Tahun Politik, Siapa Yang Beruntung?

Oleh : Dudung Nurullah Koswara
(Ketua PGRI Kota Sukabumi)

Kolumnis produktif, Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya dan Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat Dr. Asep Salahudin menulis di harian Kompas tanggal 19 Januari 2019. Ia mengatakan, “tidak ada ruang yang lebih barbar kecuali di media sosial”. Ini terjadi di tahun politik. Bahkan Ia mengatakan manusia telah menjadi dua satwa favorit “kecebong” dan “kampret”.

Bacaan Lainnya

Dalam kajian literasi ada yang bangga menjadi kampret dan kecebong. Demi dukungan politik. Oknum guru, oknum dosen bahkan oknum pengurus MUI ikut terlibat hujat bukan hujah. Segala cara dilakukan karena nafsu politik. Berbagai informasi menyesatkan berseliweran di dunia maya. Sungguh sebuah representasi rusaknya mentalitas bangsa kita.

Semua orang Islam percaya ada satu bulan istimewa yakni bulan suci ramadhan. Diantara keistimewaan bulan ini sejumlah orang meyakini Syeitan “dirantai”. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim menyatakan “Ketika masuk bulan Ramadhan maka syaitan-syaitan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup.” Faktanya nafsu manusia “dibelenggu” oleh komitmen beribadah kepada Allah.

Nah bagaimana di bulan politik? Nampaknya di bulan politik ini menjelang tanggal 17 April Syeitan pada istirahat. Kalau bulan Ramadhan Syeitan dibelenggu, maka di bulan politik Syeitan istirahat. Tanpa dibelenggu Syeitan istirahat. Mengapa Syeitan istirahat? Karena manusia sudah berhasil meniru sifat-sifat Syeitan. Menjauh dari sifat-sifat Allah. Di bulan politik ini Syaitan malah kehilangan pekerjaan.

Bisa jadi, pintu-pintu neraka terbuka. Pintu-pintu surga tertutup. Gegara tahun politik. Syeitan istirahat, manusia masif “bekerja” menyebar hoaxs dan hujat. Saling serang, saling sindir, saling buli, saling hina. Menurut Asep Salahudin yang terjadi bukannya saring (menyaring informasi) malah sharing (main sebarkan saja). Sebuah tindak anomali dan gagap literasi. Tanpa baca, langsung sebarkan. Bernafsu menyebarkan informasi yang tak jelas.

Syeitan tidak pernah buat status di FB atau menyebar hoaxs di WA. Syeitan kalah beberapa langkah oleh manusia. Sejumlah oknum guru, dosen, santri bahkan ulama terjebak ke dalam kubangan politik. Mereka bagai semut yang terkena lengketnya madu. Kewarasan dan kebaikan mereka bertanggalan, lepas dari badan dan hatinya. Hujah tergilas oleh hujat. Fakta terkaburkan oleh pitnah, fiksi dan nyinyiran.

Satu kebenaran sayup-sayup terdengar. Seribu status hujat dan kebohongan terus disuarakan. Ungkapan “Katakan (buat status) seribu kali kebohongan sebagai kebenaran, akan menggilas kebaikan yang sayup-sayup dan takut disuarakan”. Kebohongan mendapatkan panggungnya, kejujuran dan kebaikan terjepit dihantam buli dan hoaxs. Nampaknya Syeitan bahagia melihat tahun politik. Mereka bisa istirahat.

Syeitan pesta melihat 80 juta surat suara yang tercoblos. Syeitan pesta melihat oprasi plastik menjadi kisah pemukulan. Bahkan Syeitan pesta plus-plus melihat di tahun politik ada PSK online 80 juta. Syeitan tertawa-tawa saat Jokowi dan Prabowo dibuli oleh kedua belah pihak. Syeitan tertidur pulas sa’at kedua belah pihak menutup pintu waras dan pema’afan. Syeitan terkekeh-kekeh saat politik menjadi agama, agama menjadi politik.

Andaikan ada sosok Malaikat ikut nyapres pasti akan kena buli dan caci maki. Andaikan ada Iblis ikut nyapres pasti akan kena puji dan sanjungan. Mengapa demikian? Karena ada dua kubu yang bekerja membuli dan menyanjung. Semua yang dilakukan pihak lawan politik sekalipun terang benderang benar maka tetap salah. Andaikan ada kesalahan yang gelap gulita akan tetap ditoleransi atau bahkan dianggap tidak salah karena kawan.

Tidak ada kawan yang abadi. Tidak ada kehidupan yang abadi. Semuanya akan selesai dan berakhir. Hanya Tuhan yang abadi. Anehnya dalam rumus politik ada yang abadi “menyaingi” Tuhan. Apa yang abadi dan disembah seperti Tuhan? Tiada lain adalah kepentingan. Kepentingan dalam politik itu abadi. Ternyata dalam politik itu yang abadi ada dua, Tuhan dan kepentingan. Tuhan seolah telah diduakan.

Lebih geli lagi adalah dikotomi partai politik. Ada kelompok partai Syeitan dan kelompok partai Allah. Sebuah kesalahan perspektif dari seseorang yang bergelar profesor. Mungkin faktor U (usia) telah membuatnya mendekati amnesia akademik. Sangat tidak jaminan satu kubu lebih baik dari kubu lainnya. Semua manusia modus. Apalagi para politisi dan pengurus partai. Faktanya Tuhan diabaikan dalam politik, namun kepentingan yang disembah. Ghonimah dan kekuasaan adalah tujuan semuanya. Sa’at zaman Nabi pun gonimah sangat menggoda.

Dalam Perang Uhud, pasukan sahabat Nabi kalah karena memburu ghonimah. Nabi Muhammad telah mewanti-wanti agar pasukan pemanah yang berada di bukit tetap berada ditempatnya, menang atau kalah. Peringatan Nabi diabaikan, sa’at kaum musrikin menjebak dengan gonimah. Jebakan gonimah telah membutakan para sahabat. Jebakan kepentingan dalam politik. Rayuan kekuasaan. Bisikan duniawi dan hedonisme politik telah menjadi prioritas. Kita sebagai rakyat, idealnya tidak larut dalam bulian, melainkan cerdik dalam melihat siapa yang terbaik.

Fenomena politik sa’at ini seolah semua orang turun dari bukit dan memburu “gonimah kepuasan” membuli dan larut dalam adiksi hujat. Hujat dan buli di dunia maya seolah telah menjadi suplemen bagi sejumlah orang bermasalah. Bukit kebaikan dan kewarasan sebagai benteng pertahanan ditinggalkan. Seperti pasukan pemanah zaman Rosululullah yang meninggalkan bukit. Beruntung masih ada sejumlah orang sa’at ini berada di bukit kewarasan dan tetap memanah keburukan, melawan kemudharatan.

Sa’at Perang Uhud Syeitan menari-nari. Sa’at ini “Perang Politik”, Syeitan sedang mempersiapkan pesta besar. Jumlah manusia yang terlibat di perang politik sa’at ini jauh lebih banyak dibanding Perang Uhud. Artinya korban yang kesyeitanan jauh akan lebih banyak. Sekali lagi Syeitan istirahat, tiduran dan senyum-senyum lihat ulah manusia gegara politik. Mari kita menghindar _walau sulit_ dari “angin puting beliung politik” yang bisa menerbangkan akal waras kita. Bahkan bisa menghancurkan persaudaraan dan persahabatan. Lebih tragis lagi bahkan ada pasangan Romeo dan Juliet terputus karena politik. Sedih kan?

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *