Ragam Upaya Laura Lesmana Wijaya Perjuangkan Kesetaraan Kalangan Tuli

MIFTAHULHAYAT/JAWA POS PANTANG MENYERAH: Laura Lesmana Wijaya di Jakarta jelang tutup tahun lalu (26/12/2018). Selain mengajar, dia juga menyusun kamus bahasa isyarat.

Sangat tak mudah terlahir sebagai difabel di Indonesia. Minimnya orang yang paham bahasa isyarat, misalnya, sangat menyulitkan penyandang tuli. Termasuk di dunia pendidikan. Laura mengalami sendiri bagaimana dirinya sejak duduk di bangku TK dipaksa memahami pelajaran secara oral. ”Saya berjuang memahaminya sendiri,” katanya dalam perbincangan menjelang tutup tahun lalu di sebuah food court di Jakarta Barat.

Puncaknya adalah stigma miring di lingkungan masyarakat. Penyandang tunarungu dianggap sebagai sosok yang tidak bisa diandalkan. Karena itu, tidak jarang mereka terpinggirkan. Tidak diberi kesempatan yang sama untuk berkembang. ”Banyak orang berpikir, orang tuli biar di rumah saja,” kata dia.

Berangkat dari kegelisahan itu, Laura bertekad melakukan sesuatu bagi orang-orang yang bernasib sama dengannya. Apalagi, berdasar pengalaman menempuh pendidikan S-1 di Chinese University, Hongkong, dia menemukan kondisi yang berbeda.

Itulah yang tak dia temukan di Indonesia, kecuali mungkin di Universitas Indonesia. Namun, Laura tidak mau menyalahkan lembaga pendidikan di Indonesia sepenuhnya. Sebab, faktanya, memang tidak banyak orang di Indonesia yang mampu menjadi juru bahasa isyarat. Apalagi, tidak ada lembaga yang benar-benar menyediakan kebutuhan tersebut.

Di situlah Pusbisindo berperan. Alumninya tidak hanya diberdayakan di PLJ, tapi juga merambah sektor lain. Misalnya, menjadi guru bantu di sekolah luar biasa (SLB) atau bertindak sebagai pembimbing bahasa isyarat bagi orang tua yang memiliki anak tuli. Ada pula yang bekerja sebagai penerjemah freelance seperti Aliyah.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *