Industri Perhotelan Resah

JAKARTA – Industri perhotelan dan pariwisata mengaku resah, dengan semakin menjamurnya aplikasi pemesanan kamar. Ditambah, regulasi pemerintah soal retribusi yang mencekik kantong pengusaha.

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengungkapkan, banyak penyedia platform wisata digital tidak berbadan hukum.

Bacaan Lainnya

“Kami resah. Seharusnya aplikasi digital memiliki badan usaha tetap,” ujarnya di Jakarta.

Dampak dari banyaknya aplikasi dan platform yang tidak berbadan hukum menyebabkan hilangnya potensi penambahan pendapatan asli daerah (PAD) untuk kawasan pariwisata. Hal ini jadi menciptakan persaingan tidak sehat.

Selain itu ada beberapa risiko karena mudahnya memesan kamar melalui online, sehingga aspek safety bisa dipertaruhkan.

Hal ini menyebabkan kamar hotel rentan menjadi fasilitas kegiatan terlarang, seperti teroris atau bahkan prostitusi.

Ada juga beberapa kebijakan dan perundang-undangan yang selama ini menghambat daya saing industri perhotelan dan pariwisata.

“Kebijakan pajak dan retribusi daerah, bentuk perizinan yang tidak lagi sesuai dengan dinamika industri,” tuturnya.

Menurut dia, pengusaha perhotelan mengeluhkan Peraturan Pemerintah (PP) No 55 Tahun 2016 tentang Pajak Daerah dan Detribusi Daerah (PDRD).

“Masa complimentary di hotel dan restoran juga dikenakan pajak,” katanya.

Pengusaha juga mengeluhkan Undang-Undang No 28 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah. “Ini kan daerah supaya cepat menin­gkatkan PAD akhirnya kon­sumen yang kena,” ucapnya.

Pelaku usaha perhotelan juga khawatir dengan pembahasan antara pemerintah dan DPR terkait Rancangan Undang-Undang Sumber Daya Air. Pelaku industri perhotelan menilai RUU ini, jika gol akan membangun ketidak pastian usaha.

“Pemberian izin penggunaan sumber daya air untuk kebutuhan usaha kepada pihak swasta dapat dilakukan dengan syarat tertentu dan ketat,” tukasnya.

Deputi Pengembangan Industri dan Kelembagaan Ke­menterian Pariwisata Rizki Handayani mengatakan, pengusaha harus mulai mem­buka diri dengan aplikasi pemesanan kamar.

Pemesan kamar memakai aplikasi diramal akan mendominasi seiring permintaan yang terus meningkat.

“Milenial cenderung menggunakan jasa-jasa perjalanan wisata yang berbasis aplikasi, bukan konvesional.

Hal ini tentu menjadi salah satu tantangan besar bagi pelaku bisnis pariwisata di Tanah Air untuk segera menyesuaikan model bisnis mereka sesuai dengan tuntutan pasar,” tuturnya.

Asdep Manajemen Strategis Kemenpar Frans Teguh mengatakan, di era digital saat ini, kaum milenial merupakan pemeran utama dalam hal teknologi.

“Kaum Generasi Y ini mudah terlihat dengan kegemaran mereka berwisata dan lebih senang bepetualang, dibandingkan dengan generasi sebelumnya,” kata Frans.

Wisatawan milenial akan terus tumbuh dan menjadi pasar utama. Diproyeksikan pada tahun 2030 mendatang, pasar pariwisata Asia didominasi wisatawan milenial berusia 15-34 tahun mencapai angka 57 persen.

 

(rmol)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *