belum lagi soal manajemen distribusi pangan yang semakin mendistorsi pasar.

Misalnya saja sektor bumbu dapur, yakni Bawang putih.

“Harga impornya itu Rp5-Rp6 ribu, harga keluar dari pelabuhan itu sekitar Rp8-Rp11 ribu, harga marketing harusnya Rp23 ribu.

Kenapa bisa Rp50 ribu? ini kan persoalan manajemen distribusi, berapa mata rantai yang bisa dipotong.

Ini yang harus bisa diselesaikan pemerintah.

Ini efisiensinya ditanggung oleh konsumen,” pungkasnya.

Untuk mengatasi itu, Saidah berpendapat pemerintah harus melakukan intervensi kebijakan melalui intervensi tarif.

Harapannya, kebijakan itu tetap melindungi produsen dan konsumen di dalam negeri.

“Nah ini, nanti bisa dikaji soal regulasi dan perilaku pasarnya dan soal penegakan hukumnya.

Setelah pelantikan oktober, pak Jokowi pasti punya RPJMN yang baru dan saya kira ini menjadi salah satu bagian penting yang harus kita lakukan,” pungkasnya.

Sementara itu, Mantan Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengatakan, persoalan pangan Indonesia merupakan masalah yang serius dan sulit untuk diselesaikan.

Bahkan menerutnya, masalah ini terus terakumulasi sejak beberapa puluh tahun yang lalu.

Bayu mencatat, saat ini Man-Land Ratio Indonesia sudah kurang dari 0,2 hektare per kapita.

Itu berarti, padi, buah, sayur, ayam dan seluruh komoditas bahan pangan produksi pertanian hanya ditopang 0,2 hektare.

“Itu sangat kecil jika dibandingkan dengan Australia 32 hektar per orang,” katanya.

Selain itu, menurutnya, 10 tahun lagi, 70 persen penduduk Indonesia diprediksi akan tinggal di perkotaan, yang mayoritasnya akan terpusat di pulau Jawa.

Padahal, pulau Jawa merupakan basis produksi pangan.

“Itu akan mengubah sistim distribusi, terutama pangan.

Anda bisa bayangkan berapa banyak lahan yang tergusur dan basis produksi pertanian yang tidak mampu produksi lagi,” tuturnya.

Dia berharap, siapapun yang terpilih menjadi presiden dan wakil presiden 2019 tidak membuat kebijakan baru yang malah berdampak negatif dalam pangan nasional.

“Mudah-mudahan tidak membuat kebijakan baru yang grusa grusu, yang tidak berdasarkan scientific base dan knowledge yang benar,” pungkasnya.

(man)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *