Rumah yang Tak Bertangga

Fawzy Ahmad

Sederhananya, rumah tangga yang ideal itu seperti ini. Suami kerja kantoran dari pukul 7 pagi hingga pukul 5 sore. Istri mengurusi urusan rumah tangga, mulai dari mencuci baju, membersihkan rumah, memasak, hingga mengurusi anak. Anak-anak, sekolah dari pagi sampai siang, sore bermain sebentar, malam belajar. Dan ketika akhir pekan tiba, berlibur ke sejumlah tempat seperti mal, taman, pantai atau bahkan hanya sekadar jalan-jalan sore.

Ya, idealnya seperti itu. Namun sayangnya, rutinitas ini jarang sekali terjadi di rumah tangga zaman now. Faktanya, yang paling dominan adalah, suami bekerja sampai malam, istri pun bekerja, anak-anak sekolah dengan sistem full-day school. Kalau sudah seperti ini, dapat dibayangkan waktu bersua bersama hanya pada malam hari. Syukur-syukur masih ada sisa tenaga untuk bercengkrama.

Bacaan Lainnya

Bahkan di lain cerita, terjadi kontradiksi. Suami menjadi bapak rumah tangga, istri yang bekerja, sedangkan anak-anak juga sekolah. Yang paling tragis, ada juga anak-anak yang ikut membantu orangtuanya bekerja.

Apakah mereka salah? Tidak. Mereka tidak salah. Yang salah adalah menggilanya tuntutan hidup. Ada sebuah celoteh belaka yang bunyinya, “Zaman dulu, uang Rp100 ribu bisa kebeli dua sampai tiga kantong belanjaan besar di mal. Eh sekarang, cuma setengah atau satu kantong ukuran sedang saja”

Apakah zaman atau rezim pemerintah yang salah? Bisa jadi iya, bisa jadi bukan. Yang pasti, faktanya, tiap tahun tuntutan hidup makin naik. Sementara standar penghasilan masih gitu-gitu aja. Dalam istilah ketenagakerjaan, yang selalu dipertengkarkan antara serikat pekerja, pengusaha dan pemangku kebijakan terkait lainnya adalah standar kebutuhan hidup layak (KHL).

Acap kali, ketiga pihak sulit menemukan kemufakatan untuk kompenen ini sehingga bisa menghasilkan angka Upah Minimum Regional (UMR) yang tiap tahun mengalami penyesuaian. Sebab masing-masing kubu memiliki dalih mengapa komponen ini harus naik atau komponen itu harus turun. Sehingga, besaran kenaikan UMR jarang sekali menguntungkan berbagai pihak. Terkadang, pihak pengusaha harus melakukan penangguhan pelaksanaan UMR karena omzet belum mendukung, salah satunya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *